Josef Bataona hadir dari seri kelima untuk memahami fungsi pemimpin dalam memanusiakan karyawannya.
Oleh
RENDRA SANJAYA
·5 menit baca
Memimpin perusahaan dengan beragam tantangan dan memiliki ribuan karyawan bukanlah hal yang mudah. Kondisi ini sering kali mengalihkan fokus seorang pemimpin dari harkat karyawan sebagai manusia, bahkan tak jarang menjadikan mereka tidak lebih dari sekadar angka.
Kemunculan robot dan artificial intelligent (AI) menjadi tantangan terbesar atas keberadaan manusia sebagai karyawan. Peran manusia sebagai karyawan secara bertahap, namun pasti, digantikan mesin yang lebih akurat dan konsisten. Di beberapa area fisik dan mental, manusia terbukti kalah produktif dibandingkan mesin. Namun, mesin tertinggal jauh secara emosional. Apalagi spiritual! Mesin yang paling hebat sekalipun diciptakan manusia. Sedangkan pencipta mesin yakni manusia merupakan ciptaan Tuhan.
Josef Bataona dalam Memanusiakan Manusia, Seni Mengangkat Harkat Karyawan sebagai Manusia (Penerbit Buku Kompas, 2023) menyebutkan bahwa kapasitas luar biasa sumber daya manusia belum digunakan secara optimal. Pendekatan paradigma manusia seutuhnya (the whole person paradigm) dipilih sebagai dasar untuk membangkitkan kapasitas sumber daya manusia yang tidak dimiliki perangkat digital.
Sejalan dengan perubahan dan tuntutan informasi terkini, manusia dihadapkan pada situasi ketika data yang dikelola terus menggunung. Cara kerja manual tentu bukan lagi opsi. Maka, hadirlah berbagai pilihan teknologi yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam bekerja. Bukan saja bekerja di kantor, melainkan di tempat-tempat lain.
Akibatnya, manusia sering kali hanya berpusat pada kehebatan teknologi, tetapi lupa bahwa elemen terpenting yang harus dilakukan adalah mengubah perilaku dalam bekerja. Kegagalan dalam sosialisasi ini akan membuat mereka yang tadinya sepakat menggunakan teknologi yang disediakan menjadi enggan.
Memanusiakan manusia
Slogan ”memanusiakan manusia” dipopulerkan pada tahun 1980-an. Hal ini dilakukan untuk mencegah pekerja diperlakukan sebagai alat produksi, setara dengan mesin. Pendekatan ini menyarankan keterkaitan terhadap tubuh dan jiwa dalam setiap langkah yang ingin diambil. Hidup ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, yakni kerja, sosial, keluarga, spiritual, dan lain-lain. Namun, ini tidak berarti kita harus memandangnya secara berkotak-kotak.
Karyawan atau keluarga adalah sama-sama manusia, tetapi dengan peran yang berbeda-beda sesuai panggilan hidup masing-masing. Mereka selayaknya diperlakukan secara berimbang, bukan dalam konteks jumlah jam, melainkan berkaitan dengan prioritas dalam waktu yang berbeda-beda. Apabila keseimbangan hidup tersebut ditata dengan sungguh-sungguh, akan meningkatkan kebahagiaan.
Kepuasan yang berada dalam dimensi hidup berbeda serta dalam waktu yang berbeda akan menciptakan energi positif dengan daya luar biasa untuk mendongkrak kinerja. Mereka yang hadir dalam setiap momen tersebut juga akan berkesempatan mengalami kebahagiaan penuh, seakan keajaiban sedang terjadi dan bisa terjadi setiap hari.
Kenyataan tersebut mendorong banyak perusahaan mulai menerapkan program-program yang membantu keterkaitan dunia kerja dan kebutuhan hidup lainnya, seperti flexible schedule, telecommuting, different models of leadership development, dan family-friendly benefit. Ada pula yang mulai menciptakan healthy workplace untuk meningkatkan apa yang disebut the individual wellbeing of employees.
Konsep wellbeing diasosiasikan dengan good life, mengekspresikan nilai-nilai tertentu yang ingin dihidupi dalam perusahaan. Tentu saja setiap keputusan bisnis akan berkaitan erat dengan tata nilai tertentu yang melekat padanya. Dewasa ini pun, banyak perusahaan yang secara gamblang memperkenalkan apa yang mereka sebut dengan social mission melalui berbagai media sosial.
