Tujuh belas tahun silam, kaulah gadis cantik yang paling kukagumi. Yang paling kerap membuat berbunga-bunga di hati, yang paling sering kutulis namanya di diary. Padahal, yang kulakukan sebatas memandangimu. Kadang kurasa kau balas menatapku. Selebihnya kita hanya diam membisu sehingga tiada apa pun terjadi. Kemudian begitu saja kau pergi dan kabar tentangmu tak kutahu lagi.
Tujuh belas tahun kemudian, tanpa kuduga kita kembali berjumpa. Kendati sementara masih lewat tulisan belaka, setidaknya kita telah saling menyapa. Selayaknya memang jika kau lupakan diriku. Kau pun tak tahu aku pernah menyanjungmu, sampai akhirnya kuungkapkan rahasia itu. Tersuratlah lagi sebuah cerita, tapi belum jelas temanya apa. Biarkan waktu nanti menjawabnya.
Tentu kondisinya sudah sangat berbeda dengan tujuh belas tahun lalu, terutama apa yang terjadi pada dirimu. Kau pernah menikah lebih dari sepuluh tahun berselang, namun lantas berpisah dengan sang suami lantaran diterpa beragam masalah. Sepasang anak, lelaki dan perempuan pun telah kau miliki. Sejak kau bercerai, mereka sempat tinggal bersamamu. Hanya belum lama ini kau relakan kedua anak itu mengikuti ayahnya. Pasti tak nyaman rasanya mesti berpisah dengan buah hati yang sungguh kau sayangi sepenuh kalbu. Bagaimanapun hidup tetap kudu dijalani dengan semangat tinggi, dengan atau tanpa keluargamu ada di sisi.
Aku sama saja dengan dahulu, masih tetap sendiri tanpa kekasih. Sejumlah perempuan pernah membuatku jatuh hati, tapi tiada yang mampu membuatku merasakan sukacita nan sejati. Aku masih terus mencari di mana gerangan pasangan jiwaku dan hingga saat ini belum jua ketemu. Semenjak aku bergabung dengan situs jejaring sosial yang paling kondang itu, telah kutemukan nama-nama yang pernah singgah di kalbu. Andaikan ada di antara mereka yang masih sendiri, terbesit hasratku menjalin hubungan baik lagi. Alangkah sayangnya tiada yang sesuai asaku. Setelah kutemukan namamu, barulah sedikit terbuka harapanku.
Niatku menemuimu ternyata kau sambut dengan senang hati. Kendati statusmu pernah menikah, namun bagiku bukan masalah. Kuterima itu sebagai kewajaran belaka, lantaran ibuku sendiri menikahi ayahku yang duda dahulu kala. Belasan tahun silam memang pernah kucintai dirimu, biarpun kau baru saja mengerti hal itu. Namun, tiada jaminan dariku bahwa cinta yang dahulu akan kembali kumiliki. Apalagi kau belum sungguh mengenalku. Paling tidak aku ingin kita bisa berjumpa dan bicara berdua semata, lantas kita lihat nanti yang bakal terjadi.
***
Pertemuan pertama jadi terlaksana. Terus terang, aku cukup kagok mengisi waktu bersama seseorang yang kukagumi di masa silam. Ketika kau menampakkan diri, jelas terlihat indah wajahmu masih menghadirkan pesona tersendiri. Kala kita saling mengulurkan tangan, serta-merta debar di dada kurasakan. Senyum yang terukir di bibirmu terasa menyegarkan.
”Kita mau kemana?” tanyamu seraya menatapku hangat.
”Terserah kau saja ingin kita kemana,” sahutku dengan mata berbinar-binar.
Kau lantas mengajakku ke sebuah wahana kuliner yang tak jauh dari tempat tinggalmu. Inisiatif mengawali perbincangan ada padaku. Namun, tampaknya aku salah memilih pertanyaan karena rona kesedihan yang kemudian kau tampilkan. Hanya sesaat berikutnya kita sudah sama-sama lebih santai. Riang terasa sanubariku bisa mengisi waktu bersamamu, kendati rasanya tidak segembira seperti ketika terakhir kali aku mencintai perempuan. Ah, barangkali memang terlampau lama tak kurasakan jatuh hati belaka, maka demikianlah kesanku.
Kemudian dalam sekian pekan berikutnya, hanya dirimu seorang yang kurindu ingin bertemu, yang selalu mau kutahu kabarnya saban hari, bahkan yang senantiasa kubaca statusnya di jejaring sosial itu. Padahal belum jelas, apakah aku sudah jatuh hati karena belum cukup kupahami siapa sejatinya dirimu. Belasan hari sudah berlalu sejak pertemuan pertama kita di sebuah malam dan masih terus kunanti momentum perjumpaan kita selanjutnya.
