Jaksa Agung Soeprapto, Abdi Hukum yang Terlupakan
Jaksa Agung Soeprapto tidak menyandang gelar ”Mr” pada namanya. Namun, dia dikenal sebagai Bapak Jaksa Agung Indonesia.
Pada masa pemerintahan Indonesia bersistem parlementer di tahun 1950-an, ada begitu banyak lulusan hukum asal Belanda. Kualitas mereka tidak perlu diragukan lagi. Titel Meester in de Rechten sudah menempatkan mereka sebagai seorang sarjana hukum dari kampus terbaik. Tidak jarang pada masa kolonial gelar ”Mr” menjadi primadona di kalangan bumiputera sehingga mereka bersusah payah agar bisa melanjutkan pendidikan di negeri Belanda.
Namun, tidak disangka, Presiden Soekarno malah menunjuk seorang jaksa agung yang bukan lulusan dari Belanda. Dia bahkan hanya sekolah hukum di Recht School di Batavia tahun 1917. Dia adalah R Soeprapto atau lebih dikenal sebagai Jaksa Agung Soeprapto. Meski menjadi Jaksa Agung yang tidak meraih gelar ”Mr”, Soeprapto merupakan tokoh yang dihormati di kalangan para jaksa. Patung torsonya pun sampai dibangun di kantor Kejaksaan Agung.
Ini hanya sedikit fakta unik dari seorang Jaksa Agung Soeprapto yang ditulis oleh Iip D Yahya dalam buku Jaksa Agung Soeprapto dan Sejarah Pertumbuhan Kejaksaan Republik Indonesia (PBK, 2024). Buku ini meringkas perjalanan hidup tokoh fenomenal bagi dunia kejaksaan Indonesia. Penulis menyusun buku ini dalam rangka untuk mengenalkan kembali sosok Jaksa Agung Soeprapto yang sempat dilupakan. Bahkan, buku ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengangkat Jaksa Agung Soeprapto sebagai pahlawan nasional.
Bukan tidak mungkin status pahlawan nasional dapat disematkan untuk Jaksa Agung Soeprapto. Alasannya karena dia adalah salah satu jaksa yang cukup tegas dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan hukum. Dalam Kongres Persatuan Djaksa di Bandung tahun 1953, Jaksa Agung Soeprapto memberikan pesan untuk para jaksa, yakni sabar dalam penderitaan, ulet dalam bekerja, jujur dalam perjuangan, realistis dalam tuntutan, dan luhur cita-citanya.
Keyakinan ini ditunjukkan oleh Jaksa Agung Soeprapto yang bekerja demi kemajuan hukum Indonesia. Dia dipilih sebagai Jaksa Agung Ketika Indonesia baru berumur lima tahun dan selesai masa revolusi. Jaksa Agung Soeprapto tidak segan-segan menghukum orang-orang yang berkhianat kepada bangsa Indonesia. Sikap ini ditunjukkannya sejak ia merintis karier sebagai hakim.
Karier kehakiman
Sejak lulus dari Recht School di Batavia, Soeprapto memilih langsung bekerja. Alasannya, karena sebagai anak tertua di dalam keluarga, dia harus menjadi tulang punggung. Inilah yang membedakan dirinya dengan teman-teman seangkatannya yang lebih memilih untuk melanjutkan sekolahnya di Leiden, Belanda. Hal ini jugalah yang membuatnya tidak mendapatkan gelar ”Mr”.
Tugas pertamanya sebagai abdi hukum dijalaninya di Jawa Timur, tepatnya sebagai staf Kepala Pengadilan Negeri di Tulungagung. Soeprapto selama bekerja dikenal sebagai orang yang sangat rajin. Sepulang dari kantor, dia masih meneruskan pekerjaannya di rumah hingga larut malam. Perjuangannya inilah yang membawa Soeprapto kemudian promosi sebagai staf bagian perhitungan keuangan. Bahkan keuletan dalam bekerja ini juga membawa kariernya terus naik menanjak.
Baru pada tahun 1927, Soeprapto mendapatkan promosi sebagai Ketua Pengadilan Negeri Pati. Namun, tidak berselang lama karier Soeprapto berpindah-pindah tempat, mulai dari Banyuwangi, Jawa Timur; Bali; Cirebon, Jawa Barat, hingga ke Mataram di Nusa Tenggara Barat. Ini juga membuat Soeprapto mengalami beberapa kali kawin cerai karena istrinya yang tidak kuat berpindah-pindah kota.