Apalagi kalau nilai-nilai tersebut menekankan konsep yang meyakini bahwa perusahaan dengan budaya peduli pada yang lain (giving and low taking) akan berjaya. Nilai-nilai tersebut akan menjadi perekat karyawan dan menyelaraskan nilai-nilai individu karyawan dengan nilai-nilai yang dianut perusahaan sehingga membantu meningkatkan produktivitas.
Hal ini bisa dipahami jika organisasi berkesempatan menginspirasi karyawan untuk suatu tujuan (purpose) yang lebih besar dari dirinya sendiri. Mereka bisa menemukan makna hidupnya sendiri dan sekaligus membantu yang lain untuk juga menemukan makna hidup mereka.
Budaya tempat kerja
Tempat kerja adalah pentas tempat semua karyawan dan pimpinan beraksi. Oleh karena itu, keterlekatan (engagement) dari para pelaku pentas akan sangat menentukan tingkat produktivitas. Tata nilaiyang dimiliki perusahaan diharapkan menjadi pedoman perilaku, tindakan, cara berpikir, persepsi, dan harapan semua karyawan.
Dalam konteks ini, pimpinan mempunyai peran yang sangat penting untuk mendemonstrasikan bagaimana menghidupi tata nilai tersebut. Bukan saja melalui tutur katanya, melainkan juga perbuatannya sehari-hari. Mereka harus sadar bahwa mereka hendaknya menjadi contoh bagaimana hidup sesuai tata nilai tersebut. Semua yang disebutkan ini pada akhirnya membentuk budaya kerja yang menjadi keunikan dari perusahaan. Tata nilai tersebut diharapkan bisa menjadi perekat tim dalam kesehariannya, dalam mengemban tugas masing-masing atau tugas bersama.
Perilaku para pimpinan di perusahaan tersebut akan memberikan pengalaman karyawan (employee experience), baikpositif maupun negatif, dalam berinteraksi dengan para pimpinan sepanjang karier mereka, sejak proses rekrutmen hingga hari mereka meninggalkan perusahaan. Ini bisa memberikan gambaran tentang seberapa baik perusahaan memperlakukan mereka, hingga titik akhir. Harapan karyawan sederhana, yakni ingin diperlakukan sesuai harkatnya sebagai manusia.
Melalui buku ini, Josef berusaha untuk mengajak pembaca berefleksi, membangun kesadaran bahwa ”memimpin dengan memanusiakan karyawan” itu bukan bawaan natural. Memimpin pada umumnya, suatu tindakan yang perlu disadari kepentingannya dan terus diperjuangkan implementasinya.
Kehadiran buku ini merupakan kelanjutan dari empat buku sebelumnya. Buku pertama, Kisah Rp 10.000 yang Mengubah Hidupkan, berisi tips menempa diri menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu. Buku kedua, #CURHATSTAF: Seni Mendengarkan bagi Para Pemimpin, di mana seorang pemimpin diajak turun membangun dialog demi mengasah ”kemampuan mendengarkan”-nya. Buku ketiga, Leader as Meaning Maker: Seni Mengajak Tim Menemukan Makna dalam Pekerjaan. Buku keempat, FUN at WORK: Seni Memberdayakan Coaching untuk Engagement Karyawan, demi pertumbuhan secara pribadi maupun sebagai pemimpin di tempat kerja. Buku kelima ini mempertajam pemahaman fungsi seorang pemimpin, dalam memperlakukan karyawannya: Memanusiakan Manusia: Seni Mengangkat Harkat Karyawan sebagai Manusia.
Tulisan di buku ini merupakan rangkaian cerita dari berbagai praktik nyata, yang penulis rancang dan terapkan bersama para direksi atau line manager, tim human resources, ataupun karyawan di perusahaan tempatnya bekerja. Cerita yang disuguhkan dalam buku ini diharapkan bisa memberikan pemahaman makna dari memanusiakan manusia, atau makna dari memperlakukan karyawan sebagai manusia seutuhnya. (Litbang Kompas/DRA)
Data Buku
Judul : Memanusiakan Manusia, Seni Mengangkat Harkat Karyawan sebagai Manusia