Hari Pertama Menjadi Dukun
Kadang, dalam keseharian, aku sering berseloroh, enak juga jadi dukun. Tapi, aku tak memiliki keahlian dukun. Aku tak memiliki keturunan dukun.
Seperti biasa, pagi itu aku menikmati kopi kental manis dan singkong rebus. Tidak ada lagi rokok. Sudah lama tidak merokok mengikuti nasihat istri. Bukan soal kesehatan, tapi lebih banyak masalah ekonomi. Aku hitung sudah tiga tahun tidak ada kerja jelas dan tiga tahun pula tidak merokok.
Istriku duduk di sebelahku. Ia mengeluhkan anak-anak yang belum bayar sekolah tiga bulan. Listrik mau dicabut. Kemarin ada petugas listrik mau cabut. Tapi, keahlian istriku melakukan negosiasi, membuat petugas PLN pulang tanpa hasil. Telepon rumah tinggal bisa menerima. Tak bisa lagi dimanfaatkan keluar. Ada telepon genggam kuno yang kebetulan tak lagi ada pulsa. Aku kadang memainkan telepon genggam hanya untuk menghitung kalkulator tanpa tujuan jelas.
Televisi rasanya sudah habis semua aku tonton. Tivi 20 inchi yang gambarnya sudah mulai pudar. Pekerjaanku, jika ada kawan bertanya, selalu aku jawab: penonton setia tivi. Kawan yang dengar hanya nyengir. Jika ada teman yang baik hati, ia menyelipkan sesuatu ke sakuku. Kadang Rp 100.000 dan bahkan kawan yang sudah menjadi pejabat pernah menyelipkan uang Rp 500.000.
Tivi, akhir-akhir ini sering memunculkan paranormal atau dukun dengan gelar baru ustad. Aku jengkel. Dukun jangan disamakan dengan ustad. Dukun itu adalah orang yang memiliki kelebihan bisa menolong dan membantu penyembuhan seseorang. Ustad itu guru agama. Kalau orang menganggap dukun sebagai ustad, artinya sudah mulai melenceng. Nanti ajaran dukun itu dianggap paten seperti ajaran agama.
Kehidupan dukun, akhir-akhir ini juga menggiurkan. Ada tiga dukun di sekitar desa saya yang hidupnya lumayan mewah. Punya mobil baru dan pasiennya selalu banyak. Entah, apakah biaya pengobatan moderen yang mahal menjadi salah satu alasan membuat masyarakat beralih ke dukun. Apalagi, pengobatan modern sering angkat tangan berhadapan dengan ragam penyakit yang semakin aneh dan asing.
Kadang, dalam keseharian, aku sering berseloroh, enak juga jadi dukun. Tapi, aku tak memiliki keahlian dukun. Aku tak memiliki keturunan dukun. Keluarga ayahku adalah keluarga wiraswasta. Keluarga ibuku dari kalangan pegawai negeri. Keluarga istriku petani. Sama sekali tak ada darah dukun mengalir. Aku, sejak usia 20 tahun sudah bekerja di swasta hingga kemudian kena PHK tiga tahun yang lalu. Waktu itu aku bekerja sebagai staf pembukuan, karena aku dulu pernah sekolah SMEA.
Istriku tahu, jika aku pulang membawa beras, gula, minyak, dan lauk pauk, sudah bisa dipastikan ada beberapa kawan yang menyelipkan sesuatu pada sakuku. Istriku tak peduli. Ia tahu, aku tak pernah meminta. Tapi, tak layak menolak jika seseorang memberiku sesuatu. Aku bukan pejabat yang bukan menganggap pemberian sebagai suap atau gratifikasi. Hanya, aku tak ingin disebut keluarga miskin yang harus berebut bantuan langsung tunai. Petugas kelurahan juga tak percaya jika aku miskin, karena rumahku berlantai keramik.
Ada tiga kamar bekas kemakmuran masa lalu. Karena itu aku tidak ikut kebagian kompor dan tabung gas gratis beberapa tahun lalu.
Giman, Sastro, Kamidi, Hamid, Kamsul, dan Toni adalah teman-teman yang selalu memperhatikanku. Setiap pekan mereka selalu mengundangkan bergiliran datang ke rumahnya. Makan-makan di sana, ngobrol, dan ngebanyol. Pulang bawa duit. Memang, untuk hidup sehari-hari, Allah masih memberiku kecukupan. Bisa makan. Karena itu para tetangga menganggapku banyak simpanan uang di bank. Padahal, sudah tiga tahun tak pernah ke bank dan tabunganku nol.
Pernah juga aku diminta aktif pada sebuah partai baru. Aku menolak, meski harus kuakui, kadangkala muncul perasaan sesal. Sebab, banyak teman-teman yang aktif di partai itu yang kecerdasannya jauh di bawahku kini sudah menjadi orang penting. Aku lebih suka memilih orang bebas, karena tanggungjawab partai sangat berat secara moral dan agama. Duit berhamburan untuk aktivis partai, tapi, aku bersyukur tak terperciki sedikit pun dari uang panas itu.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Aku kenali sebagai mobil Kamidi. Ia turun membawa makanan. Seperti biasa aku ngobrol ngalor ngidul dengannya. Kadangkala istriku ikut nimbrung. Tapi, ia lebih banyak menyiapkan makanan di dapur.
Kamidi bercerita, ada tetangganya, pekerja swasta sukses yang sekarang lagi kena masalah dengan atasannya. Ia didakwa tak loyal dengan atasannya dan sangat mungkin akan menggesernya pada jabatan tak bergengsi dan kering. Gajinya selama ini Rp 20 juta. Jika ia tak menjabat lagi, maka penghasilannya bisa merosot menjadi separuh.
