Menjadi Ibu, Menjadi Petarung Kehidupan
Menjadi seorang ibu adalah sebuah keistimewaan yang tak semua orang dapat meraihnya dengan mudah. Meutya Hafid, Ketua Komisi I DPR, melewati 10 kali percobaan bayi tabung dan 3 kali keguguran untuk mendapatkan Lyora.
Halaman muka buku berjudul Lyora: Keajaiban yang Dinanti.
Bayi tabung, yang secara ilmiah dikenal sebagai fertilisasi in vitro (IVF), telah menjadi salah satu terobosan medis paling revolusioner dalam dunia reproduksi manusia. Dalam proses ini, sel telur dan sperma dipertemukan di luar tubuh wanita, membentuk embrio yang kemudian ditanamkan kembali ke rahim untuk pertumbuhan selanjutnya.
Terobosan ini menjadi harapan bagi banyak pasangan yang mengalami kesulitan untuk memiliki anak secara alami. Meskipun melibatkan tantangan fisik dan emosional, prosedur bayi tabung menjadi pilihan inovatif yang memberikan peluang baru untuk mewujudkan impian mereka memiliki anak.
Fenty Effendy dalam bukunya berjudul Lyora: Keajaiban yang Dinanti (Penerbit Buku Kompas, 2023) menuturkan kisah perjuangan suami-istri, rekan karibnya, Meutya Hafid dan Noer Fajrieansyah, melalui proses demi proses bayi tabung dalam mendapatkan keajaiban mereka, sang buah hati, Lyora. Mengawali perjuangannya pada usia 37 tahun, Meutya dan Fadjrie harus melalui 7 tahun penuh naik turun, hingga akhirnya setelah 10 kali percobaan dan 3 kali keguguran, mereka berhasil mendapatkan buah hati, tepat di usia Meutya 44 tahun. Bukan usia yang muda untuk mendapatkan buah hati pertama.
Dalam buku setebal 166 halaman, Fenty Effendy dengan gaya penulisannya yang mengalir mampu membuat pembaca terhanyut dalam emosi yang campur aduk. Membacanya seperti mengarungi roller coaster, layaknya menjadi pemeran utamanya, Meutya. Tak hanya itu, dengan adanya tambahan penjelasan dari dokter Ivan R Sini dari Morula IVF yang mendampingi Meutya sejak awal hingga mendapatkan Lyora, seakan mengajak pembaca menyelami lebih dalam mengenai serangkaian teknologi bayi tabung yang tak melulu soal science, tetapi juga keajaiban.
Fenty Effendy dengan segudang karya buku biografinya seakan menjadi sosok yang tepat untuk mengemas kisah Meutya. Terlebih, Meutya sejatinya adalah rekan dekatnya sendiri. Menuturkan kisahnya menjadi sangat valid dan dekat karena Fenty adalah salah satu saksi hidup di dalamnya. Karya yang ditujukan sebagai salah satu sumber inspirasi para pejuang dua garis biru ini, dikemas Fenty dengan tak biasa. Bubuhan tulisan penyemangat yang ditulis sendiri oleh Meutya di akhir bab menjelma menjadi nyawa dari inspirasi itu sendiri. Sementara tambahan beberapa halaman dari dokter yang mendampingi Meutya dalam perjalanannya menjadi sumber literasi yang meskipun singkat, tetapi padat ilmu. Kombinasi yang lengkap antara sumber literasi dan inspirasi.
Keteguhan ikhtiar
Sosok Meutya Hafid sejatinya memang pribadi yang tangguh. Meutya pernah menjadi jurnalis yang disandera selama 168 jam oleh kelompok perlawanan di Irak ketika ia diminta meliput pemilu di Irak setelah Saddam Husein tumbang di awal tahun 2005. Meutya Bersama Budiyanto, juru kamera (kini Pemimpin Redaksi Metro TV) dijebloskan ke dalam goa di padang pasir tanpa nama karena dicurigai sebagai mata-mata atau tentara bayaran. Kala itu belum genap setahun, ia kehilangan ayahnya. Tahun yang berat bagi Meutya, tetapi dengan ketangguhannya, ia mampu melewati itu semua.
Dengan bekal ketangguhannya ini, Meutya menjalani hari demi hari, tahun demi tahun, percobaan demi percobaan bayi tabung demi mendapatkan Lyora. Meskipun kiprahnya sebagai jurnalis dan sekarang politisi terdengar gahar, tetapi siapa sangka Meutya sesungguhnya takut akan jarum suntik. Padahal, bagi para pejuang bayi tabung, jarum suntik adalah makanan sehari-hari. Penyuntikan hormon sebanyak 4 kali tiap pukul 7 malam, diikuti dengan pengecekan oleh dokter, lalu dilanjutkan penyuntikan hormon kembali sebanyak 4 kali menjadi langkah awal pada program bayi tabung.
Seiring berjalannya waktu, dari percobaan bayi tabungnya yang pertama hingga ke-10, Meutya mampu menaklukkan ketakutannya akan jarum suntik. Puncaknya, Meutya mampu menyuntikkan suntikan hormon itu sendiri ke dalam tubuhnya.
Meutya mampu melewati masa-masa terpuruknya ketika harus kehilangan janin yang ada di rahimnya sebanyak 3 kali. Semangatnya sempat patah. Bahkan ia harus menerima fakta bahwa ia adalah 1 dari 1 persen orang di dunia yang mengalami keguguran berturut-turut hingga ketiga kalinya. Dari miliaran orang di Bumi, ia mempertanyakan mengapa harus dia yang mengalami kemalangan yang langka ini.
Meutya juga harus menerima kehilangan yang teramat dalam, yaitu kehilangan ibunya. Padahal, impiannya untuk memberikan cucu bagi ibunya adalah salah satu motivasi besarnya untuk berjuang. Lagi-lagi berkat keteguhan ikhtiarnya, ia mampu bangkit lagi, untuk mencoba lagi, seolah menengadahkan kepala menunjukkan kebulatan tekadnya untuk memiliki buah hati.
”Support system”
Faktor terpenting dari kegigihan Meutya mendapatkan Lyora adalah adanya support system yang mumpuni. Mulai dari lingkaran terdekatnya, yaitu suami dan keluarga inti, hingga ke teman dekat, lingkungan pekerjaan, serta atasan Meutya selama menjabat.
Suami Meutya, Noor Fajrieansyah, meyakini dan mendukung apa pun keputusan Meutya dalam memiliki anak. Fajrie menjadi saksi betapa sulit dan sakitnya perjuangan Meutya sehingga alih-alih menuntutnya, Fajrie justru dengan sangat hati-hati menjaga Meutya. Sang suami menjaga fisik hingga mental Meutya dengan menjaga tutur kata hingga sikapnya. Setiap jarum suntik yang masuk ke tubuh Meutya, baik suntikan hormon, pengencer darah, maupun infus obat cair, semuanya menyakitkan dan menimbulkan efek berat. Fajrie paham betul bahwa istrinya memikul beban yang sangat berat.
Sosok yang tak kalah penting dalam perjalanan Meutya adalah ibunya. Ketika terpuruk, Meutya bahkan tidak ingin dihibur siapa pun. Ia menutup dirinya di dalam kamar selama 2 minggu. Dalam kondisi seperti ini, peran ibunya hadir. Sang ibu hadir dalam wujud pengertiannya, bahwa putrinya sedang tidak ingin ditemui siapa pun, termasuk dirinya. Oleh karena itu, bahasa kasihnya ia hadirkan lewat kiriman makanan kesukaan Meutya. Ada masanya, ketika mengurung diri, makanan seolah menjadi pelampiasannya.
Sebagai perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua Komisi di DPR pasca-reformasi, Meutya dihadapkan dengan dominasi laki-laki di lingkungan kerjanya. Namun, justru sikap suportif ditunjukkan lingkungan kerja serta atasan yang menjabat kala itu. Ketika hamil, Meutya lebih dikhawatirkan dan juga dilindungi. Dalam rapat-rapat panas yang penuh argumen, rekan kerjanya tak segan untuk mengingatkan peserta rapat bahwa Meutya sedang hamil. Oleh karena itu, debat panas tersebut bisa sedikit didinginkan. Masih banyak hal lain, yang turut membuat ekosistem suportif bagi perjuangan Meutya mendapatkan buah hatinya yang terangkum secara menarik di buku ini.
Keteguhan ikhtiar Meutya dan Fajrie, serta support system yang mumpuni, menjadi faktor fundamental mengarungi perjalanan menemukan keajaiban, yaitu Lyora. Dokumentasi visual sepanjang perjalanan Meutya mendapatkan Lyora menambahkan dimensi lain bagi pembaca buku ini. Lyora: Keajaiban yang Dinanti menjadi salah satu buku paling emosional dari sekian banyak karya Fenty Effendy. (Litbang Kompas/KIK)
DATA BUKU
Judul: Lyora: Keajaiban yang Dinanti
Penulis: Fenty Effendy
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2023
Jumlah halaman: XVI+166 halaman
ISBN: 978-623-160-154-4