Tentara Sukarela Zaman Jepang, Embrio Pertahanan Indonesia
Pasca-kekalahan Jepang, PETA dan Giyugun yang dibentuk Jepang justru menjadi tulang punggung dalam perang kemerdekaan.
Oleh
MARTINUS DANANG PRATAMA WICAKSANA
·5 menit baca
Kedatangan Jepang ke Indonesia disambut bak saudara tua yang telah membebaskan dari kolonialisme berabad-abad. Namun, bagi Jepang, mereka menjelajah ke wilayah selatan dalam rangka mengambil sumber daya alam dan manusia demi kepentingan mereka dalam Perang Asia Pasifik. Bagi Jepang, keberadaan sumber daya yang besar bisa menjadi bahan rebutan negara-negara lain, termasuk kembalinya Belanda. Untuk antisipasi itulah Jepang membuat sistem keamanan yang melibatkan pribumi sebagai prajuritnya.
Perangkat keamanan yang dibentuk Jepang ada bermacam-macam, seperi Heiho, Kenpentai, Keibodan, dan Seinendan. Semua badan keamanan ini dipimpin oleh orang Jepang langsung. Namun, ada beberapa badan keamanan yang sifatnya sukarela dan pimpinannya melibatkan pribumi, yaitu Pembela Tanah Air (PETA) dan Giyugun atau disebut sebagai Tentara Sukarela.
Persoalan PETA dan Giyugun ini menarik karena sifatnya yang sukarela, tetapi ternyata memiliki dampak besar setelah Jepang kalah di Perang Dunia II. Hal inilah yang dibahas dalam buku berjudul Giyugun: Tentara Sukarela pada Pendudukan Jepang di Jawa dan Sumatra karya Aiko Kurasawa (Penerbit Buku Kompas, 2024). Bagi Aiko, buku ini seperti bernostalgia karena menjadi tulisan pertamanya tentang sejarah Indonesia zaman Jepang yang kemudian menjadi fokus penelitiannya selama hampir setengah abad.
Pada bagian pertama yang membahas tentang PETA, Aiko beruntung masih bisa mewawancarai anggota PETA yang masih hidup di tahun 1970-an. Selain itu, pada bagian kedua yang membahas Giyugun di Sumatera juga spesial bagi Aiko. Karya tersebut merupakan terjemahan dari hasil penelitiannya yang pernah dipaparkan di depan Benedict Anderson saat mengenyam pendidikan S-3 di Universitas Cornell, AS.
Buku ini menjadi pembuka jalan bagi mereka yang ingin meneliti sejarah Indonesia zaman Jepang dan sejarah militer. Apalagi, menurut Aiko, PETA dan Giyugun adalah salah satu embrio dari pembentukan Tentara Nasional Indonesia. Dalam buku ini, Aiko menunjukkan beberapa perwira dan alumni PETA justru kemudian menjadi tulang punggung keamanan di masa kemerdekaan Indonesia.
Alasan pembentukan
Pembentukan PETA dan Giyugun sebenarnya sudah direncanakan sesaat setelah Jepang mendarat di Indonesia. Saat itu, Jepang berpikir untuk menambah kekuatan pertahanan dengan memanfaatkan tenaga pribumi. Apalagi mengingat banyak dari tentara Jepang yang dikirim ke medan perang sehingga kekurangan tenaga di Jawa dan Sumatera. Namun, satu tahun setelah Jepang menduduki Indonesia, rencana ini tak kunjung direalisasikan. Jepang masih menang dalam berbagai pertempuran dan kekuatan pertahanan Jepang di Asia Tenggara masih cukup kuat.
Namun, salah seorang wakil kepala staf dari Markas Besar Nanpo Sogun, Mayjen Inada Masazumi, tetap bersikeras agar rencana ini dapat berjalan. Pada Juli 1943, Inada mengunjungi Jawa untuk inspeksi pasukan keamanan di Indonesia. Dalam analisisnya, Inada berpendapat bahwa pasukan dapat lebih efektif sebagai tenaga pertahanan kalau dipimpin oleh perwira Indonesia sendiri. Saat itu, badan-badan keamanan Jepang di Indonesia hampir semuanya dipimpin oleh orang Jepang.
Analisis Inada cukup beralasan mengingat banyak dari masyarakat Indonesia yang kecewa dengan rencana Jepang untuk memberikan kemerdekaan bagi Myanmar dan Filipina. Sementara Indonesia tidak dijanjikan apa-apa. Oleh karena itulah, selain untuk meningkatkan perasaan nasionalisme Indonesia, Inada bermaksud mengambil hati masyarakat Indonesia dengan membentuk sebuah pasukan yang dipimpin langsung oleh pribumi.
Dalam rencana pembentukan Barisan Sukarela ini, ada peristiwa sejarah yang belum banyak orang ketahui. Ada peranan Gatot Mangkupradja sebagai pengusul dan perintis Barisan Sukarela ini. Jepang tetap dianggap sebagai pemrakarsa, tetapi orang Indonesia dilibatkan sebagai kepanjangan tangannya.
