Warna Senja
Suamiku sangatlah baik padaku. Tentu saja. Ia hanya mulai sering terlambat menyediakan stok warna senja gara-gara aku yang terlalu cepat melukis
Aku ingin membenamkan wanita itu dalam lautan hitam. Sebagaimana sang surya ditenggelamkannya hingga menyemburkan warna jingga kemerah-merahan di langit. Sedari tadi mulutnya mencerocoskan banyak pertanyaan padaku. Tak henti-henti merogoh kehidupan pribadiku bahkan yang paling tersembunyi sekalipun. Aku tak tahu apa tujuannya. Sayang, aku tak mungkin sungguhan melakukannya. Sebab pemandangan laut berlatar senja di langit hanya ada dalam lukisanku.
Wanita itu duduk tak sampai dua depa dari tempatku melukis senja di salah satu sudut ruangan putih, bersih nan lengang ini. Rambutnya hitam dengan sedikit semburat warna tanah pada ujung-ujungnya. Membingkai parasnya yang sewarna pasir pantai keemas-emasan. Ketika tak sengaja mata kami bersitatap, kudapati ia memiliki dua iris mata hitam legam. Senyum pun selalu tergurat di bibirnya yang bersapu gincu kecoklatan, nyaris tiap kali aku melirik padanya. Lantas mengapa aku merasa harus membangun pagar antara kami berdua? Barangkali karena aku tak mau salah lagi menilai orang. Peringatan-peringatan semacam itu selalu dibisikkan padaku. Seolah ada semut-semut yang menggerayangi otakku.
Segala yang ia lontarkan tak menghentikan tarian tanganku di atas kanvas berukuran sekitar 40 x 50 sentimeter yang terpacak anteng di hadapan. Hanya bergetar atau sedikit bergoyang tatkala aku sedikit terlalu bersemangat menggoreskan cat di atasnya. Jingga kemerah-merahan, merah keemas-emasan memenuhi nyaris seluruh permukaan kanvas. Sudah kuperas tuntas tube berisi cat merah dan jingga hingga wadahnya itu gepeng. Masih pula kugulung-gulung demi menguras isi. Setelah ini mungkin akan kukoyak tube itu demi mengais sisa-sisanya.
”Kau suka melukis senja, ya? Banyak sekali lukisan senjamu. Ada kenangan apa dengan senja, dirimu dan mungkin juga suamimu.” Lihat! Ia membuka mulutnya lagi.
Tentu aku suka melukis senja. Siapa yang tidak? Kata Almarhum Bapak, aku lahir saat senja. Banyak orang berkata anak yang lahir ketika matahari masih berkuasa akan menjadi anak penakut. Bapak mematahkan prasangka itu. Semenjak Ibu tak lagi bisa merawatku, Bapaklah yang selalu ada untukku. Beranjak besar, aku sering diajaknya berdagang daging di toko. Bapak pula yang mengajariku cara menggunakan pisau guna memotong daging dengan benar dan cekatan. Aku tak pernah sekali pun gentar dan gugup melihat ujungnya yang runcing. Bahkan kuberanikan diri menggunakannya. Tak butuh waktu lama bagi diriku untuk bisa menyamai kelihaian Bapak.
Usai menutup toko, Bapak akan selalu mengajakku berjalan kaki sampai rumah. Di sepanjang jalan, kami akan menyaksikan langit memerah yang begitu memukau.
”Senja begitu indah, bukan? Meski ada kepedihan yang dihantarkannya, namun senja tetaplah senja. Indah sebagaimana adanya,” kata Bapak suatu waktu. Aku tak yakin senja yang ia maksud adalah waktu di saat matahari yang berkuasa meredup di ujung samudera, atau Senja nama ibuku. Yang jelas kata-katanya itu diiringi helaan napas serta sorot mata yang begitu lelah. Selebihnya, bersama-sama kami selalu menikmati perjalanan pulang yang indah itu dalam diam. Lantaran senja hanya hadir sekejap saja.
Itulah mengapa aku selalu suka memerangkap senja ke dalam pikiran, lantas menuangnya dalam coretan crayon pada kertas. Bapak berhasil membuatku jatuh cinta pada senja. Dengan melukisnyalah aku bisa berlama-lama bersama senja. Berlama-lama menghadirkan sosok samar Ibu.
Aku mulai menjajal kanvas di usiaku yang kedua puluh. Tak berselang lama, aku mengenal pria yang kini menjadi suamiku. Ia menghampiri diriku yang tengah menikmati senja di sebuah pantai di batas kota. Kami saling melempar senyum. Guratan yang terbentuk di wajahnya kala itu tak akan pernah kulupa. Ia pun mengajakku mengagumi senja bersama. Semenjak itu pula, aku sadar bahwa senja yang telah kukenal selama ini, rupanya memiliki sisi lain pula. Sisi lain yang membuat rasa-rasa bergelora. Begitu padu dengan merah yang menyaru dengan kelabu di langit.
Ia pun akhirnya tahu aku suka melukis. Kuajak ia ke rumah, kuperkenalkan pada Bapak, juga pada lukisan-lukisanku. Ia berkata, ”Lukisan-lukisan senjamu bahkan bisa menyaingi The Starry Night, Van Gogh. Bukan hanya karena aku lebih suka senja daripada malam berbintang. Tapi, goresanmu itu membuat senja seolah benar-benar berpindah pada kanvas. Dan, waktu terhenti untuk membuatnya tenggelam.”
Demikianlah sebab diriku menerima pinangannya, yang bahkan dilakukan saat senja. Tanganku ini tak perlu lagi beraroma daging, begitu janjinya. Aku tak perlu menyentuh apa-apa selain kuas, kanvas, serta cat berwarna merah, kalau bukan jingga. Ia akan menyediakan semua yang kuperlukan untuk melukis senja. Bagaimana aku berdaya menolak?
Suara kursi digeser menyentakku. Kudapati wanita itu kini duduk sedikit lebih dekat. Sementara itu, aku menyadari bahwa persediaan warna senja kian sekarat. Kupelintir-pelintir tube warna merah, juga jingga. Berhasil aku dapatkan sisa pasta akrilik, setidaknya, seujung kuku. Masih cukup untuk sedikit menambahi bagian yang belum tertutup. Tapi aku pasti akan membutuhkan lebih untuk menyempurnakannya.
”Wah, lukisanmu sudah akan selesai. Begini saja sudah terlihat bagaimana berbakatnya dirimu,” ujar wanita itu dengan binaran mata yang tampak begitu tulus. Ia terlihat betul-betul mengagumi hasil karyaku. Aku sedikit terlena. Tunas rasa percaya baru seperti mulai tumbuh. Ya. Setidaknya sebelum ia bertanya,
”Pasti suamimu selalu mendukungmu, kan?”
Mati sudah tunas percaya yang bahkan belum mulai tumbuh itu. Semut-semut yang menggerayangi otakku kembali memperingatkan untuk tak memercayainya. Namun, pertanyaan itu kadung berdengung-dengung di telinga. Bersamaan dengan memori yang silih berganti tayang dalam kepala.
Janji-janji, juga kebaikan hati suami, membuat Bapak dengan mudahnya melepas diriku. Memang kehidupan pernikahan kami bahagia. Suamiku bekerja sementara aku melukis di rumah. Aku tak perlu bekerja, memasak dan bersih-bersih. Semua yang perlu aku lakukan adalah melukis senja semata, begitu pesannya tiap sebelum berangkat.
Hari demi hari kuhabiskan untuk melukis senja hingga puluhan kanvas memenuhi seluruh ruang tengah rumah kami. Stok yang aku perlukan tak pernah habis. Suamiku selalu memenuhinya. Aku hanya perlu bilang padanya, dan semua yang aku butuhkan akan tersedia tanpa aku perlu banyak berkata dan menunggu lama.
Belum genap tiga bulan usia pernikahan kami, Bapak pergi. Napasnya terhenti tatkala ia beristirahat di kala senja. Begitu mudahnya. Seakan satu-satunya tugasnya telah tunai: menjaga diriku, putri semata wayangnya.
Aku sungguh tak ingin mengingat-ingatnya lagi. Kugelengkan kepala, kugosok rambutku untuk mengusir memori-memori itu seolah mereka adalah kutu-kutu rambut.
Yang pasti, semenjak saat itu, aku semakin keranjingan melukis senja. Aku semakin takjub dengan segala rasa yang kurasakan akibat senja. Sekaligus ingin menenggelamkan pilunya kehilangan dalam lautan hitam bersama sang bola pijar yang terbenam. Berharap rasa itu tak akan ikut terbit keesokan hari. Terus dan terus demikian setiap hari. Lukisan senja kini menyesaki rumah kami. Ruang tengah tak lagi bisa menampung. Kamar, dapur, bahkan kini kamar mandi. Seiring dengan semakin seringnya aku melukis senja, stok perlengkapanku pun makin cepat habis—terutama akrilik merah dan jingga, makin kerap terlambat pula suamiku menyediakan.
”Apakah ada yang ingin kau ceritakan tentang suamimu?” Ia kembali bertanya. Sungguh, andai saja lautan nyata di hadapan, sudah kubenamkan ia bersama dengan kata-kata yang tak mau berhenti tertumpah itu.
Suamiku sangatlah baik padaku. Tentu saja. Ia hanya mulai sering terlambat menyediakan stok warna senja gara-gara aku yang terlalu cepat melukis. Ya. Kadang ia mulai berbicara dengan nada sedikit tinggi, karena katanya aku ini terlalu rewel. Padahal aku hanya minta padanya warna untuk senja. Bukankan ia sudah berjanji? Katanya, ia juga mulai bosan melakukan semua itu. Aku tak paham kenapa. Aku tak pernah bosan melukis senja. Hanya dengan senja aku merasa dekat dengan Ibu yang tak pernah kumiliki. Apakah ia tak mengerti itu?
Bukankah pula dulu ia begitu mengagumi lukisan senjaku?
Bahkan ia pernah berkata bahwa dirinya lelah dan akan meninggalkanku. Ia akan menikahi wanita lain yang tak hanya mengurusi hal-hal bodoh seperti senja.
Mengenang semua itu, membuat semut-semut semakin liar menggerayangi kepalaku. Bahkan sampai pening. Aku khawatir mereka mulai menggigit-gigit otakku dan memakan kenangan itu. Mereka tak suka aku memikirkannya.
Aku menurut. Aku kembali saja pada kanvas. Sudah nyaris sempurna lukisan senjaku. Aku hanya perlu menambal di beberapa tempat. Kuambil koyakan tube warna merah dan kucolek sisa cat yang dengan ujung jari telunjukku, lantas kutorehkan pada kanvas. Aku berdiri dan mundur beberapa langkah. Kuamati karyaku. Lalu melangkah maju lagi tatkala merasa ada yang kurang sempurna.
Kudekatkan kedua mataku hingga puncak hidungku menempel pada kanvas. Ah. Masih ada yang rongang dan belum tersapu akrilik. Aku mendesah. Sedikit kesal karena cat yang disediakan terlalu sedikit. Bahkan untuk melukis satu senja saja.
Maka aku menoleh pada wanita itu dan bertanya, ”Di mana sekiranya aku bisa mendapatkan warna untuk senja?”
Ia tersenyum dan menjawab, ”Akhirnya. Kau mau berbicara padaku.” Ia menepuk bangku tempatku melukis. Aku memahami maksudnya dan segera duduk.
”Aku berjanji akan kuberi yang kau perlukan. Tapi, bisakah ceritakan sedikit saja tentang suamimu? Apa yang telah ia perbuat padamu?” Matanya beralih pada lenganku, tanganku, juga wajahku. Aku yakin ia sedang mengamati warna biru serupa samudera penuh misteri yang tertoreh di sana. Ia menggerakkan tangannya, kukira hendak menyentuhku. Aku beringsut. Semut-semut dalam pikiranku berontak. Mereka bahkan mulai berbisik-bisik untuk tak memercayai wanita itu. Tapi aku harus menyelesaikan lukisanku. Itu yang paling penting.
