Polikliniek Tionghoa yang berada di Semarang menunjukkan bahwa penggunaan fasilitas kesehatan tidak perlu memandang asal-usul dan ras. Sejarah mencatat bahwa nilai tersebut diwariskan pada RS Telegorejo Semarang.
Oleh
MARTINUS DANANG PRATAMA WICAKSANA
·7 menit baca
Belum banyak yang tahu bahwa pendirian RS Telogorejo di Semarang telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Bahkan, pihak rumah sakit meyakini bahwa tanggal 25 November 1951 adalah hari jadi RS Telogorejo. Namun, Ravando, sejarawan muda, menemukan fakta lain bahwa cikal bakal RS Telogorejo telah berdiri sejak tahun 1925. Fakta ini merujuk pada berdirinya Polikliniek Tionghoa di Gang Gambiran pada 29 November 1925.
Selama ini pihak rumah sakit memakai data tahun 1951 berdasarkan pada peristiwa penggantian nama Polikliniek Tionghoa menjadi RS Telogorejo. Namun, seiring dengan ditemukannya data baru oleh Ravando, pihak RS Telogorejo mengubah hari jadinya menjadi 29 November 1925. Ini juga menunjukkan bahwa usia RS Telogorejo hampir mencapai satu abad melayani sektor kesehatan, khususnya di Semarang dan sekitarnya.
Tetapi, tidak dimungkiribahwa keberadaan Polikliniek Tionghoa mengalami pasang surut. Polikliniek Tionghoa telah menjadi bagian dalam perkembangan sejarah kesehatan di Semarang. Prof Kate McGregor PhD dalam komentarnya di buku ini menunjukkan bahwa Polikliniek Tionghoa juga terlibat erat dalam berbagai aktivisme kesehatan yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas kesehatan penduduk secara luas.
Oleh karena itulah, penerbitan buku Karsa & Karya demi Kemanusiaan: Yayasan Kesehatan Telogorejo untuk Indonesia (PBK, 2023), karya Ravando, tidak hanya dilihat sebagai sejarah RS Telogorejo saja. Namun, ada nilai-nilai yang dapat dipelajari dari sejarah Polikliniek Tionghoa bahwa aspek kesehatan adalah untuk kemanusiaan secara luas tanpa harus memandang ras dan status sosial.
Meskipun menempatkan nama ”Tionghoa” pada nama Polikliniek Tionghoa, mereka menerima semua pasien dari kalangan apa pun, baik itu pribumi maupun Tionghoa, baik mereka yang bisa membayar mtaupun mereka yang tidak bisa membayar. Ini menjadi bukti bahwa keberagaman dan kemanusiaan bekerja lewat aktivitas Polikliniek Tionghoa.
Polikliniek Tionghoa
Pendirian Polikliniek Tionghoa tidak dapat dilepaskan dari situasi kesehatan di wilayah Semarang. Waktu itu masih jarang fasilitas kesehatan yang memadai di Kota Semarang. Padahal, Semarang saat itu telah menjadi salah satu kota besar perdagangan selain Batavia dan Surabaya. Hal ini juga diperparah dengan merebaknya penyakit kolera dan sanitasi yang buruk. Mereka yang jatuh sakit sulit untuk mendapatkan akses kesehatan karena biaya yang mahal di rumah sakit milik Belanda. Tidak heran di awal abad ke-20, jumlah kematian di Semarang cukup tinggi.
Melihat keadaan ini, sejumlah kelompok filantropi Tionghoa Semarang bergerak untuk mendirikan sebuah fasilitas kesehatan. Mereka juga menyadari bahwa jumlah orang Tionghoa di Semarang cukup tinggi, tetapi sayangnya mereka tidak memiliki rumah sakit ataupun poliklinik yang dikelola dan didirikan oleh orang-orang Tionghoa. Apalagi mengingat bahwa orang Tionghoa saat itu banyak yang menjadi pedagang sehingga untuk membangun rumah sakit sangat dimungkinkan.
Maka, pada November 1925, sejumlah nama-nama, seperti Tan Sing Hwie, Lie Kim Tjing, Goei Ing Toen, Siek Tiauw Sik, So Liang Hien, Tio Ping Kiat, Thio A Hien, Go Yok Ho, Phang Khoen Liem, dan Tjioe Siong Toen, mendirikan Polikliniek Tionghoa. Mereka juga dipilih sebagai pengurus pertama poliklinik. Perlu diketahui juga nama-nama tersebut adalah para pengusaha yang tidak pernah berkecimpung dalam sektor kesehatan.
Meskipun nama Tionghoa disematkan pada nama poliklinik ini dan didirikan oleh para filantropi Tionghoa, dokter pertama yang melayani Polikliniek Tionghoa bukanlah dari kalangan Tionghoa. Mereka adalah dr Permadi dan dr R Ngamdani, keduanya adalah dokter bumiputera. Mereka berdua bukanlah nama baru di dunia kesehatan waktu itu, tetapi mereka tertarik untuk melayani Polikliniek Tionghoa karena visi-misi yang diembannya. Polikliniek Tionghoa berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan sehingga mereka tidak mencari untung melalui bisnis kesehatan.
Memang, pada awal berdirinya Polikliniek Tionghoa justru bukan menjadi pilihan utama berobat kalangan Tionghoa. Banyak dari orang-orang Tionghoa Semarang memilih berobat ke rumah sakit milik orang Belanda. Malahan Polikliniek Tionghoa paling banyak didatangi oleh kelompok bumiputera untuk berobat. Selain karena tidak adanya perbedaan rasial dibandingkan dengan rumah sakit milik Belanda, Polikliniek Tionghoa kerap tidak membebani pasiennya untuk tidak membayar apabila mereka tidak memiliki uang sepeser pun.
