Ganesa Beringsut ke Mana-mana
Peleburannya dengan Ganesa membuat Edi Sedyawati identik dengan Ganesa, sehingga dijunjung dalam buku ”tribute” ini.
Pada Maret 2024, Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) menerbitkan buku ambisius: Tribut untuk Prof Dr Edi Sedyawati – Dari Ganesa sampai Tari. Disebut ambisius, lantaran penyusun buku ini secara sangat telaten mengumpulkan artikel ilmiah panjang dari 69 penulis. Maka, tebal buku pun mencapai 1069 halaman. Ini tentu spektakuler. Meski dibandingkan buku Menolak Wabah terbitan BWCF 2020 (jilid 1: 912 halaman, dan jilid 2: 866 halaman), buku Ganesa kalah selangkah.
Namun, konten buku Ganesa tak kalah menarik. Dan semua itu dimulai dengan kisah tahun 2002, ketika Diane Butler melakukan konsultasi awal di rumah Edi Sedyawati di kawasan Menteng, Jakarta (Diane Butler, PhD, Prof Edi Sedyawati and Cultural Heritage: Generous Gestures and Wisdom, halaman 6).
Diceritakan di situ bahwa Edi membagikan tulisan sangat berharga yang berawal dari tesisnya: ”Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari - Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian”. Tesis monumental yang akhirnya mengantar Edi untuk meraih gelar doktor. Dan kemudian diterbitkan jadi buku dalam judul yang sama oleh Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Rijksuniversiteit te Leiden pada tahun 1994.
Ganesa—makhluk gemuk yang selalu tampak tepekur—ternyata sanggup beringsut ke mana saja! Ia dewa yang mengembangkan pikiran dan ilmu.
Peleburannya dengan Ganesa itulah yang membuat nama Edi identik dengan Ganesa, sehingga dijunjung dalam buku tribute ini. Dalam satu ulasan, Prof Dr Agus Aris Munandar menulis bahwa kajian Edi sangatlah lengkap. Dengan dukungan data luas arca-arca Ganesa dirinci secara ikonografi dan ikonometri, disertai uraian prasasti yang menyentuh sastra dan musik (Arca Ganesa di Candi Hindu-Saiva di Jawa, halaman 38). Bahkan juga menyentuh tari, kerja seni yang sangat digemari Edi. Dengan begitu, judul Dari Ganesa sampai Tari untuk tribute Edi menemukan relevansinya.
Kita tahu, Edi Sedyawati, kelahiran Malang 1938, adalah arkeolog ternama Indonesia. Ia pernah menjadi Ketua Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia (UI). Keseriusan dan keakuratannya dalam meneliti arca Ganesa mendorong ia diangkat menjadi sebagai Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya UI.
Selain sebagai arkeolog, ia juga sangat gemar menari. ”Arkeologi itu studi, menari itu hobi,” katanya. Ia berpentas (terutama tari Jawa) di banyak kesempatan, sampai akhirnya diangkat sebagai Ketua Jurusan Tari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta) dan sekaligus Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta. Puncak kariernya adalah ketika ia dipercaya sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1993 sampai 1999. Penerima sejumlah penghargaan ini, di antaranya Bintang Mahaputera Utama RI dan Bintang Chevalier des Arts et Letter dari Republik Perancis, wafat pada 2022.
Buku ini membagi tulisan dalam tiga bagian. Pertama, tentang sosok Ganesa, kedua tentang ulah-laku Ganesa yang ujungnya mengembangkan berbagai sektor kehidupan. Ketiga, tentang perihal teknis pelestarian warisan budaya dan perundangan-undangan.
Ihwal sosok Ganesa, Ashar Murdhihastomo & Sukawati Susetyo menyampaikan kajian menarik. Dikatakannya bahwa arca Ganesa Torongrejo, Mataram Kuno, Singhasari, Kadiri, dan Majapahit punya empat gaya yang berbeda-beda. Perbandingan dilakukan berdasarkan pada penggambaran beberapa atribut, seperti singgasana, mahkota, hiasan di stela, hiasan pada sirascakra, arah belalai, bentuk upawita, benda yang dipegang, ornamentasi kain, dan tanda khusus (Ganesa Torongrejo dalam Konteks Gaya Seni Arca, halaman 305).
Kekayaan gaya Ganesa diperluas oleh Slamat Trisila yang membahas arca Ganesa di Blitar. Arca Ganesa Bara di Desa Tuliskriyo, Sanankulon, bentuknya unik karena punya dua sisi yang berlainan. Yang depan berbentuk Ganesa dan belakangnya berbentuk arca kala, atau manusia raksasa jahat (Arca Ganesa Bara di Blitar dalam Konteks Sosio-Histrotis, halaman 601).
