Perihal Cerita Anjing
”Anjing tengik! Enyah dariku,” bentak Lihin kepada anjing yang barusan menjilati jubah putih yang dipakainya.
”Memang daerah sini banyak anjing, Kyai. Jadi Kyai harus hati-hati,” seorang panitia acara maulid nabi memberi tahu kepadanya.
Sebenarnya setelah Lihin mengisi pengajian maulid di desa ini, ia akan mengisi pengajian maulid di daerah lain. Laki-laki berjubah putih itu sangat buru-buru tapi karena seekor anjing, ia harus menahan untuk langsung pergi dan mengganti jubahnya yang lebih suci.
Anjing putih dengan corak hitam di bagian mata, leher, dan punggung kanan masih berdiri tidak jauh dari Lihin. Masih memandang Lihin dengan matanya yang bulat. Mungkin sebagian orang yang melihatnya akan gemas tapi tidak dengan Lihin. Ia geram dengan anjing itu. Saking geramnya sebuah batu sebesar kepalan tangan orang dewasa dilemparkan ke arah sang anjing. Batu mengenai kepala anjing dan ia lari kocar-kacir ketakutan.
”Kyai bisa mengganti jubah Kyai di rumah kami,” ucap panitia tersebut sambil menunjuk ke sebuah rumah.
Lihin menuju mobilnya yang terparkir. Mengambil sebuah jubah di bagasi mobil. Ia kemudian masuk ke rumah yang ditunjukkan panitia. Sebuah rumah yang cukup nyaman untuk ditempati, tapi bukan itu yang Lihin inginkan. Rumah ini hanya sekadar untuk tempat mengganti pakaian saja. Ia harus segera pergi dari rumah sang panitia.
”Sudah Kyai?” tanya sang panitia setelah melihat Lihin telah berganti pakaian.
”Sebaiknya Kyai jangan terburu-buru, saya sudah buatkan sesuatu untuk Kyai.”
”Sebenarnya saya ingin cepat-cepat pergi karena ingin mengisi pengajian lagi, tapi jika Bapak memaksa saya akan di sini terlebih dahulu.”
”Tunggu sebentar ya Kyai,” ucapnya seraya mengeloyor masuk ke dalam rumah.
Kini tinggal Lihin sendirian duduk di ruang tamu. Dengan sebungkus rokok dan beberapa makanan ringan yang dihidangkan, Lihin mengisi kesepian.
Belum habis sebatang rokok yang ia nyalakan, anjing yang menjilati jubah Lihin menyelinap masuk ke dalam rumah. Ia hanya berdiri memandang Lihin tanpa melakukan apa pun.
”Hay anjing gila. Sedang apa kau ke sini?”
Sang anjing masih terdiam. Tidak ada gonggongan sama sekali. Hanya nafas cepatnya yang mengeluarkan suara, selainnya hening. Keheningan terpecah saat seorang lelaki masuk ke rumah itu.
”Assalamualaikum,” ucap seseorang lelaki berwajah tampan. Baju jubahnya lebih putih dari milik Lihin. Wajahnya terlihat bersinar. Badannya nampak mengeluarkan cahaya. Lihin yang pertama kali melihat manusia seperti itu sempat terheran-heran. Keheranan yang memuncak membuatnya terbungkam. Lihin terpaku ketika sesosok lelaki istimewa duduk di sisinya.
”Apakah kau tidak suka anjing?” tanya lelaki itu kepada Lihin yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Lihin.
”Pegang tanganku. Akan aku ceritakan kisah tentang anjing-anjing dengan para manusia alim agar kau tahu arti kehidupan,” laki-laki itu menjulurkan tangannya. Lihin menyambut dengan jabatan tangan.
Semula tidak ada hal aneh antara mereka. Beberapa detik kemudian rumah berubah menjadi ruangan aneh. Berwarna putih, lapang tanpa sudut. Lihin semakin bingung dengan yang terjadi, tapi tetap saja ia tidak dapat melakukan apa-apa. Tangannya yang bergenggaman dengan laki-laki berjubah putih membuatnya semakin terjerat.
”Sekarang lihatlah ke depan,” suara lelaki misterius itu menggema. Di sebuah ruang tanpa sudut tersebut muncul sebuah layar hitam di hadapan mereka. Layar besar itu seketika menampilkan sebuah film.
Film yang menampilkan sebuah anjing putih bercorak hitam di matanya sedang berlari di atas padang rumput. Berlari menanjak bukit-bukit kecil menaiki batu-batu gunung dengan lincah. Tanpa lelah sang anjing terus mendaki walaupun ia membawa beberapa barang di mulutnya. Ia menggigit sebuah wadah yang entah apa isinya.
Cukup lama layar besar itu hanya menampilkan anjing, bukit, rumput dan bebatuan saja. Rasa bosan mungkin menyerang Lihin yang terpaksa menontonnya. Tapi ia masih terbatu hingga film itu menayangkan sang anjing menemukan sebuah gua. Cukup besar gua yang dijumpainya dan anjing masuk ke dalamnya. Sunyi dan gelap, dua kata yang mewakili suasana gua. Anjing putih yang mempunyai corak di matanya tidak merasa takut, ia terus masuk ke dalam dengan gagah.
Sang anjing terus berjalan hingga ke perut gua. Mungkin sebagian orang mengira tidak ada manusia yang bisa bertahan di perut, tapi tidak dengan hal ini. Tujuh orang laki-laki tidur di sana. Si anjing dengan semangat mengibaskan ekornya ke wajah orang-orang yang sedang terlelap hingga semua terbangun.
”Hay Qithmir apa yang kamu bawa?” ucap salah satu laki-laki ketika ia melihat sesuatu di mulut anjing. Ia langsung mengambil dan membuka wadah yang dibawa anjing.
”Apakah kamu memberikan roti-roti ini kepada kami?” Sang anjing menggonggong sebagai tanda memang roti yang dibawa untuk mereka. Layaknya orang kelaparan, ketujuh laki-laki memakan beberapa potong roti dengan cepat tanpa menyisakan sedikit pun.
Layar yang menampilkan film tadi mati.
”Bagaimana menurutmu? Apakah anjing itu buruk dan hina?”
”Mungkin tidak. Tapi apakah Rasulullah menyukai anjing?”
Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Lihin, ia membalasnya dengan senyum. Ia tetap sabar menghadapi Lihin yang keras kepala perihal anjing. Lihin sangat benci dengan anjing. Kebenciannya dilampiaskan dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan laki-laki misterius.
”Lihatlah ke layar kembali, agar kau tahu jawaban atas pertanyaanmu sendiri.”
Layar menyala kembali. Kini tayangannya berbeda dengan yang tadi. Walaupun masih terfokus pada seekor anjing tapi tetap berbeda. Dengan anjing yang berbeda, latar yang berbeda, mungkin dengan kisah yang berbeda pula.
Dalam layar, seekor anjing putih dengan corak hitam di leher dan punggung kanan sedang berdiri di atas padang pasir. Semula ia hanya dengan anaknya yang menyusu kepadanya. Beberapa saat dari arah kanan muncul segerombolan pasukan besar. Pasukan perang dengan berbagai senjata dibawanya. Pasukan dipimpin oleh seseorang yang sangat tampan dan terlihat bijaksana. Ia mengendarai kuda putih.
Ketika pasukan perang semakin dekat dengan anjing dan anaknya, lelaki yang memimpin memberhentikan kudanya. Ia berseru, ”Wahai para sahabatku. Di sini ada seekor induk anjing dan anaknya. Berhati-hatilah jangan sampai kalian melukainya.”
Perintahnya dituruti oleh semua pasukan. Mereka menghindar ketika berhadapan dengan anjing. Walaupun beratus-ratus bahkan beribu-ribu prajurit, tidak ada satu pun dari mereka mengganggu sang anjing. Mereka lewat begitu saja. Si anjing pun tidak sesekali mengganggu para prajurit. Ia tenang dengan anaknya yang sedang menyusunya.
Laki-laki penunggang kuda kembali menghampiri sang anjing. Ia turun dari kuda. Tangan kanannya membawa kantong. Dibukanya kantong tersebut yang berisi sepotong roti. Ia memberikan roti lalu dibawa oleh sang anjing. Dengan lahap induk anjing dan anaknya makan roti yang menjadi miliknya.
Senyum manis tersimpul dari wajah laki-laki penunggang kuda. Rasa puas melihat anjing kenyang terpancar dari wajahnya yang jernih. Ia seakan memiliki satu perasaan dengan sang induk anjing. Laki-laki penunggang kuda terus mengamati kedua anjing; anak anjing yang sedang menyusu dan induknya merebahkan diri pasrah dadanya dihisap. Ia terlena sehingga hampir lalai dengan pasukannya. Untung saja kudanya kuat dan cepat, ia segera menyusul pasukannya yang belum terlalu jauh.