Di saat Indonesia merdeka dari kolonialisme, di sinilah Soeprapto menghadapi banyak tantangan yang berat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Peristiwa Tiga Daerah, yakni di Brebes-Tegal-Pemalang, di akhir tahun 1945, menyita perhatian Soeprapto. Peristiwa ini membuat pemerintah sempat ragu dan terkesan cuci tangan dengan aksi ini. Apalagi, pemerintah meminta tentara untuk menangkapi tokoh-tokoh yang terlibat di dalam aksi.
Kewibawaan Soeprapto sebagai abdi hukum diuji dalam kasus ini karena berada di dalam dua tekanan besar. Satu sisi pemerintah ingin menangkapi tokoh-tokoh dalam aksi Peristiwa Tiga Daerah. Namun, di sisi lain, masyarakat malah mendukung para tokoh ini dan dianggap sebagai pahlawan.
Perlu dicatat juga peristiwa ini muncul sebagai reaksi masyarakat atas Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Masyarakat yang lepas dari belenggu kekuasaan meminta agar pemerintahan yang dibangun harus bersih dari unsur kolonialisme. Maka, ada beberapa tokoh yang melakukan kekerasan terhadap pejabat-pejabat peninggalan kolonial.
Ada kisah menarik terkait dengan Peristiwa Tiga Daerah dengan Soeprapto, yakni ketika mengadili tokoh gerombolan di Talang, Tegal, Jawa Tengah, bernama Kutil. Nama aslinya adalah Sakhyani. Dia termasuk tokoh yang paling dihormati sekaligus ditakuti oleh masyarakat Talang. Pada saat Revolusi, Kutil membentuk Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) dan bermaskar di Talang. Dalam kesatuannya itu Kutil memerintahkan agar anak buahnya menumpas agen-agen Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dan membagi hasil rampasan secara adil.
Mereka pun kemudian melakukan banyak aksi seperti merusak rumah bekas pegawai Belanda di sekitar Pabrik Gula Pagongan. Selain itu, mereka juga menyita rumah pedagang kaya di Talang yang lebih banyak tinggal di Jakarta. Rumah tersebut kemudian dijadikan sebagai markas AMRI. Kutil pun kemudian dianggap sebagai pahlawan bagi orang-orang kecil.
Namun, gerakan ini malah dianggap Presiden Soekarno sebagai tindakan di luar hukum. Dalam kunjungannya ke Tegal pada Desember 1945, Presiden Soekarno menyebut gerakan ini sebagai ”Negara Talang”. Apalagi, pernyataan Presiden Soekarno muncul setelah Gerakan Kutil membunuh dua pemimpin perjuangan Tegal dan Wakil Ketua Komite Nasional Indonesia Tegal.
Maka, ketika Kutil diadili atas tindakannya di luar hukum tersebut, banyak dari masyarakat Talang malah membela tindakan Kutil. Dalam kondisi seperti itulah Hakim Soeprapto diharuskan untuk mengamil Keputusan. Dia harus memilih alasan-alasan hukum bukan karena politik. Bagi Soeprapto, pembunuhan di luar hukum adalah tindakan yang salah. Maka, Hakim Soeprapto pun menjatuhi Kutil dengan hukuman vonis mati.
Bukti ketegasan Soeprapto di mata hukum dengan memberikan vonis hukuman mati bagi Kutil membuat Soeprapto menapaki karier yang lebih tinggi. Pada 28 Desember 1950, Soeprapto diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Jaksa Agung di Mahkamah Agung RI. Diangkatnya Soeprapto sebagai Jaksa Agung disertai alasan bahwa Soeprapto diharuskan untuk menyelesaikan kasus Westerling.
Perkara Westerling ini cukup menyita perhatian publik dan hukum. Penyebabnya karena bekas Kapten KNIL Raymond ”Turk” Westerling menyatukan serdadu KNIL, APRIS, anggota polisi, dan beberapa orang yang mau mempertahankan bentuk federalis, menyerang dan membombardir Kota Bandung pada 23 Januari 1950. Saat itu Westerling menuntut agar APRA, kesatuannya, diakui sebagai angkatan kepolisian Negara Pasundan.