Aku turuti saja ia. Demi warna untuk lukisan senjaku. Kukatakan padanya segala kebaikan suamiku. Ia baik. Sungguh baik. Hanya akhir-akhir ini mulai berlaku aneh. Warna dalamnya samudera yang ada di tubuhku pun mengingatkanku pada sengatan yang aku rasakan kala mendapatkannya. Suamiku yang menghadiahi warna itu. Sesak bercampur pedih mulai membanjiri dadaku.
”Ia tak lagi suka aku melukis senja. Ia bahkan tak lagi suka senja. Dulunya ia pulang sebelum senja datang untuk menikmatinya bersamaku. Ia mulai pulang setelah senja lama pergi.”
Air mengalir dari kedua mataku tanpa bisa kucegah. Semut-semut dalam pikiranku sudah berbisik ribut untuk menghentikan semua ini. Tapi mulut dan hatiku tak mau berhenti. Aku ingin menumpahkan segalanya. Rasa pedih yang timbul sumbernya.
Wanita itu menggenggam kedua tanganku. Seolah dengan demikian ia sanggup membantu memikul semua beban.
”Dan apakah yang kau perbuat pada suamimu hanya untuk melindungi diri? Aku yakin itu. Iya, kan?”
Semut-semut dalam kepala menjelma kerangkang. Mereka menggigit-gigit otakku. Bahkan berusaha keluar melalui kedua telinga yang kini berdenging. Kelebat bayangan merasuki kepala. Yang aku ingat suamiku berteriak-teriak,
”Aku salah memilihmu! Kau memang segila Van Gogh. Gila. Andai aku tahu sejak awal kau tak hanya mewarisi paras jelita ibumu. Atau sebenarnya Ibumu gila karena melahirkanmu! Asal kau tahu! Semua karyamu ini sampah! Aku menikahi sampah! Kau harusnya berakhir mati gantung diri seperti ibumu.”
Aku tak tahu mengapa ia berkata demikian. Yang kuingat aku hanya butuh warna senja. Lalu rasa panas menjalar pada pipiku setelah bertubi-tubi ia melemparkan tangan dan kakinya yang begitu keras pada wajahku, tubuhku. Keberanian yang Bapak tanamkan pada diriku selalu kabur entah ke mana. Selama ini aku memang tak pernah mampu menatapnya, apalagi melawan. Aku yakin ia hanya lelah meladeniku dan akan meminta maaf setelahnya. Seperti yang sudah-sudah.
Tapi kali itu, aku tak tahan lagi. Aku benar-benar membutuhkan warna senja. Aku mendongak untuk memohon. Kudapati wajah, juga kedua bola mata suamiku memerah. Tak lama, ia pun berhenti untuk membanting semua yang ada di sekitar kami. Kelelahan, ia masuk ke kamar dan menggebrak pintu.
Saat itulah aku menyadari bahwa selama ini dalam tubuh suamiku ada banyak sekali warna untuk senja. Aku bisa mendapatkannya tanpa perlu meminta. Tak perlu payah pula untuk mendapatkannya. Aku hanya harus berterima kasih pada Bapak karena telah menurunkan keahlian, juga mengajariku semua cara.
”Aku hanya butuh warna untuk senja,” ucapku pada wanita itu. Cuma itu. Karena hanya itu yang aku tahu.
Ia menarik napas panjang. Menggosok wajahnya sendiri hingga merona. Saat itulah semut-semut dalam pikiranku membisiki dari mana bisa segera kudapatkan warna untuk lukisan senjaku yang belum sempurna.
_______________________
Rosita Amalia lahir di Semarang, tanggal 10 Oktober 1998. Hobinya selain membaca adalah menulis. Setelah lulus dari Universitas Negeri Semarang, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, ia memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga karena baginya itu profesi paling tepat untuk mendukung hobi-hobinya.