Layar kembali mati. Layar hitam di antara putihnya ruang terlihat sangat kontras. Tapi tiba-tiba layar menghilang bak ada sesuatu yang menggerogotinya. Hingga senti per senti hilang dan menghilangkan wujud layar.
”Kamu tahu laki-laki penunggang kuda tadi?” tanya orang yang masih setia menemani Lihin. Tidak ada jawaban secara lisan dari Lihin karena ketidaktahuannya. Gelengan kepala kembali mewakili jawaban ketidaktahuan.
”Beliau adalah manusia yang kau anggap tidak menyukai anjing. Kenyataannya beliau sangat mencintai anjing.”
Lihin merenungi ucapan laki-laki yang belum diketahui namanya. Renungan itu membawanya hanyut dalam tangisan penyesalan. Rasa bersalah kepada anjing-anjing dirasa sangat besar. Jika anjing-anjing yang pernah ia sakiti dan siksa ada di depannya, ia akan memeluk dan meminta maaf kepada para anjing. Sayang, itu hal yang mustahil.
”Apakah kejahatanku terhadap para anjing dapat menghalangiku bertemu dengan Rasulullah?” Lihin sambil tersedu-sedu.
”Tuhan Maha Pemaaf, begitu juga dengan utusannya. Jangan khawatirkan perkara amal,” jawabnya dengan bijak membuat Lihin semakin menjadi-jadi. Gandengan tangan mereka terlepas. Lihin tersungkur di atas lantai yang putih. Bersujud seraya menangis dengan kuat. Tangisannya menggema di ruang yang hanya ada Lihin dan laki-laki berwajah putih misterius.
”Sudah hentikan tangisanmu,” laki-laki itu membantu Lihin untuk berdiri kembali. ”Mohon maaf jika aku lancang dan belum sempat memperkenalkan diri. Sebenarnya aku ini adalah Jibril.”
Lihin seperti orang yang tidak mempunyai tulang. Ia jatuh dan duduk lemas. Tangisannya hanya sebuah suara tanpa adanya air mata yang menetes. Air matanya habis terkuras dari tadi.
”Maafkan aku malaikat Jibril. Aku sudah berlaku dzalim kepada makhluk Allah,” Lihin bersujud di hadapan kakinya. Tapi ia sungkan dan kembali membantu Lihin berdiri lagi.
”Jibril! Jadikan aku seekor anjing agar aku merasakan apa yang mereka rasa.”
Jibril kebingungan dengan permintaan hamba Allah ini. Tentu penolakan akan selalu muncul. Namun ia selalu memelas, meminta bahkan memaksa hingga permintaannya dikabulkan.
Tubuh Lihin bercahaya, semakin mengecil dan berubah bentuk. Semakin kecil tubuh semakin terang cahaya yang dikeluarkan. Hingga tubuh Lihin berukuran sebesar anak anjing dan ledakan cahaya menyilaukan menjadi akhir masa perubahan.
Lihin berubah menjadi seekor anak anjing berbulu putih mulus. Ia hanya bisa menggonggong sepanjang waktu. Ruang putih misterius hilang berganti ke sebuah ruang tamu milik panitia maulid nabi dengan Lihin yang sudah berubah.
Hanya Lihin yang berubah, tidak ada yang berubah setelah ditinggal pergi ke ruang misterius. Anjing berwarna putih dengan corak hitam di mata, leher, dan punggung kanan masih berdiam diri di depan pintu. Suasana benar-benar tidak ada yang berubah kecuali Jibril yang hilang entah ke mana.
Lihin yang telah berubah menjadi anjing menghampiri makhluk yang pernah ia siksa. Belum sempat mereka saling dekat, anjing itu kabur dari Lihin dan Lihin berusaha mengejarnya sambil terus menggonggong.
----------------
Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci, Purwokerto. Saat ini, ia masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto dan Komunitas Pembatas Buku Jakarta (KPBJ). Karyanya terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen, di antaranya: Indah Pada Waktunya (Jejak Publisher, 2018), Ya Allah Izinkan Kami Menjadi Birrul Walidain (Event 7 Pejuang Antologi, 2018), dan Retorik (Ellunar Publisher,2019). Dan, tersiar pada media Negeri Kertas, Nusantara News, Radar Banyumas, Kabar Madura, Solopos, Minggu Pagi, harian Rakyat Sultra, dan Banjarmasin Post.