Sebuah buku satire politik yang mengungkap gaya kepemimpinan serta tabiat para pemimpin diktator dunia.
Oleh
ARIEF NURRACHMAN
·4 menit baca
Kekuasaan yang besar sering kali membuat pemimpin lupa diri. Hilangnya kendali diri mengakibatkan perilaku otoriter dan sewenang-wenang yang pada akhirnya menjadikan dirinya seorang diktator. Pemimpin negara yang awalnya dipilih secara demokratis pun dapat mengarah pada gaya kepemimpinan otorier ketika memperluas kekuasaannya dan mempersempit kebebasan serta hak warganya.
Para pemimpin negara, seperti Kim Jong Un (Korea Utara), Moammar Khadafi (Libya), Idi Amin (Uganda), Robert Mugabe (Zimbabwe), dan Nursultan Nazarbayev (Kazakhstan) adalah nama-nama yang disebut menggunakan gaya diktator dalam kepemimpinannya. Mereka tak segan menekuk lawan-lawan politiknya dan menciptakan sistem hukum yang ada demi melanggengkan kekuasannya. Sekalipun menerapkan demokrasi, penerapannya hanya semu. Bahkan, oposisi mampu dikendalikan.
Mikal Hem, seorang jurnalis Norwegia, mengungkapkan beberapa gaya kepemimpinan diktator melalui tulisan satir politik dalam buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Kiat Menjadi Diktator: Pelajaran dari Para Pemimpin Edan (Marjin Kiri, 2023). Kendati judul asli buku ini telah diterbitkan beberapa tahun lalu, yaitu tahun 2012, judul tersebut tetap relevan dengan kondisi saat ini, yakni masih banyak pemimpin politik yang menggunakan ”kiat-kiat” seperti yang dijelaskan dalam buku ini.
Melanggengkan kekuasaan
Lalu, bagaimana caranya memenanginya? Hem mengambil contoh strategi yang dilakukan Nursultan Nazarbayev dalam pemilu di Kazakhstan. Nazarbayev menciptakan oposisi yang mampu dikendalikan.
Caranya, dia meminta putrinya, Dariga Nazarbayeva, untuk mendirikan partai oposisi Asar. Nazarbayeva tidak banyak bersuara soal kebijakan yang dikeluarkan ayahnya, bahkan pada akhirnya Partai Asar bergabung dengan Partai Otan, pengusung Nazarbayev.
Selain itu, Nazarbayeva juga memonopoli media untuk meredam pemberitaan yang menyoroti kecurangan pemilu. Dua upaya ini terbukti melanggengkan kekuasaan Nazarbayev selama hampir 30 tahun.
Kiat lain menjadi diktator yang masih dipraktikkan saat ini ialah mendapatkan dukungan luar negeri. Hem menjelaskan cara ampuh mendapatkan perhatian dan dukungan politik dari luar negeri, yaitu mengarang cerita bahwa rezim atau oposisi yang ditentang terlibat terorisme. Isu terorisme terbukti ampuh dalam pergantian pemerintahan di suatu negara, seperti yang terjadi di Komoro tahun 1978 dan di Irak yang terjadi pada masa Saddam Hussein tahun 2003.
Selain cara-cara ekstrem untuk memperluas kekuasaan, seperti melalui kudeta dan perang, Hem juga menjelaskan bahwa kebanyakan diktator yang sekarang berkuasa ternyata tidak perlu bersusah payah menjadi pemimpin negara. Mereka cukup mewarisi jabatan dari para orangtua yang juga diktator.
Beberapa di antaranya ialah Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev yang mengambil alih kekuasaan dari ayahnya, Heydar Aliyev, pada tahun 2003. Kondisi yang sama terjadi saat Bashar Assad menjadi Presiden Suriah ketika ayahnya, Hafez Assad, meninggal tahun 2000.
Lalu, di Gabon ada Ali Bongo Ondimba, yang menjadi presiden saat ayahnya, Omar Bongo, meninggal tahun 2009. Sementara di Togo, saat Presiden Togo Gnas-singbé Eyadéma meninggal pada 2005, putranya Faure Gnas-singbé dinobatkan sebagai penerus. Atas desakan negara-negara tetangga, Faure undur diri sebagai pemimpin sementara, dan kemudian terpilih sebagai presiden pada tahun yang sama dalam pemilu yang sangat curang.
Kekayaan tak terbatas
Hosni Mubarak dari Mesir, misalnya, menempatkan kedua putranya, Alaa dan Gamal, dalam beberapa bisnis strategis. Mubarak juga mengisi parlemen dengan para pebisnis. Hal ini menciptakan pertalian antara politik dan ekonomi yang memudahkan diktator Mesir itu menjalankan bisnisnya. Pada saat yang sama, para pebisnis utama mendapatkan keuntungan melalui pengaruh politik, keuntungan yang membuat Mubarak bisa mengharapkan balas jasa.
Tak cukup sampai di situ, Hem juga memberikan ”kiat” menyimpan kekayaan yang dikumpulkan tanpa terendus publik. Di antara mekanisme penyimpanannya ialah menyembunyikan uang pada bank-bank di Swiss atau di negara dengan regulasi banknya lemah.
Kemudian, praktik penyimpanan kekayaan melalui properti yang tersebar di belahan dunia juga jamak dilakukan para diktator. Atau bisa juga mengikuti praktik penyimpanan kekayaan yang dilakukan Emir Qatar dan keluarganya. Mereka banyak berinvestasi dalam benda-benda seni bernilai tinggi.
Hal unik lain yang juga diangkat Hem terkait kekayaan ini adalah cara-cara para diktator menggunakan kekayaannya. Beberapa diktator menghabiskan kekayaannya tidak melulu berupa materi, tetapi juga ada yang menghabiskan kekayaannya demi pengultusan dirinya dan pencitraan diri.
Di Korea Utara ada Kim Il Sung, dicitrakan sebagai orang Korea paling naif, penuh kasih sayang, spontan, dan ras Korea murni yang pernah dilahirkan. Propaganda ini terus dilakukan hingga masa kepemimpinan Kim Jong Un sekarang ini. Banyak anggaran negara yang digunakan demi membangun patung-patung dan foto untuk menampilkan sosoknya.
Lain lagi dengan di Turkmenistan. Presiden Saparmurat Atayevich Niyazov atau dikenal sebagai Turkmenbashi mewajibkan karya tulisannya bernama Kitab Jiwa (Rukhnama) menjadi bacaan wajib siswa-siswa dari sekolah dasar sampai mahasiswa di universitas. Kitab tersebut berisi sejarah bangsa Turkmenistan versi Turkmenbashi.
Masih ada hal lain yang juga diangkat oleh penulis terkait kebiasaan para pemimpin diktator, seperti menu makan, gaya berbusana, hingga hobi eksentrik lainnya. Publikasi ini menunjukkan kekuasaan absolut ternyata berimplikasi pada perilaku-perilaku aneh dan sering kali tidak masuk di akal. (Litbang Kompas)
Data Buku
Judul: Kiat Menjadi Diktator: Pelajaran dari Para Pemimpin Edan