Paket
Setelah Pak Pos pergi, segera kubuka paket itu. Aku terkejut melihatnya: Hanya palu dan arit serta selembar surat.
Menjelang siang, Pak Pos datang menyerahkan sebuah paket kepadaku. Nama dan alamatku sangat jelas tertulis sebagai si penerima paket itu. Lalu segera kuparaf tanda terima yang disodorkan kepadaku, meski aku tidak mengenal nama dan alamat si pengirimnya.
Setelah Pak Pos pergi, segera kubuka paket itu. Aku terkejut melihatnya: Hanya palu dan arit serta selembar surat. Palunya seperti milik tukang-tukang kayu. Aritnya seperti milik peternak sapi yang biasanya digunakan untuk memotong rumput.
Sedangkan kertas surat itu berwarna merah darah. Kata-katanya ditulis tangan menggunakan tinta hitam. Tanpa tandatangan, tanpa nama dan tanpa alamat. Lalu kubaca dengan hati masygul: “Palu arit ini untuk membongkar rumahmu yang sudah bobrok. Semoga bermanfaat.”
Dengan kesal, segera kurobek-robek surat itu karena isinya tidak masuk akal. Betapa tidak?! Untuk membongkar dan membangun kembali rumah yang sudah bobrok tidak mungkin cukup dengan palu arit.
Palu tanpa paku, apa gunanya? Sedangkan arit di tangan bukan petani dan peternak hewan yang makan rumput hanya bisa berpotensi menjadi senjata tajam. Tapi rasanya sayang jika aku membuangnya. Rasanya dalam hidup ini sesekali akan membutuhkan palu dan arit untuk digunakan sebagaimana mestinya. Lalu kusimpan kedua benda itu di bawah rak piring di pojok dapur. Siapa tahu pada suatu saat ada gunanya?
Sebagai istri pegawai negeri yang bekerja di kantor pemerintahan daerah, sudah biasa hidup pas-pasan. Bahkan bisa dikatakan serba kekurangan jika format berkeluarga tidak disederhanakan.
Gaji bulanan suamiku hanya cukup untuk membeli sembako. Setiap hari suamiku terpaksa pergi dan pulang kerja dengan naik sepeda onthel agar tidak perlu membeli bensin yang harganya makin mahal.
Rumah kami hanya tipe 21 yang belum lunas kreditannya. Aku hanya ibu rumah tangga dan kedua anakku masih duduk di SD. Aku merasa nyaman tinggal di rumah tipe 21 karena semua rumah tetangga juga tipe 21.
Kampung kami memang kampung perumahan rakyat yang dibangun oleh pemerintah dengan semangat keseragaman agar tidak menimbulkan kelas-kelas sosial yang berbuntut pada kecemburuan sosial. Semangat sosialisme ini pada suatu ketika pernah diperdebatkan dan bahkan menjadi pergulatan ideologi yang sangat sengit karena tidak sesuai dengan semangat kapitalisme yang makin dominan.
Tetapi kami dan tetangga-tetangga lama-lama menyadari betapa semangat sosialisme hanya fatamorgana. Di antara kami, jika ada yang punya banyak uang, kemudian membangun atau membeli rumah tipe mewah di kampung lain.
Umumnya rumah-rumah mewah itu untuk beristirahat di akhir pekan dan untuk menyimpan mobil dan perkakas macam-macam yang tak mungkin ditempatkan di rumah tipe 21. Bahkan rumah mewah itu ada yang digunakan untuk menyimpan istri kedua atau kekasih gelap karena poligami resmi dianggap tabu.
Setelah palu dan arit kusimpan di bawah rak piring, masalah kuanggap selesai. Tapi ternyata tidak. Muncul masalah baru yang sangat rumit, ketika suamiku tiba-tiba menggeledah isi dapur dan menemukan kedua benda yang dianggap memiliki makna politis itu.
“Rupanya kamu tidak bisa melupakan ideologi yang sudah dilarang sejak lama,” komentar suamiku sambil memegang palu dan arit.
“Apa maksudmu?” tanyaku ketus. Rasanya aku sangat tersinggung, karena suamiku mencurigaiku, mentang-mentang aku keturunan PKI. Ayahku dulu Ketua Cabang PKI yang kemudian ikut menjadi korban pembersihan, jenazahnya ditemukan di tengah persawahan dengan leher nyaris putus.
Setelah itu Ibu dipenjara seumur hidup tanpa proses persidangan, sedangkan aku diurus oleh Paman yang kebetulan anti PKI. Sejak kecil aku dididik Paman untuk menjadi manusia beragama yang rajin beribadah. Aku disekolahkan di madrasah agar bisa menulis dan membaca aksara latin dan arab. Lalu setelah dewasa aku menikah dengan suamiku, putra seorang modin di desanya.
“Apa maksudmu menyimpan palu dan arit ini di bawah rak piring? Bukankah benda-benda ini bukan sembarang benda?” suamiku balik bertanya.
“Aku menyimpannya di bawah rak piring, karena siapa tahu suatu ketika ada gunanya.”
“Dari mana kamu memperolehnya?”
“Seseorang entah siapa mengirimkannya dalam paket tanpa nama dan alamat pengirim yang jelas.”
“Kenapa kamu mendapat kiriman benda-benda ini?”
“Mana aku tahu?!”
“Jangan menyimpan rahasia! Kita ini suami istri, harus serba terbuka!”