Aku sadar, akhir hubunganmu dengan seseorang belum lama terjadi, maka mungkin tak bisa selekasnya kau buka lagi pintu hati. Namun, aku tak ingin melihatmu larut dalam duka, bahkan aku tak keberatan jika dapat menemani agar kau merasa bahagia. Bisa jadi aku baru mencoba mencintaimu, tapi mengapa hal itu terasa tak mudah? Sesungguhnya apakah layak kau kucintai dan apakah mungkin kau mencintaiku? Denganmu atau dengan siapakah dapat kurajut sukacita dalam sebuah kisah cinta? Senantiasa kuharap ada isyarat dari Tuhan sebagai jawaban segala tanyaku itu.
Perjumpaan kedua akhirnya berlangsung jua, tepat sebulan kemudian. Tercipta suasana yang lebih hangat terasa. Senyuman terukir di wajah kita kala saling melempar canda. Sekejap ada duka yang kau bagi lagi, namun porsinya tak seberapa ketimbang gembira yang tercipta. Rasanya pantaslah jika kuharap hubungan kita bisa semakin dekat seiring masa. Ketika aku pamit pulang, serasa kulihat rona bahagia di paras cantikmu. Namun, mengapa belum jua kuyakini apa yang sejatinya tersimpan dalam kalbu?
Menjadi hasratku kita bisa bertemu kembali dengan segera, tapi ada saja alasanmu supaya keinginanku tak menjadi nyata. Firasatku pun berkata, kau memang tak sudi lagi bercengkrama bersamaku. Lambat laun aku mulai tak merindukanmu seperti sebelumnya. Aku pun maklum ketika mengetahui kau memilih kembali pada kekasih terakhirmu. Kuucapkan selamat atas pilihanmu dan tak usah kecewa kau rasakan lagi ketika bersamanya nanti. Tampaknya itulah salah satu pertanda dari Tuhan demi menjawab tanyaku tempo hari.
Pertemuan ketiga masih terjadi jua. Aku hanya ingin berjumpa kembali denganmu sebagai kawan biasa. Telah kusiapkan diri untuk sebentar saja berbincang di depan tempat tinggalmu, namun justru kau ajak aku masuk ke dalam rumah.
”Kenapa kau putuskan kembali bersamanya?” tanyaku.
”Dia datang memohon padaku dan memang masih kucintai dia. Jadilah aku melangkah bersamanya lagi. Tapi, aku tak mampu mencintainya seperti dulu. Terlalu dalam luka yang pernah dia torehkan di kalbuku. Masih perih rasanya bekas luka itu,” sahutmu dengan tatapan kosong. Aku bergeming belaka.
Selama beberapa menit kita berbincang bersisian di depan jendela menghadap ke jalan. Sempat terpana belaka hatiku memandang apiknya sekujur warugamu dari ujung rambut hingga ujung kaki, yang laksana tak luntur oleh perubahan usiamu. Namun, segera kuingatkan diri supaya tak lagi tergoda dan menyadari, kau bukanlah sosok yang akan menjadi milikku. Pertemuan ketiga nyatanya merupakan saat terakhir kita berdua pernah bercengkrama.
***
Tak lagi terlalu kuperhatikan aktivitasmu. Tak kukira, mudah saja melupakanmu. Hanya sempat kutahu bahwa kau kembali mengakhiri hubungan dengan kekasih yang sembilan tahun lebih muda ketimbang dirimu itu. Tak terlampau lama berselang, kisah cinta terpahat lagi dalam lembaran hidupmu. Ada seseorang yang dengan terbuka kau proklamasikan sebagai pacar barumu.
Terang sekali, kau lebih suka lelaki yang jauh lebih muda darimu, yang masih bersemangat menikmati kehidupan. Kalian sama-sama senang pamer kemesraan pula. Rasanya aku terlalu dewasa, meski sejatinya aku justru setahun lebih muda ketimbang dirimu. Bukan masanya lagi bagiku menunjukkan pada semua orang, bagaimana menggebu-gebunya orang berpacaran layaknya remaja usia belasan.
Benarlah kata sanubariku lantaran ragu dan memang tak bisa kembali jatuh cinta laksana belasan tahun silam. Sudah sempat kucoba menaruh hati untukmu semata, tapi memang tak sanggup bertaut kalbu kita. Terus terang, ada sesuatu di paras indahmu yang kerap membuat hatiku tak nyaman ketika menatapnya, tapi apakah hal itu sebenarnya tak kupahami dengan pasti. Kini kusadari bahwa tiada chemistry yang cukup apik terbangun antara kau dan aku. Pertemuan kita setelah tujuh belas tahun berpisah akhirnya bukanlah sesuatu yang terlampau mengesankan lagi dalam hidupku. Semula kuduga akan dalam maknanya, menjadi hal yang sungguh istimewa, nyatanya tidak berarti apa-apa.
_____________________________
Luhur Satya Pambudi, lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di sejumlah media cetak dan daring, seperti: Horison, Tribun Jabar, Suara Merdeka, Kompas Digital, dan basabasi.co. Kumpulan cerpen perdananya bertajuk ”Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku” (Pustaka Puitika).