Meminjam Sayap Kupu-kupu
Barangkali memang tak ada hal lain yang bisa dilakukannya sepanjang hari selain memburu sayap kupu-kupu berwarna biru.
Aku menatap tajam laki-laki di hadapanku, sementara ia menatap serius pada sepasang sayap kupu-kupu berwarna biru di atas meja. Selama tujuh belas tahun hidup dengannya, aku tak pernah menemui ia seperti ini. Aku merasa sosok lain telah merasuki dirinya, yang sudah tentu aku tak tahu itu siapa.
“Kau kenapa, Mas?” Untuk pertama kalinya, tanya itu kuungkap setelah beberapa hari kupendam. Sementara yang ditanya mengusap dagu pelan, sambil terus menatap serius pada sepasang sayap kupu-kupu berwarna biru di atas meja.
Aku mengusap wajah dengan keras. Di mataku kini, ia tidak lagi suamiku. Sejak beberapa hari terakhir, ia memburu sayap kupu-kupu berwarna biru. Sudah tak dapat kuhitung lagi sayap-sayap itu tergeletak sembarang di setiap sudut rumah.
Di kamar, di ruang tamu, dapur, bahkan di kamar mandi. Ada yang diberi bingkai kayu, ada pula yang ditempatkan di stoples bening, serta masih banyak lagi yang berserakan di lantai. Setiap hari kusuruh Er—pembantu rumah tangga kami—untuk menyapu, namun belum selesai disapu, ia datang lagi dengan banyak sayap di genggamannya, berceceran di lantai rumah.
Aku tak tahu makhluk apa yang merasukinya hingga ia amat terobsesi mencari sayap kupu-kupu berwarna biru itu. Entah apa yang sebenarnya ia kehendaki, beribu sayap kupu-kupu di rumah ini belum juga memuaskan hasrat gilanya. Tak cukup di halaman rumah atau di sekitar kompleks, ia bahkan sampai ke taman kota hanya untuk mencari kupu-kupu berwarna biru—hanya kupu-kupu yang berwarna biru, untuk kemudian ia patahkan sepasang sayap itu dari tubuh si kupu-kupu, mengumpulkannya ke dalam stoples dan membiarkannya berserakan di rumah.
Pada pagi sejak matahari belum terbit, ia mencari kupu-kupu. Baru sekitar jam 10 ia pulang untuk makan. Setelah itu ia pergi lagi, dan baru pulang menjelang petang. Malamnya, ia pergi ke bar dan pulang dini hari, bahkan terkadang tak pulang sampai malam berikutnya.
Selama ini aku tak pernah mempermasalahkan ia pergi ke mana, dengan siapa, atau pun apa yang ia lakukan di luar rumah. Sebab aku sadar, meskipun aku istrinya, aku tak berhak untuk melarang apa pun yang ia kehendaki. Dan sebab tanpa kuminta pun, ia selalu memberitahuku ke mana ia pergi, dengan siapa serta apa saja yang ia lakukan. Aku pun tak terlalu mempermasalahkan apabila ia pergi atau sampai tidur dengan wanita lain, selama ia masih bersikap seperti biasa dan memenuhi semua kewajibannya sebagai suami. Aku tak pernah mengekang ia.
Namun berbeda dengan sekarang, barangkali ia dapat dikata tak pernah pulang. Bahkan ia telah membengkalaikanku serta dua anak kami sebagai keluarga sahnya. Ia tak lagi memberitahuku ke mana ia pergi, dengan siapa atau pun apa saja yang ia lakukan. Walaupun—seperti yang telah kukatakan tadi, aku tak pernah mempermasalahkan ke mana ia akan pergi, dengan siapa atau pun apa saja yang ia akan lakukan.
Namun, melihat ia berubah kanak-kanak seperti saat ini, dengan hasrat gilanya mengumpulkan banyak sekali sayap kupu-kupu berwarna biru, naluri sebagai istri mendorongku untuk mulai mempermasalahkan ke mana ia pergi, dengan siapa serta apa saja yang ia lakukan ketika sedang tidak bersamaku.
“Kau kenapa, Mas?” tanyaku lagi.
Ia tetap diam.
“Untuk apa selama berhari-hari mencari sesuatu yang sangat tak penting seperti itu?”
“Kau tahu bukan, betapa pentingnya sayap-sayap ini untukku?!” Ia menggebrak meja dengan keras, sepasang sayap kupu-kupu berwarna biru itu hilang entah ke mana. Wajahku pias. Belum pernah ia semarah itu sebelumnya. Aku amat tersentak dengan sikapnya kali ini, namun aku berusaha tetap tenang.
“Tidak. Aku tidak tahu. Kau tak pernah memberitahuku seberapa penting sayap-sayap itu untukmu,” jawabku asal.
Ia mengusap wajah. Kami sama-sama bangkit dari duduk, aku beranjak ke kamar, sedang ia ke kamar yang lain.
***
Barangkali memang tak ada hal lain yang bisa dilakukannya sepanjang hari selain memburu sayap kupu-kupu berwarna biru.