“Siapa yang menyimpan rahasia?”
Suamiku mendengus panjang, lalu menaruh palu dan arit ke bawah rak piring lagi. Setelah itu suamiku tidak mau bicara lagi. Mulutnya seperti dikunci rapat-rapat.
“Apa maksudmu?” tanyaku ketus. Rasanya aku sangat tersinggung, karena suamiku mencurigaiku, mentang-mentang aku keturunan PKI. Ayahku dulu Ketua Cabang PKI yang kemudian ikut menjadi korban pembersihan, jenazahnya ditemukan di tengah persawahan dengan leher nyaris putus.
Aku mencoba untuk tetap tenang, biar sesekali rumah kami tampak sepi tanpa perbincangan dan senda-gurau. Anak-anak kami selalu asyik bermain-main dengan kawan-kawannya di luar rumah, setiap pulang sekolah. Mereka hanya berada di rumah untuk makan, mandi, menggarap PR dan tidur.
Suasana sepi berlangsung selama satu pekan. Setelah itu suamiku tiba-tiba mengajakku bicara.
“Aku tidak mau punya istri yang diam-diam ingin menghidupkan komunisme,” ujar suamiku dengan suara berat.
Aku langsung membantah keras. “Aku tidak mau difitnah oleh siapa pun, termasuk oleh suamiku sendiri.”
“Aku tidak memfitnah, karena buktinya kamu menyimpan palu dan arit di bawah rak piring.”
“Apakah menyimpan palu dan arit sudah bisa dianggap mau menghidupkan komunisme? Jangan keterlaluan! Semua keluarga pasti menyimpan benda-benda yang pada suatu saat bisa digunakan sesuai fungsinya.”
“Kalau kamu memang ingin menghidupkan komunisme, kita harus bercerai.”
Aku terperangah. Mataku terasa basah. Kalimat terakhir yang diucapkan suamiku benar-benar sangat memukulku. Dan aku sangat sedih karena setelah mengatakannya suamiku bungkam saja, bahkan tidak lagi mau makan menu masakanku di rumah. Gajinya juga tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepadaku, melainkan sudah diambil 25 persen, mungkin untuk makan di luar rumah sehari-hari.
Meski kami tetap tidur seranjang dalam satu kamar, tapi tidak lagi berhubungan badan atau sekadar bicara pelan sambil bercumbu mesra.
Aku mencoba bersabar menghadapi keadaan gawat. Jika aku tidak sabar, mungkin rumah tangga kami akan segera bubar. Dan di balik kesabaran itu, aku diam-diam melakukan penyelidikan. Aku memata-matai suamiku pada saat keluar dari kantornya. Suatu siang, ketika suamiku keluar dari kantor tampak akrab dengan rekan wanitanya yang juga naik sepeda. Suamiku dan rekan wanitanya itu mampir ke warung makan untuk makan siang bersama.
Lalu kubuntuti rekan wanita suamiku. Dia tinggal di kampung lain. Tampak rumahnya sepi, tak ada orang lain. Lalu pada hari yang lain, aku bertanya kepada tetangganya. Ternyata dia adalah seorang janda. Konon dia minta cerai setelah suaminya kecantol wanita lain di luar kota.
Pada hari lainnya, aku sengaja masuk pasar dan mencari kios penjual alat-alat pertukangan seperti palu, arit, gergaji, linggis dan sebagainya. Kutanyakan apakah sebulan lalu pernah ada laki-laki yang ciri-cirinya sama dengan suamiku yang membeli palu dan arit?
Pemilik kios itu mengangguk sambil berkata, “Ya. Tapi seingatku, belakangan banyak orang membeli palu dan arit. Mungkin untuk membangun rumah gubuk di lahan baru karena banyak kampung dilanda banjir atau menjadi korban gempa dan tanah longsor.”
Lalu kuperlihatkan sebuah foto suamiku yang sengaja kubawa dari rumah.
“Betul, dia datang bersama seorang wanita memakai seragam kantor pemda. Malah wanita itu yang membayarnya. Kemudian palu dan arit yang dibelinya itu langsung dibungkus dengan kardus, lalu dibungkus lagi dengan kertas kado. Katanya akan dikirimkan kepada seseorang.”
Pada hari lainnya, aku sengaja masuk pasar dan mencari kios penjual alat-alat pertukangan seperti palu, arit, gergaji, linggis dan sebagainya. Kutanyakan apakah sebulan lalu pernah ada laki-laki yang ciri-cirinya sama dengan suamiku yang membeli palu dan arit?
“Sayalah yang menerima kiriman itu. Terima kasih. Anda telah membantu saya membongkar skandal cinta yang sangat keji.”
Pemilik kios itu terpana dengan kening berkerut. Sepertinya mau bertanya tapi ragu-ragu. Lalu aku buru-buru permisi meninggalkan kios itu.
Sekarang, aku betul-betul mengerti, betapa suami yang berselingkuh memang amat sangat kejam terhadap istri. Dan aku pun jadi mengerti, kenapa ada istri yang tega membunuh suaminya yang telah berselingkuh. Tapi rasanya aku tidak akan tega membunuh suamiku, karena aku masih mencintainya, entah sampai kapan...***
Kandang Roda, 20022020
Siti Siamah lahir di Grobogan 26 Desember 1977. Banyak menulis cerpen, puisi, novel, esai dan peneliti di Global Data Reform. Kini, Siti menetap di Bogor, Jawa Barat.