Menurut Aiko, ada beberapa penyebab Jepang memilih Gatot sebagai perintis Barisan Sukarela. Alasannya, pertama, pemerintah militer Jepang berpendapat bahwa politikus nasional yang berpengaruh tidak boleh memegang kendali dalam membentuk Barisan Sukarela sehingga Jepang tidak memilih Soekarno-Hatta. Kedua, perintis haruslah orang yang terkenal di masyarakat Indonesia sampai suatu taraf tertentu.
Gatot terpilih karena memenuhi kedua syarat tersebut. Dia bukan tokoh yang sangat populer seperti Soekarno dan Hatta. Namun, Gatot masih cukup terkenal karena aktif di Partai Nasional Indonesia sebelum perang. Selain itu, Gatot juga telah berhubungan dengan Jepang jauh sebelum masa pendudukan. Pada tahun 1933, Gatot pernah pergi ke Tokyo untuk menghadiri Pan Asiatic Congress I. Saat Jepang menduduki Indonesia, Gatot juga telah berhubungan dengan kantor Sanbo-bu-Beppan atau Bagian Intelijen dari Staf Umum Angkatan Darat Jepang.
Keterangan ini juga diperkuat oleh perwira Jepang, seperti Letnan Yanagawa dan Letnan Tsuchiya. Menurut mereka, Beppan memilih Gatot karena dia adalah seorang nasionalis yang paling dekat dengan Beppan. Gatot sudah seperti penasihat pribadi untuk Beppan dan bergaul baik dengan para anggotanya.
Maka pada 7 September 1943, Gatot menuliskan surat permohonannya untuk membentuk Barisan Sukarela atas permintaan opsir Beppan. Satu bulan kemudian, tepatnya 3 Oktober 1943, permohonan Gatot diterima yang kemudian diteruskan oleh Letnan Jenderal Harada Kumakichi dengan membuat instruksi untuk membentuk pasukan sukarela.
Dengan terbentuknya PETA dan Giyugun, setidaknya Aiko Kurasawa memberikan kesimpulan dalam buku di mana kedua pihak antara Jepang dan Indonesia memiliki misi terselubung. Bagi Jepang, terbentuknya Barisan Sukarela tidak hanya untuk menarik hati bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai penambah kekuatan Jepang khususnya di Jawa dan Sumatera. Ini mengingat di tahun 1943 Jepang mulai mempersiapkan diri jika Sekutu datang menyerang.
Bagi pihak Indonesia, keberadaan PETA dan Giyugun dalam Barisan Sukarela justru dianggap baik. Beberapa nasionalis Indonesia berpikir bahwa Indonesia perlu mempunyai tentara sendiri yang memelopori perjuangan militer untuk mencapai kemerdekaan. Apalagi sebelumnya di zaman kolonialisme Belanda, masyarakat Indonesia tidak dipersiapkan untuk membentuk sebuah barisan pertahanan yang siap untuk berperang. Hal inilah yang kemudian melandasi Barisan Sukarela bentukan Jepang punya andil besar dalam perang kemerdekaan dan pelopor TNI.
Embrio TNI
Dijatuhkannya bom atom di atas kota Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 membuat Jepang harus menyerah. Kejadian ini kemudian diikuti oleh diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Jepang yang harus angkat kaki dari tanah Indonesia mengumumkan bahwa Barisan Sukarela dan badan-badan keamanan di bawah Jepang dibubarkan.
Namun, sesaat setelah mendegar berita tentang kemerdekaan Indonesia, para prajurit kembali lagi atas panggilan dari bekas opsir mereka. Para perwira asal Indonesia meminta kepada segenap prajurit untuk membentuk barisan bersenjata di tempat masing-masing. Sebagian besar dari mereka juga ditarik ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Peranan dari bekas perwira Barisan Sukarela ini cukup besar. Mereka masih muda, semangatnya kuat, dan teknik militer serta kemampuan sebagai pemimpin cukup baik. Meskipun pengetahuan mereka di bidang ilmu-ilmu militer masih kalah dengan bekas opsir KNIL (Koninklijk Netherlands Indische Leger) yang dididik di Akademi Militer Belanda dalam waktu yang lebih panjang.
Namun, menurut Aiko Kurasawa, setidaknya ada tiga sifat yang membuat opsir PETA lebih unggul dibandingkan dengan opsir KNIL. Pertama, dalam jumlah, opsir PETA lebih banyak dibandingkan opsir KNIL. Kedua, opsir PETA lebih nasionalis karena di awal pembentukannya Jepang mempropagandakan anti-Barat yang kemudian dimanfaatkan oleh para nasionalis untuk mencapai kemerdekaan. Ketiga, opsir PETA memiliki banyak anak buah yang hubungannya erat dan bisa digerakkan untuk mencapai tujuan mereka.
Banyak dari bekas anggota PETA kemudian meneruskan kariernya di TNI. Bahkan, salah satu contoh bekas opsir PETA yang berjaya adalah Panglima Besar Jenderal Sudirman yang diangkat sebagai panglima pertama TNI. Meskipun begitu, beberapa posisi penting di Markas Besar dan Staf Umum yang lebih memerlukan pengetahuan strategi ditempati oleh bekas opsir KNIL. (Litbang Kompas/DNG)
Data Buku
Judul: Giyugun: Tentara Sukarela pada Pendudukan Jepang di Jawa dan Sumatra