Pemberontakan pada akhirnya dapat dipadamkan. Namun, Westerling melarikan diri meninggalkan Indonesia. Meskipun begitu, salah satu petinggi yang dekat dengan Westerling dan juga ikut bertanggung jawab atas pemberontakan tersebut akhirnya ditangkap. Dia adalah Sultan Hamid II yang saat itu bekerja sama dengan Westerling karena ia kecewa tidak mendapatkan jabatan sebagai Menteri Pertahanan di pemerintahan.
Melihat latar belakang peristiwa inilah, Presiden Soekarno yakin bahwa Soeprapto mampu menyelesaikan kasus Westerling dan menghukum Sultan Hamid II. Apalagi dengan pengalaman Soeprapto mengadili kasus Kutil di mana dia bertindak sebagai seorang hakim yang patuh terhadap hukum, bukan kepada jalur politik.
Kontroversi
Meskipun karier Soeprapto sebagai Jaksa Agung cukup moncer, keadaan ini tidak berlangsung selamanya. Pada tahun 1959, Soeprapto diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Soekarno sebagai Jaksa Agung. Ada rumor yang mengatakan bahwa pencopotan ini disebabkan Soeprapto meloloskan Schmidt, seorang mantan tentara Belanda. Soeprapto pun dianggap sebagai tokoh kontra revolusi. Namun, tuduhan ini hanya rumor belaka karena Soeprapto dianggap tidak bersalah.
Dalam buku ini kemudian dijelaskan bagaimana peristiwa tersebut bisa terjadi berdasarkan wawancara Daniel S Lev dengan Soeprapto di masa pensiunnya sebagai jaksa. Soeprapto menjelaskan bahwa Schmidt memang dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta karena menjadi musuh negara. Apalagi, saat itu Indonesia menganggap orang-orang Belanda sebagai kelompok kolonial yang harus dihukum.
Namun, beberapa hari kemudian, hukuman tersebut naik banding ke pengadilan tinggi karena didapati bahwa kasus Schmidt tidak cukup bukti yang kuat. Dia hanya bersalah sebagai anggota kelompok yang dilarang. Hal ini kemudian membuat Schmidt dikurangi hukumannya menjadi lima tahun oleh pengadilan tinggi. Oleh karena ia telah menjalani hukuman selama lima tahun lebih beberapa bulan, pengadilan tinggi menyatakan Schmidt telah menjalani hukumannya dan bebas.
Perwakilan dari Belanda kemudian mendatangi Soeprapto di Kejaksaan Agung untuk menanyakan status Schmidt. Apalagi mengingat bahwa salinan pembebasan Schmidt dari pengadilan tinggi juga dimiliki oleh Kejaksaan Agung. Soeprapto yang mengetahui bahwa Schmidt sudah menjalani vonis hukuman dan telah bebas diizinkan untuk meninggalkan Indonesia.
Tetapi, proses ini ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi mengingat Schmidt adalah seorang musuh negara sehingga meskipun telah menjalani vonis hukuman tidak serta-merta dia dapat meninggalkan Indonesia. Namun, nasi sudah menjadi bubur, pihak imigrasi telah memberikan izin agar Schmidt diperbolehkan untuk meninggalkan Indonesia. Peristiwa ini membuat masyarakat marah sehingga pemerintah pun ikut terancam.
Pemerintah kemudian mengambil tindakan tegas dengan memberhentikan secara hormat Soeprapto sebagai Jaksa Agung. Apalagi, komunikasi untuk membawa keluar Schmidt ke Belanda dilakukan oleh perwakilan Belanda dengan Kejaksaan Agung. Walaupun begitu, pencopotan ini lebih dimaknai sebagai agenda politik mengingat pada tahun 1959 Presiden Soekarno berencana untuk kembali pada UUD 1945 lewat Dekrit Presiden. (Litbang Kompas/DNG)
Data Buku
Judul buku: Jaksa Agung Soeprapto dan Sejarah Pertumbuhan Kejaksaan Republik Indonesia
Penulis: Iip D Yahya
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2024
Jumlah halaman: xvi + 288 halaman
ISBN: 978-623-160-243-5