Politik Identitas di Masa Gerakan Rakyat Era Kolonial
Pada era kolonial, politik identitas berwajah emansipatoris menjadi ideologi politik perjuangan mencapai kemerdekaan.
Oleh
AGUSTINA RIZKY LUPITASARI
·4 menit baca
Pada tahun 1870, Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel secara resmi digantikan dengan masa ekonomi liberal dimana Hindia Belanda menjadi tebuka atas modal swasta. Masa ini juga membuat kapitalisme berkuasa. Kebutuhan akan tenaga-tenaga operasional pada pabrik-pabrik dan lapangan kerja lain yang semakin menjamur di Hindia Belanda membuat pembangunan lembaga-lembaga pendidikan guna mencetak tenaga dengan upah murah tak terelakkan.
Wilson, melalui buku terbarunya yang berjudul Gerakan Rakyat, Politik Identitas, dan Hukum Kolonial (Komunitas Bambu: 2023), mengajak pembaca menilik bagaimana sejatinya pendidikan bagi kaum pribumi ini semata-mata untuk menjalankan roda kapitalisme di Hindia Belanda. Menurut Wilson, terdapat beberapa karakteristik khas pendidikan era kolonial Belanda yaitu mata pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan industri dan bisnis kaum modal, lalu sistem pendidikan dijalankan secara rasial dan elitis (politik diskriminasi) serta harus didepolitisasi (dibuat seolah-olah sebagai niat baik penjajah).
Oleh sebab itu, muncul sekolah-sekolah kejuruan seperti sekolah dokter (STOVIA), pertanian (Technische Hoogeschool/TH), hukum (Rechts School), dan sekolah-sekolah kejuruan lain guna menjawab kebutuhan tenaga kerja pada sektor-sektor tersebut.
Gerakan Rakyat
Dari sekolah-sekolah yg didirikan oleh Belanda ini, menginspirasi munculnya pergerakan untuk mendirikan sekolah-sekolah juga oleh warga pribumi. Oleh sebab itu muncul organisasi bernama Muhammadiyah yang dipelopori oleh Kyai Haji Mohammad Dahlan pada tahun 1912 di Yogyakarta. Organisasi yang bersifat apolitis ini selanjutnya membangun sekolah-sekolah, panti asuhan, dan juga klinik.
Pergerakan ini kemudian diikuti oleh Ki Hadjar Dewantara yang membangun Taman Siswa pada tahun 1922. Taman Siswa dibangun atas inspirasi pendidikannya di Belanda yang kemudian diterapkan di Indonesia dengan watak keindonesiaannya.
Semakin menjamurnya sekolah-sekolah di Hindia Belanda kala itu, membuat pemahaman kedaerahan terkikis dan memunculkan paham kebersamaan, yaitu sama-sama warga Hindia Belanda. Semakin tinggi ilmu yang diraih pun menyadarkan para kaum muda pengenyam bangku sekolah ini tentang realitas bahwa mereka sedang dijajah. Cara-cara berpikir kritis yang tumbuh melalui bangku sekolah, menimbulkan perasaan tidak senang dengan praktik-praktik diskriminasi yang ada. Dari sinilah para kaum muda menyadari bahwa kunci keunggulan bangsa barat adalah pendidikan dan organisasi. Maka dari itu, mulai muncul organisasi-organisasi sebagai cikal bakal gerakan rakyat menentang kolonialisme. Salah satunya yaitu Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Wilson yang membagi buku ini menjadi 8 bab, menyematkan pada tiap babnya pemaknaan peristiwa sejarah atas realitas masa kini. Hal inilah yang membuat buku ini berbeda dengan buku sejarah kebanyakan. Wilson seolah menekankan bahwa ilmu sejarah tak hanya sebatas pengetahuan masa lampau, namun juga bisa jadi refleksi dan pembelajaran untuk masa kini, demi menorehkan sejarah baru yang lebih baik.