Selain ada Ganesa gaya Candi Gebang yang imut-imut (hanya bertinggi 46 sentimeter), ada pula Ganesa khas gaya Pura Puseh, Bali. Ganesa yang juga disebut Ganapati Pura Puseh ini diyakini sebagai dewa yang sanggup menghancurkan rintangan. ”Melindungi dari nasib buruk, wabah, dan hama tanaman. Ganapati dipercaya memiliki otoritas terhadap Buthalala, simbol energi negatif” (I Ketut Eriadi Asriana, Menelusuri Jejak Pemujaan Ganapati di Pura Puseh, halaman 401).
Baca juga: Ganesa di Antara Dogma dan Ekspresi Seni
Apabila pembicaraan bentuk Ganesa dirasa sudah, kita bisa beringsut ke tulisan Dr Lydia Kieven yang membahas tiga relief di dua candi Jawa Timur. Relief itu menggambarkan dunia musik dan pentas.
Relief di Candi Kendalisodo mengukir Ganesa bermain alat musik vina (menyerupai mandolin). Relief di Candi Jago dengan alat musik mirip vina. Sementara di relief Candi Sukuh sang Ganesa melakukan pentas ritual. Di situ tergambar sehampar bengkel dengan sejumlah pandai besi yang sedang memukul-mukul alat kerjanya sehingga menghasilkan bunyi-bunyian keras yang beritme musikal. Irama musikal itu menyebabkan seekor gajah (Ganesa) menari-nari. (Dari Vina ke Ububan - Fungsi Musik dan Pentas dalam Relief di Candi-candi Jawa Timur, halaman 94).
Ganesa menari atau Nrtya Ganapati ini juga secara khusus dibahas oleh Atina Winaya, dengan menunjukkan Ganesa yang terdapat di Kuil Lakmana di Khajuraho (India tengah) dan di Kuil Hoysaleswara (India selatan) yang dibangun pada abad ke-10.
”Yang di Khajuraho Ganesa digambarkan bertangan 8 dan memegang tongkat gajah (ankusa), tasbih (aksamala), teratai terbuka (utpala) dan ular. Adapun satu tangan patah dan dua tangan lainnya memperlihatkan gerakan menari....Yang di Hoysaleswara Ganesa digambarkan bertangan 6, dengan di antaranya membawa gading (danta) dan mangkuk manisan (modaka). Ganesa juga digambarkan sedang berjoget” (Ganesa Menari, halaman 316).
(Dari sini kita boleh bertanya: adakah keberlarutan Edi dalam tari lantaran mengikut kehidupan Ganesa, yang ternyata suka menari? Atau sebaliknya, karena Ganesa menyenangi tari, maka Edi jatuh cinta kepada Ganesa?)
Pengaruh Ganesa yang unik dan ke mana-mana banyak terceritakan dalam buku ini. Soal kue apem dan serabi, misalnya, yang ternyata adalah kudapan favorit Ganesa (Ary Budianto, Modaka Patra, Kisah Kudapan Manis dan Gurih Sang Ganesa, halaman 253). Juga lirik-lirik lagu Jawa terkenal, seperti ”Lir Ilir”, ”Turi-turi Putih”, bahkan ”Caping Gunung”, yang merupakan buah pengaruh dari ajaran Ganesa. (Triyono SS, MPd, Meredupnya Sinar Mentariku – Seni Tradisi Jodir di Tulungagung, halaman 1003).
Lalu simak adegan ritual menarik ini. Di Arumilgu Manakula Viyanagar Devasthanam, kuil khusus pemujaan Ganesa di Pondicherry, India selatan, ada upacara yang diadakan pada Agustus-September. Sebelum masuk kuil, beberapa umat harus membanting sabut kelapa (yang disediakan di situ) terlebih dahulu. Syahdan, kelapa adalah salah satu makanan kesayangan Ganesa! ”Membanting sabut kelapa dalam tradisi Hindu adalah metafora memecahkan ego dan simbol pertanda pasrah, sumarah kepada Brahman” (kurator BWCF, Mengenang Seorang Empu, halaman VI).
Ganesa—makhluk gemuk yang selalu tampak tepekur—ternyata sanggup beringsut ke mana saja! Ia dewa yang mengembangkan pikiran dan ilmu. Ia guru yang mengajarkan bagaimana menjaga perilaku dan memelihara bumi. Ia juga dewa yang mengajak bersastra, bermusik, dan menari. Seperti Edi Sedyawati.
Agus Dermawan T, Penulis Buk; Pengamat Budaya dan Seni
Data Buku
Judul buku: Tribut untuk Prof Dr Edi Sedyawati - Dari Ganesa sampai Tari
Editor, Penyelaras Bahasa: Seno Joko Suyono, Lesta Alfatiana
Penulis: Dr Diane Butler dan 68 Penulis lainnya
Pengantar: Hilmar Farid, PhD
Penerbit: Borobudur Writers and Cultural Festival 2023
Tahun terbit: Cetakan I, Maret 2024
Tebal buku: xxiv + 1069 halaman
ISBN: 978-623-98637-5-3