Mencari Sosok ”Manusia Baru” Indonesia
Indonesia pascakolonialisme menghadapi masa transisi dari rezim kolonial yang represif menuju negara-banga yang mendorong rakyatnya untuk berdemokrasi. Para pemikir mulai membayangkan impian akan ”manusia baru”.
Mencari sebuah identitas baru dari sebuah bangsa adalah pekerjaan yang tiada hentinya. Kadangkala kita harus melihat jejak masa lalu untuk melihat dan mengenal sejauh mana karakteristik identitas suatu bangsa. Apalagi pencarian identitas baru tersebut sifatnya kompleks karena sulitnya melepaskan diri dari bayang-bayang kolonial dan feodalisme.
Latar belakang inilah yang juga dirasakan Indonesia, terutama pada masa transisi dari kolonialisme hingga masa kemerdekaan. Apalagi kolonialisme dan feodalisme telah lama bercokol di bumi Nusantara. Orang Eropa sudah datang ke Nusantara sejak abad ke-17 dan berkembang hingga menjadi negara kolonial Hindia Belanda. Begitu pun dengan feodalisme telah ada di Indonesia sejak zaman Hindu-Buddha.
Di sinilah pemikiran tentang ”manusia baru” mulai diperdebatkan oleh berbagai kalangan dan generasi. Buku yang berjudul ”Manusia Baru” Indonesia karya Rhoma Dwi Aria Yualiantri inilah yang memuat berdebatan tentang siapakah ”manusia baru” Indonesia? Menurut Rhoma, perdebatan ini berkembang karena adanya perbedaan pemikiran di mana setiap generasi memiliki pengalaman sejarah yang berbeda-beda.
Setidaknya terdapat dua generasi yang diteliti oleh Rhoma, yakni generasi 1928 dan generasi hibrid. Generasi 1928 adalah kelompok yang lahir pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Mereka ini terpengaruh oleh kebudayaan kolonial dalam waktu yang cukup lama dan merasakan masuknya pemikiran modern di awal abad ke-20.
Sementara generasi hibrid, menurut istilah Presiden Soekarno, adalah campuran dari ”generasi pendobrak” dan ”generasi pelaksana”. Mereka lahir ketika pemikiran modern sudah mulai berkembang di Indonesia dan hanya sebentar merasakan rezim kolonialisme karena di tahun 1942 Jepang berhasil mengusir Belanda.
Selain itu juga, Rhoma ingin mengisi kekosongan historiografi tentang konsep identitas ”manusia baru” dari berbagai golongan ideologi. Rhoma mengulas para tokoh, baik generasi 1928 maupun generasi hibrid, mulai dari yang berideologi nasionalisme, agama, hingga komunisme. Publikasi ini menempatkan sejarah sebagai sesuatu yang tidak dipandang secara hitam-putih, tetapi sebagai bagian dari pembentukan identitas bangsa.
”Manusia Baru”
Gagasan tentang ”manusia baru” sebenarnya berkembang tidak hanya di Indonesia, tetapi telah menjadi wacana global. Jika ditelusuri secara mendalam, konsep ”new man” tidak bisa dilepaskan dari peristiwa Revolusi Perancis dan ide-ide pada abad Pencerahan di Eropa. Di sinilah muncul beragam ideologi yang menempatkan tentang ciri-ciri manusia yang baru dan tidak terpengaruh oleh pemikiran abad pertengahan.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa istilah new man pertama kali muncul di Eropa dan di dunia perpolitikan pada tahun 1860. Gagasan ini muncul dari kelompok pemikir pada saat Revolusi Rusia tahun 1917. Saat itu kaum Bolsheviks, khususnya Vladimir Lenin yang merupakan pimpinan kelompok ini, menganggap bahwa Nikolay Chernyshevsky yang memelopori gagasan tersebut lewat bukunya yang berjudul What is to Be Done? The Story about the New Man (1861). Pada awal abad ke-20, gagasan ini kemudian dilengkapi oleh Maxim Gorky dalam novelnya yang berjudul Mother.
Kemudian, new man didefinisikan Chernyshevsky sebagai pemuda revolusioner yang mendedikasikan dirinya untuk revolusi. Di tahun 1870, kaum inteligensia di Rusia mendefinisikan new man sebagai kelompok petani yang memiliki moralitas tinggi. Vladimir Lenin pimpinan Revolusi Rusia 1917 menggunakan konsep new man ini untuk diadopsi pada Uni Soviet dan dipraktikkan dalam perpolitikannya. Namun, kaum terdidik Rusia mengalami kekecewaan setelah kaum petani malah bersikap acuh tak acuh terhadap revolusi.
Seiring dengan perkembangan zaman, definisi new man berubah kembali. Sejak saat itu new man dipahami sebagai mereka yang berasal dari elite intelektual muda, mampu dan memiliki kesadaran realitas historis dan memberi panduan untuk masa depan. Singkatnya, gagasan tentang new man ini adalah pemuda terpelajar yang memiliki sifat sebagai agen pembaru. Di era Perang Dingin, Uni Soviet menyempurnakan konsep tentang new man secara politik, yaitu untuk memunculkan jiwa kepahlawanan sebagai simbol keteladanan.