Butuh waktu setahun lamanya bagi Polikliniek Tionghoa untuk mendapatkan dokter pertamanya. Dia adalah dr Tan Ping Ie, seorang dokter lulusan dari Universiteit van Amsterdam, Belanda. Dr Tan Ping Ie memilih jalur untuk menjadi dokter cum aktivis sehingga ia tertarik untuk berkarya di Polikliniek Tionghoa. Namun, tidak dimungkiri juga keberadaan dr Tan Ping Ie juga tidak membuat banyak orang Tionghoa yang berobat ke Polikliniek Tionghoa.
Keadaan ini justru membuat Polikliniek Tionghoa harus kehilangan pemasukan mengingat mayoritas pasien yang mereka tangani berasal dari golongan kurang mampu yang tidak enak hati apabila mereka dikenakan bayaran. Meskipun begitu, dr Tan Ping Ie yang baru saja lulus harus kehilangan banyak uang sehingga membuat perekonomiannya menjadi limbung. Maka, pada tahun 1926 dr Tan Ping Ie pun memutuskan untuk keluar dari Polikliniek Tionghoa dan melanjutkan kariernya di Tiongkok.
Walaupun Polikliniek Tionghoa menerapkan sistem pembayaran yang menyesuaikan dengan tingkat ekonomi pasiennya, justru membuat pemasukan poliklinik semakin kecil. Ditambah dengan sepinya pasien Tionghoa yang datang berobat. Mereka hanya bergantung pada donasi para filantropi dan sejumlah donatur. Keadaan inilah yang kemudian dikritik oleh surat kabar Djawa Tengah bahwa masih ada orang Tionghoa Semarang yang tidak peduli dengan Polikliniek Tionghoa.
Bahkan, pernah ada suatu kejadian di mana Polikliniek Tionghoa kesulitan untuk membangun gedungnya sendiri. Penyebabnya adalah karena kelompok Tji Lam Tjay tidak setuju apabila Polikliniek Tionghoa dibangun di samping Kong Koan sehingga aroma rumah sakit dapat mengganggu aktivitas mereka. Kedua kubu tersebut kemudian menciptakan polemik di Semarang, bahkan sampai diangkat di dalam surat kabar Djawa Tengah di sepanjang tahun 1928.
Saat itu Polikliniek Tionghoa membutuhkan gedung yang lebih luas untuk pengembangan fasilitas kesehatan. Apalagi mengingat bahwa Polikliniek Tionghoa mulai banyak didatangi pasien. Namun, di sisi lain, Tji Lam Tjay cukup terganggu dengan penyebaran aroma yang tidak mengenakkan dari rumah sakit sehingga mengganggu aktivitas, salah satunya adalah peribadatan mereka. Hal ini memantik redaksi Djawa Tengah yang menuduh kelompok Tji Lam Tjay tidak peduli dengan program kesehatan Polikliniek Tionghoa, padahal sama-sama dari kelompok Tionghoa.
Hingga pada akhirnya di tahun 1932, Polikliniek Tionghoa mendirikan bangunannya sendiri di Gang Gambiran 84 tidak jauh dari lokasi poliklinik pertama berdiri. Mereka tidak jadi menempati tanah dekat dengan Tji Lam Tjay setelah hampir enam tahun saling berpolemik.
Keberadaan gedung baru Polikliniek Tionghoa juga dibarengi dengan pembukaan beberapa unit kesehatan lainnya. Seperti kehadiran unit perempuan dan anak di Polikliniek Tionghoa turut menginspirasi kemunculan poliklinik anak lainnya di Semarang.
Telogoredjo
Sepanjang pendudukan Jepang, Polikliniek Tionghoa tetap berdiri meskipun dalam pengawasan militer Jepang. Bahkan, pada masa revolusi, keberadaan Polikliniek Tionghoa cukup berpengaruh untuk kepentingan perang oleh militer Indonesia. Hal inilah yang kemudian membuat pengurus poliklinik berupaya untuk membangun rumah sakit, apalagi di Semarang jumlah rumah sakit masih sedikit. Pemerintah Indonesia pun juga mendorong setiap kota untuk mendirikan rumah sakit, baik negeri maupun swasta.
Maka, pada 26 September 1949 mulai dibangunlah gedung Rumah Sakit Tiong Hoa Ie Wan (RS THIW) atau rumah sakit Tionghoa Semarang. Berbagai filantropi dan donatur pun siap untuk membiayai pembangunan tersebut. Tepat pada Minggu, 25 November 1951, RS THIW pun diresmikan dengan gedung yang besar dan megah untuk menampung pasien dari berbagai kalangan.
Enam tahun berselang setelah berdirinya RS THIW, tepatnya pada 8 Januari 1958, ketua pengurus THIW, The Sien Tjo, mengusulkan untuk pergantian nama rumah sakit. Alasannya adalah untuk menyesuaikan keadaan zaman. Meskipun usulan tersebut sempat tidak langsung disepakati, pada 4 Desember 1958 disepakati untuk pergantian nama. Tidak dapat dimungkiri, unsur Tionghoa terlalu kental pada nama rumah sakit tersebut sehingga beberapa pihak enggan datang berobat. Sejak saat itu Rumah Sakit Tiong Hoa Ie Wan resmi berganti menjadi Rumah Sakit Telogoredjo. (Litbang Kompas/DNG)
Data Buku
Judul: Karsa & Karya demi Kemanusiaan: Yayasan Kesehatan Telogorejo untuk Indonesia