”Ia meminta tolong mencarikan orang pintar, Tom?” kata Kamidi.
”Wah, aku tak punya kenalan orang pintar. Kalau yang di televisi itu kayaknya tukang bual saja. Orang yang sudah masuk televisi motifnya hanya pengin terkenal dan dapat duit banyak. Karena itu, kita harus cari orang pintar yang pas yang tidak mata duitan.”
Aku dan Kamidi saat itu tak punya jalan keluar. Kamidi pulang belum mengantungi nama dukun yang bisa menolong. Malam itu, kami sedikit pesta, karena Kamidi menyelipkan duit cukup besar, Rp 1 juta. Aku bisa mengisap rokok lagi tanpa harus dipelototi mata istri.
Malam hari, Kamidi kembali menelepon. ”Tom, kau aja yang jadi dukun. Tolong dia!” kata Kamidi dari seberang sana. Kata-kata itu belum pernah aku dengar dan rasanya seperti geledek. ”Bagaimana mungkin aku bisa jadi dukun?”
”Sudahlah, carilah jalan apa saja. Katanya asal yakin berhasil. Gini aja, suruh dia shalat hajat apa tahajud dan suruh aja dia baca apa, terserah kau. Kau kan lebih saleh dibanding aku,” kata Kamidi.
Di antara kemasgulanku itu, Kamidi tiba-tiba berkata: ”Besok pagi orangnya kemari ketemu kau.” Belum sempat aku bertanya lagi, telepon sudah ditutup dan aku tak bisa lagi menghubunginya kembali.
Malam itu aku tak bisa memicingkan mata karena memikirkan apa yang akan aku sampaikan kepada orang itu. Istriku membuka buku-buku doa. Aku mencoba menghubungi saudara yang agak mengerti soal doa di Jawa Tengah. Ia kemudian memberi beberapa cara yang sangat mudah dan praktis untuk dimanfaatkan. Sangat menolong.
Pagi hari, istriku mengusulkan aku mengenakan blangkon, mirip dukun. Tapi, aku menolak. Aku hanya mau pakai batik lengan panjang dan peci hitam. Aku sudah siapkan saran apa yang pas untuk tamuku nanti.
Benar, pagi itu sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan rumah. Pasangan suami istri turun. Pasangan tampan dan cantik. Usia laki-lakinya sekitar 40 tahunan. Istrinya, berusia sekitar 35 tahunan. Ia bersalam dan kemudian saya persilakan duduk.
Aku keluar menyambut mereka dengan mencoba berwibawa. Keduanya mencium tanganku. Ia kemudian cerita panjang lebar tentang persoalannya. Ada keluarga pemilik saham terbesar yang kini berusaha menggesernya dengan mengadu domba dengan direksi. Repotnya, ia tak bisa bertemu dengan direksi itu. Direksi sudah tak mau lagi menemuinya. ”Bagaimana menurut penerawangan Bapak?” tanyanya.
Aku gemetar juga mendengar kata-kata penerawangan? Artinya, aku di mata mereka sudah dianggap dukun sakti. Aku mencoba menenangkan diri. Lonjakan nafasku aku tahan sedemikian rupa sehingga mirip dengan semedi. Aku lihat pasangan suami istri itu memerhatikanku terus.
”Begini. Menurut penerawangan saya, bapak harus bisa menemui direksi bapak, kalau bisa hari ini. Pertama kali, mintalah maaf. Kedua, katakan sudah lama ingin ketemu dan ingin ngobrol berbagai hal tapi, belum sempat juga. Ketiga, mohon petunjuk berikutnya.”
”Baik,” kata pasangan itu.
”Tapi,” sergahku. ”Sebelum bapak menemui direksi itu, bapak harus dalam keadaan suci. Berwudlu seperti mau shalat dan laksanakan shalat dua rekaat.”
”Baik.”
Ia pulang menyelipkan amplop tebal dan setelah kubuka berisi uang Rp 5 juta. Aku bersyukur. Aku langsung beli pulsa dan menelepon Sarjito. ”Kamu sekarang direktur ya? Kau punya anak buah bernama Hendra Wijayarta? Apa benar ada masalah denganmu?”
”Tidak ada Tom, dia anak buahku yang baik. Karena kesibukan saja aku tak sempat memanggilnya. Dia orangnya perasa. Bertanggung jawab dan pekerjaannya bagus. Dia malah akan aku usulkan naik jabatan sebagai wakil direktur.”
”Begitu. Tolong ya kalau nanti engkau ketemu dia jangan bilang temanku dan aku menelepon ya!”
Sarjito tertawa. Ia mengharap aku main ke kantornya. Sarjito teman SMEA dulu yang kini termasuk orang sukses dan lama tidak bertemu.
Sore hari, pasangan tadi datang lagi dengan wajah bersinar. ”Terima kasih banyak. Saran dan doa bapak manjur. Terima kasih saya malah sekarang diangkat sebagai wakil direktur,” katanya sambil menciumi tangan saya berkali-kali. Saya tersenyum dengan risih.
Pulang, kembali ia menyelipkan uang Rp 5 juta. Aku sedikit kikuk, karena sore hari itu aku tidak mengenakan batik dan peci hitam, yang sejak hari itu menjadi baju resmiku sebagai dukun.
Palembang, 3 Agustus 2011
*Musthafa Helmy adalah mantan Wartawan Tempo, Editor, Tiras dan D&R. Sekarang mengelola majalah Risalah NU dan Mimbar Ulama. Tinggal di Tangerang.