Urgensi Kepemimpinan yang Tepat Saat Konflik dan Damai
Kepemimpinan yang tepat mampu menciptakan perdamaian lewat kekuatan menginspirasi, menyatukan, dan membangun harmoni.
Oleh
FADHLAN ABDUL WADUD IMRON
·3 menit baca
Pengertian kepemimpinan bersifat universal, kepemimpinan merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk memengaruhi orang yang dipimpin untuk mencapai tujuan. Selain itu, ada hal lain yang perlu dilakukan seorang pemimpin, yaitu kampanye perdamaian dalam jaringan kerja yang melibatkan partisipasi semua pihak. Penulisan buku Kepemimpinan dan Perdamaian oleh Ichsan Malik diharapkan memperkaya studi-studi di tengah belum banyaknya buku membahas perihal kepemimpinan dan perdamaian.
Ichsan Malik merupakan staf pengajar pada program studi Damai dan Resolusi Konflik di Univeritas Pertahanan Indonesia yang menyandang gelar Doktor Psikologi Perdamaian dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dalam buku ini, penulis mengurai peran pemimpin dalam mempromosikan perdamaian, dengan fokus pada karakteristik, dilema keadilan, keterampilan dasar, membangun jaringan, dan kampanye perdamaian. Penulis menekankan bahwa seorang pemimpin harus memiliki visi yang jelas dan mampu mengatasi tantangan internal maupun eksternal dalam mencapai tujuan. Perspektif kepemimpinan yang harmonis antara pemimpin dan orang yang dipimpin diperlukan untuk mencapai tujuan secara efektif.
Penulis menggunakan Nelson Mandela dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk menunjukkan bagaimana karakteristik pemimpin dapat berperan mengatasi konflik dan mempromosikan perdamaian. Selain itu, dilema keadilan, terutama antara keadilan retributif dan korektif, serta keadilan psikologis diperkenalkan untuk mendukung pemahaman tentang proses perdamaian.
Keterampilan dasar, seperti negosiasi dan mediasi, serta kemampuan membangun jaringan dengan berbagai kelompok kepentingan dianggap penting dimiliki seorang pemimpin untuk memfasilitasi perdamaian. Penulis pun menyoroti pentingnya kampanye perdamaian meskipun sulit dilakukan dalam situasi konflik yang membara.
Secara keseluruhan, buku ini memberikan wawasan yang mendalam tentang peran dan tanggung jawab pemimpin dalam mempromosikan perdamaian, dengan memberikan pandangan yang seimbang antara teori dan contoh konkret dari praktik kepemimpinan.
Karakteristik pemimpin
Penulis menyoroti karakteristik dua pemimpin besar yang populer di kalangan masyarakat. Gaya kepemimpinan dan penyelesaian konflik Nelson Mandela dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta terobosan-terobosan yang dilakukan saat memimpin menjadi contoh konkret dalam publikasi Ichsan. Beliau memaparkan pandangan mendalam tentang bagaimana kedua tokoh menghadapi konflik dan menunjukkan kepemimpinan yang dipenuhi dengan kepercayaan, meyakinkan, serta cepat mencari solusi yang mengutamakan keselamatan.
Pertama, Nelson Mandela ditonjolkan sebagai simbol perdamaian melalui pembentukan Truth and Reconciliation Commission (TRC) yang menggali kebenaran dan rekonsiliasi di Afrika Selatan. Mandela juga dijelaskan sebagai pemimpin yang memegang prinsip kebebasan dan menghormati tradisi lokal, dengan mengambil contoh kebijaksanaan kepemimpinan dari kepala suku di kampungnya.
Sementara itu, Abdurrahman Wahid disorot karena kebijaksanaannya mengakui agama Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia, menghapuskan stigma terhadap orang keturunan China, dan menghadapi tekanan politik dengan toleransi dan ketangguhan. Gus Dur juga dianggap sebagai pemimpin yang aktif mengambil inisiatif untuk memulai dialog perdamaian, baik di Aceh maupun Papua.
Buku ini memperlihatkan bahwa kedua pemimpin tersebut memiliki elemen-elemen kunci dalam kepemimpinan, seperti visi ke depan, kebebasan, kearifan lokal, toleransi, ketangguhan, dan pengambilan inisiatif. Penekanan pada elemen-elemen ini memberikan arahan bagi pemimpin masa depan untuk membangun kepemimpinan yang efektif dan pro-perdamaian di Indonesia.
Lewat analisis yang mendalam dan referensi konkret terhadap tindakan dan kebijakan kedua pemimpin, publikasi ini memberikan pemahaman yang kuat tentang pentingnya kepemimpinan yang inklusif, toleran, dan berorientasi pada solusi di tengah konflik dan ketegangan.
Kampanye perdamaian
Buku ini mengurai pentingnya kampanye perdamaian dalam situasi konflik berskala besar. Penulis menyoroti risiko yang terkait dengan upaya mempromosikan perdamaian ketika konflik sedang berlangsung karena setiap kelompok cenderung ingin menghancurkan kelompok lawan. Sebagai contoh, tragedi di Rwanda tahun 1994 menunjukkan bagaimana upaya perdamaian gagal dan media massa, seperti Radio Television de Milles Collines (RTLM), turut menebar kebencian sehingga memperparah konflik.
Terkait konteks pemberitaan, publikasi ini membedakan antara jurnalisme perang dan jurnalisme damai. Jurnalisme perang cenderung memperkuat konflik dengan memperhatikan aspek propaganda dan fokus pada pendapat elite, sementara jurnalisme damai berupaya membongkar kesalahan semua pihak dan mencari kebenaran, dengan berorientasi kepada rakyat yang menjadi korban.
Ichsan menyoroti praktik kampanye perdamaian di Maluku sebagai contoh nyata dari upaya-upaya perdamaian yang dapat dilakukan di tingkat lokal. Di Maluku, gerakan perdamaian baku bae memulai kampanye perdamaian setelah melakukan lokakarya di akar rumput. Upaya ini membuahkan hasil dengan sejumlah aktivis perdamaian yang beralih dari menjadi korban konflik menjadi pemimpin dalam proses perdamaian.
Pemaparan penulis juga menekankan inisiatif global dalam mempromosikan perdamaian, seperti perayaan International Day of Peace yang diperingati setiap tanggal 21 September. Inisiatif ini bertujuan untuk menghentikan konflik sementara dan mendorong semua pihak yang terlibat untuk merenung dan berupaya membangun proses perdamaian.
Tidak semua hal dapat diulas secara tuntas pada publikasi kali ini, tetapi pemaparan Ichsan dapat mendorong kehadiran analisis lain terkait kepemimpinan dalam situasi konflik dan perdamaian. (Litbang Kompas).