Ah, keparat! Meski aku berusaha tidak terlalu peduli, melihat di sepanjang jalan, setiap ada kupu-kupu melintas, tangannya menggapai-gapai berusaha menangkap kupu-kupu itu, mau tak mau aku menghampirinya, membujuknya untuk pulang. Ia, laki-laki yang tadinya memegang galah dengan jaring kecil di ujungnya, sekarang tengah duduk dengan tangan melingkari lutut sambil menatap nanar stoples berisi banyak sayap kupu-kupu berwarna biru di hadapannya.
Orang-orang di sepanjang jalan, yang sedang berjalan di trotoar, yang duduk di halte bus, pengendara mobil, motor, dan sepeda, lelaki paruh baya dan istrinya yang berperut buncit, sepasang kakek dan nenek di kursi roda, remaja-remaja yang tengah berkencan, serta anak-anak sekolahan yang sedang menunggu jemputan, tak satu pun dari mereka yang sejak tadi tidak menatap heran dengan perbuatannya.
Barangkali kepala mereka penuh dengan pikiran-pikiran buruk tentang ia. Barangkali di antara mereka bercokol jijik melihat tingkah laki-laki paruh baya yang mirip kanak-kanak. Barangkali ada yang menganggap ia gila atau mabuk. Serta barangkali lainnya yang belum sempat melintasi pikiranku.
Aku duduk di sampingnya.
“Mari kita pulang,” kataku berusaha lembut.
“Tidak!” jawabnya setengah berteriak.
“Kau belum makan sejak tadi pagi, Mas. Kau tak lelah?” kataku masih berusaha lembut.
“Jangan pedulikan aku. Selama ini harusnya memang seperti itu, bukan?” Ia segera berpaling dariku.
Kata-kata itu, sungguh kata-kata itu, menampar amat keras hatiku, membuatku serasa jatuh ke paling sakitnya jatuh. Aku tersenyum menanggapi. “Atau kubawakan saja makananmu, Mas? Kau bisa makan di sini, kalau kau mau.”
“Sudah kubilang tidak! Pergi kau, pelacur!” bentaknya dan satu tamparan keras mendarat di pipiku, dan air mataku menyusul setelahnya.
***
“Kemarin malam, kau tak datang ke bar. Sudah bosankah menemuiku?” suara perempuan dari kamar ia. “Kau boleh berhenti menemuiku apabila sudah bosan,” lanjutnya
“Aku mencari sayap kupu-kupu berwarna biru.”
Perempuan itu tertawa renyah.
“Sayap seperti apa yang sebenarnya kau inginkan, Sayang?” Ia bertanya.
“Yang berwarna biru,” suara perempuan di kamar ia.
“Ah, apakah hanya itu satu-satunya syarat agar aku bisa memilikimu seutuhnya?!”
“Sayap itu untukmu, kau yang membutuhkannya. Aku kan, sudah punya sayap, tinggal kau yang tidak. Kau tak akan dapat terbang bersamaku kalau kau tak punya sayap, bukan? Kau hanya perlu meminjamnya, Sayang. Apabila kau nanti sudah punya sayap sendiri, kau bisa mengembalikannya, atau bisa pula kau tak perlu mengembalikannya.”
“Tapi aku tak tahu di mana harus mendapatkannya. Aku sudah teramat banyak mengumpulkan sayap kupu-kupu berwarna biru. Hanya sayap kupu-kupu yang berwarna biru. Kau sudah lihat sayap-sayap itu berserakan di rumahku, bukan? Tapi kau selalu bilang bukan sayap itu yang kau inginkan.”
“Coba kau tanya istrimu, mungkin saja dia tahu. Dia dulunya juga kupu-kupu, bukan?”
Hening sejenak.
“Tak adakah kau butuh uang, rumah, mobil, atau sesuatu lain? Aku bisa memberimu semua itu, asal aku dapat berhenti berburu sayap itu.”
“Berarti kau tak benar-benar mencintaiku, Sayang.”
“Bukan seperti itu, Lalita…”
Seketika, waktu terasa melambat. Aku tergugu. Pertahananku runtuh. Pundakku bergetar menahan tangis yang sejak tadi berusaha melesak keluar dari kedua mataku. Dadaku sesak luar biasa menahan sakit ketika sesuatu yang lembut mulai tumbuh dari punggungku. Kulihat daun pintu terbuka memperlihatkan ia dan Lalita, wanita keparat, pelacur jalanan dari masa laluku.
Ia berjalan mendekatiku, menatapku dengan tatapan dingin, begitu pula perempuan bergaun merah di sampingnya. Aku berusaha tersenyum pada ia yang kini tengah mengiris punggungku.
Karangcempaka, 14 Februari 2019
Eiffah Eizzatul Umami lahir di Sumenep, 27 Agustus 2001. Dia aktif di Sanggar Alfabet Pondok Pesantren Nurul Islam Karangcempaka-Bluto Sumenep, dalam kelas kreatif Menulis Cerpen. Penyuka musik, sastra, tumpukan buku, dan senja.