Melihat perubahan berkali-kali, definisi new man yang dilakukan oleh Uni Soviet memperlihatkan bahwa gagasan ini tidaklah tunggal, tergantung dari peristiwa apa yang terjadi. Menurut William Strauss & Neil Howe, suatu peristiwa yang terjadi pada sebuah zaman akan menghasilkan karakter generasi yang khas dan berbeda. Di Indonesia, konsep new man terus-menerus mengalami perdebatan sejak awal abad ke-20. Bahkan, setelah kemerdekaan, konsep ini terus mengalami perdebatan.
Perbedaan generasi
Konsep tentang ”manusia baru” atau new man di Indonesia muncul pada awal abad ke-20 seiring dengan berkembangnya politik etis. Pada saat itulah pemikiran-pemikiran modern masuk melalui akses pendidikan yang dibuka di Hindia Belanda. Oleh Robert van Niel, golongan yang sudah terpengaruh oleh pemikiran modern ini dianggap sebagai warga kelas modern atau elite modern. Takashi Shiraisi juga menganggap bahwa pribumi yang berpendidikan dapat distratifikasikan secara linguistik dengan bahasa Belanda yang umumnya dipakai pada jalur pendidikan Belanda.
Elite terdidik ini memiliki akses informasi yang terbuka mengenai gagasan nasionalisme, sosialisme, demokrasi, liberalisme, komunisme, dan lain sebagainya. Mereka jugalah generasi awal yang berkenalan dengan tokoh-tokoh intelektual seperti Moliere, Shakespeare, Marx, Jafferson, Goethe, dan Erasmus. Semuanya ini mereka dapatkan melalui proses pendidikan formal, bacaan buku-buku, brosur majalah, dan koran-koran.
Rhoma menempatkan para tokoh yang terpengaruh akan pemikiran-pemikiran dari Barat ini sebagai Generasi 1928. Generasi ini berpatokan pada peristiwa Sumpah Pemuda pada Oktober 1928. Alasannya karena peristiwa tersebut juga terilhami oleh pemikiran modern dan semangat nasionalisme. Maka, Rhoma menyebut bahwa generasi ini mewacanakan dalam situasi alam terjajah atau ”dikuasai”. Mereka berpikir sebagai seseorang yang berani untuk mendobrak kekuasaan kolonialisme.
Namun, para tokoh dari Generasi 1928 memiliki titik tolaknya masing-masing apabila menjelaskan tentang ”manusia baru” Indonesia. Contohnya Tjipto Mangoenkoesoemo meyakini bahwa ”manusia baru” Indonesia ada ketika sudah mulai muncul akan kesadaran dan kebangkitan moral masyarakat. Marco Kartodikromo menekankan bahwa ”manusia baru” Indonesia adalah seseorang yang bukan berdasarkan etnisitas, melainkan ditentukan oleh kepandaian dan ilmu pengetahuan.
Sementara generasi kedua adalah Generasi Hibrid, yaitu mereka yang lahir di zaman kolonial, besar dan merasakan pendudukan Jepang, dan akhirnya ikut membangun republik yang merdeka. Berbeda dengan Geneasi 1928, Generasi Hibrid lebih kepada wacana akan alam kemerdekaan atau ”menguasai”. Mereka memperjuangkan gagasan untuk membentuk dan membangun negara Indonesia yang merdeka.
Ada beberapa faktor yang membuat Generasi Hibrid mengubah wacana dari bangsa yang ”dikuasai” menjadi bangsa yang ”menguasai”. Penyebab utamanya adalah kedatangan Jepang ke Hindia dan berhasil mengusir Belanda. Ini menunjukkan adanya semangat Pan-Asianisme, di mana masyarakat bangsa Asia mampu berdiri sejajar dengan bangsa Barat. Maka, sejak kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, para tokoh Generasi Hibrid mulai berpikir untuk menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri.
Selama pendudukan Jepang, para Generasi 1928 juga menjadi agen propaganda lewat berbagai saluran, seperti media, aktivitas di dalam kebudayaan, dan lain sebagainya. Sementara Generasi Hibrid adalah orang-orang yang menerima propaganda tersebut. Maka, Generasi Hibrid mempresentasikan ”manusia baru” Indonesia sebagai seseorang yang berdemokrasi modern sebagai pilar dalam membangun negara dielaborasikan dengan sosialisme, demokrasi, komunisme, nasionalisme, dan berosmosis dengan pola-pola warisan kolonial dan warisan lokal.
Maka, tidak mengherankan ketika Indonesia yang baru terbentuk tersebut memiliki aneka ragam ideologi. Banyak tokoh ingin menerapkan gagasannya masing-masing yang dirasa cocok dengan Indonesia. Namun, Pancasila yang disepakati sebagai dasar negara Indonesia ditempatkan menjadi bagian dalam kehidupan bernegara. Pancasila dianggap sebagai way of life, di mana setiap tindakan dan hidup berbangsa ”manusia baru” Indonesia harus bercirikan pada Pancasila.(Litbang Kompas)
Data Buku
Judul: ”Manusia Baru” Indonesia
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yualiantri
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2023
Jumlah halaman: xx + 284 halaman
ISBN: 978-623-346-907-4