Politik Identitas
Menurut Nancy Fraser dan Syafi’i Ma’arif, politik identitas sejatinya memiliki nilai-nilai positif dan juga berada pada skala luas. Konsep politik identitas muncul dari kelompok sosial yang tertindas dan termarginalisasi, dan tak punya kuasa. Pesan politik identitas mulanya adalah melawan ketidakadilan, penindasan, melawan sistem dominan. Namun dalam konteks masa kini, Wilson menyebutkan bahwa politik identitas justru tidak mempromosikan multikulturalisme tetapi identitas kelompok yang cenderung memajukan separatisme, intoleransi, chauvinisme, patriarki, dan otoritarianisme, apalagi jika dikaitkan denga isu agama dan etnis.
Di era kolonial Belanda, ada dua wajah dari politik identitas yaitu wajah emansipatoris dan wajah konservatif. Keduanya tumbuh dan berkembang sebagai reaksi atas praktik kolonialisme. Politik identitas berwajah emansipatoris menjelma menjadi ideologi politik perjuangan, pemersatu untuk mencapai kemerdekaan. Tiga ideologi politik yang memiliki semangat tersebut adalah nasionalisme, Islam, dan sosialisme. Tokoh sentral yang memperjuangkan ini dengan gerakan-gerakannya antara lain Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjokroaminoto, dan Tan Malaka.
Di wajah yang lain, politik identitas yang konservatif tampil dalam bentuk nasionalisme yang sempit yang mendapat pengaruh dari fasisme. Politik sempit ini berbau rasis yang salah satunya muncul dalam perdebatan konstitusi dalam BPUPKI jelang kemerdekaan. Munculnya istilah orang Indonesia asli yang berhak menjadi presiden indonesia, lalu muncul pula istilah nasionalisme Jawa, serta organisasi-organisasi fasis seperti Nederlandsch Indisch Fascisten Organisatie (NIFO). Adanya “Islam politik” yang memperjuangkan Negara Islam dan memasukkan ide syariat dalam konstitusi negara juga menjadi contoh politik identitas konservatif.
Lebih jauh mengenai politik identitas, Wilson memaparkan bahwa seharusnya politik identitas dikembalikan ke hakikat awalnya yaitu sebagai ideologi melawan ketertindasan, ketidakadilan dan kekuasaan yang dominan dalam skala luas, yang tidak memicu separatisme. Pada realitas masa kini politik identitas justru kerap kali menggunakan isu agama dan etnis terutama dalam politik praktis antar partai utama dan elit politik. Salah satu contoh yang terjadi di Indonesia yaitu kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Sebagai seorang aktivis dan ahli sejarah, tema yang diangkat buku ini sangat dekat dengan kehidupan Wilson. Itulah mengapa, Wilson dapat membawa topik bahasan di tiap bab ini lebih jauh menjadi sebuah analisa sosial terhadap yang terjadi di masa kini. Wilson juga mampu menambahkan perspektif lain dalam konteks perjuangan merebut kemerdekaan dengan menambahkan topik mengenai pengasingan di Boven Digoel. Nuansa perjuangan dalam bentuk lain ada di kisah ini yang kemudian menambahkan dimensi lain dalam memandang perjuangan rakyat Indonesia saat merebut kemerdekaan.
Sisi lain yang diangkat juga di buku ini yaitu mengenai hukuman mati dari masa ke masa sejak era kolonial hingga sekarang. Pada bab ini, Wilson mengungkapkan bagaimana hukum sejak era kolonial sudah tidak relevan untuk dijalankan lagi sekarang. Menurutnya, ketika hukum formal dan kemanusiaan saling berhadapan dan kemanusiaan yang harus dikorbankan, maka peradaban tidak akan maju bahkan selama ratusan tahun. Poin yang paling penting ingin disuarakan Wilson melalui ini adalah bahwa revolusi mental tak sejalan dengan hukuman mati sehingga harus segera diakhiri.
Buku yang cukup menarik pada bagian sampul, ternyata juga menyuguhkan ilmu sejarah yang padat, namun poin-poin praktis cukup bisa ditangkap dengan jelas. Lewat penyampaian yang menarik, buku ini sangat bisa menjadi alternatif ilmu sejarah yang tak membosankan. (Litbang Kompas/KIK)
Data Buku
Judul : Gerakan Rakyat, Politik Identitas, dan Hukum Kolonial