”Setelah kita membuka perut, kita tak punya jalan kembali, it is a point of no return” merupakan prinsip Prof Sjamsu.
Oleh
DESI PERMATASARI
·5 menit baca
Salah satu cita-cita saat anak-anak adalah menjadi seorang dokter. Profesi tersebut menjadi populer dan diidam-idamkan anak-anak. Seiring berjalannya waktu, nyatanya tidak semudah itu menjadi seorang dokter. Faktor biaya kuliah menjadi kendala utama jika ingin menjadi seorang dokter.
Berdasarkan analisis Kompas terhadap biaya kuliah di 12 program studi dan rerata gaji awal lulusan universitas, hasilnya adalah waktu pengembalian biaya pendidikan paling lama adalah ilmu kedokteran dengan rata-rata biaya kuliah kedokteran di perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) sebesar Rp 388,8 juta untuk delapan semester (Kompas, 29/7/2022). Meskipun biaya pendidikan untuk kedokteran cukup menguras kantong, nyatanya pekerjaan dokter adalah salah satu pekerjaan yang mulia.
Dokter mendedikasikan hidupnya untuk melayani pasien. Tak sampai di situ, bahkan beberapa dokter menjadi guru untuk membuat mahir mahasiswanya. Sosok yang konsisten membagikan ilmunya kepada mahasiswa kedokteran dengan berbasis etika kedokteran adalah Prof dr R Sjamsuhidajat Sp.B.KBD. Perjalanannya menyelami dunia kedokteran bedah hingga menjadi guru besar tertulis dalam buku Memoar Guru Besar Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Penerbit Buku Kompas, 2024).
Buku setebal 202 halaman ini juga menceritakan perkembangan upaya kedokteran dan kesehatan di Indonesia dari aspek layanan bedah, kesehatan masyarakat, etika riset kedokteran, serta kisah-kisah perjalanan upaya kesehatan di Indonesia.
Karier
Sjamsuhidajat atau yang kerap disapa Sjamsu merupakan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dengan melalui tahapan premedik (1 tahun), preklinik (2 tahun), klinik (2 tahun), dan kepaniteraan (1 tahun), rotasi klinik (12 minggu), serta kepaniteraan bagian bidan dan kandungan, kesehatan anak, psikiatri (8 minggu). Sjamsu akhirnya lulus dalam waktu 7 tahun.
Saat lulus menjadi dokter umum, pria kelahiran 7 November 1931 ini sempat ditempatkan di Papua. Setelah penempatan di Papua, ia ingin melanjutkan studi spesialis bedah. Namun, pada kenyataannya hal itu tidak mudah baginya.
Dengan jiwa pantang menyerahnya yang menggelora, meski harus mengalami tiga kali gagal ujian, akhirnya ia berhasil menjadi residen bedah pada Agustus 1959. Selanjutnya, ia menjalani pendidikan ahli bedah sekitar dua tahun dan dikirimkan ke Irian Barat pada tahun 1962.
Semasa Sjamsu bertugas di RS Hollandia, yang kini menjadi RSUD Biak, Sorong, Merauke, ia sebagai ahli bedah muda selama 1962-1963. Momen yang diingatnya saat di sana adalah ia menggantikan dokter bedah Belanda untuk melakukan operasi sesar istri gubernur, bayi dan ibunya selamat. Kemudian, eksistensinya sebagai dokter bedah semakin menanjak dan menjadi dokter bedah yang terbang kian kemari di Papua.
Meski telah menjadi dokter yang eksistensinya tidak diragukan lagi, tak membuat Sjamsu berpuas diri. Ia masih berkeinginan mencari ilmu hingga ke Belanda untuk memperdalam bidang bedah eksperimental dan bedah saluran pencernaan di Universitas Amsterdam pada 1969-1970.
Alasan Sjamsu memperdalam bedah digestif karena ia ingin membuat diagnosis kerja dan diagnosis banding (opsi kemungkinan diagnosis lainnya). Ia berpendapat bahwa saat membedah perut pasien merupakan bukan ilmu pasti, bisa saja diagnosisnya berbeda dengan diagnosis sebelum bedah.
Tak hanya itu, bagi Sjamsu, dokter bedah digestif harus menguasai tiga area, yaitu pertama area kerongkongan hingga ke hati dan kantung empedu, kedua area lambung, usus 12 jari yang memproses serapan makanan, dan ketiga area saluran cerna bagian bawah usus besar yang memproses sisa makanan.
Kehidupan Sjamsu tak hanya soal perjalanan kariernya, pada tahun 1959 ia menemukan belahan jiwa dengan menikahi Sri Sugati. Pada kala itu, Sri bekerja di Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI. Sri menemani perjalanan Sjamsu saat studi hingga praktik menjadi dokter ahli bedah.
Sosok
Buku yang ditulis oleh Rudi Pakerti, Toar Lalisang, dan Rushdy Hoesein ini menceritakan sosok Sjamsu di mata kerabat. Sjamsu banyak dikagumi oleh kerabatnya baik dari kalangan dokter maupun dosen.
Sosok Sjamsu dikenal dengan orang yang pintar serta berpengetahuan luas, ingatan tajam, kuat, dan sabar. Karakter tersebut yang dipaparkan oleh Dr Linda Darmajanti, yang semakin akrab dengan Sjamsu ketika sering berjumpa di Muktamar IKABDI. Momen yang tak terlupakan adalah saat Linda diajak makan pagi bersama oleh Sjamsu. Linda sangat terkejut karena cara makan Prof Sjamsu sangat lamban.
Karena penasaran, Linda langsung bertanya kepada pria berdarah Demak dan Tulungagung itu. Prof Sjamsu menjawab dengan santai, ”Saya mengunyah makanan 33 kali sebelum ditelan.” Linda melihat Prof Sjamsu konsisten melakukan healthy life style.
Selain Linda, ada pula dr Ibrahim Ahmadsyah, Sp. BD yang menganggapProf Sjamsu merupakan guru pintar dengan kemampuan psikotorik, teknik bedah yang hebat, serta teliti saat menutup jahitan setelah operasi. Dr Ibrahim sendiri dipercaya menggantikan praktik bedah Prof Sjamsu apabila diperlukan.
Prof dr R Sjamsuhidajat Sp.B.KBD memiliki prinsip yang sangat dikenal oleh kolega dan penerusnya, yakni”setelah kita membuka perut, kita tak punya jalan kembali, it is a point of no return”. Artinya, segala cara dan upaya harus dilakukan untuk mengatasi masalah saat di meja operasi.
Buku ini tidak hanya berisi mengenai biografi Sjamsu, tetapi juga kisah lain kehidupan ilmu kedokteran. Satu topik buku yang menjadi perhatian adalah dokter bedah idaman versus dokter bedah pragmatis. Dokter bedah idaman yang menyandang prinsip dan etika kedokteran seperti perilaku yang diajarkan semasa pendidikan dokter spesialis bedah, yang harapannya konsisten diterapkan.
Sementara dokter pragmatis sebagai contoh yaitu menolak melakukan pembedahan pada klien AIDS, padahal AIDS dapat ditepis apabila melakukan pembedahan dengan hati-hati. Buku ini memaparkan bahwa tidak ada alasan bagi dokter bedah untuk tidak melakukan pembedahan saat pasien mengidap AIDS.
Seorang dokter memang seharusnya memiliki kepedulian, mementingkan kebutuhan klien yang sakit dari kebutuhan dirinya, berintegritas diri, jujur, dan mampu melakukan diagnosis serta solusi yang tepat, cepat.
(Litbang Kompas)
Data Buku
Judul: Memoar Guru Besar Ilmu Bedah: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia