
Sejak Indonesia memasuki masa Reformasi, Pemerintah Indonesia kian memiliki kedekatan dengan ”Negeri Tirai Bambu”. Ini ditandai dengan diizinkannya kembali perayaan Imlek dan terbukanya akses komunitas Tionghoa sejak zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Sejak saat itu pemerintahan selanjutnya menjalin relasi yang lebih luas, baik di bidang perdagangan, budaya, maupun pendidikan dengan China.
Hubungan dengan China semakin erat di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Salah satu contoh adanya kesepakatan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung antara Indonesia dan China. Tidak hanya itu saja, beberapa pengusaha asal China kian dipermudah berinvestasi untuk kemajuan ekonomi Indonesia.
Kondisi ini ternyata tidak hanya berkembang di Indonesia saja, tetapi juga secara global. Kini China menjadi salah satu negara yang perekonomiannya disegani di dunia, bahkan hampir setara dengan Amerika Serikat. Fenomena ini dikenal sebagai kebangkitan China, dan menjadikannya salah satu negara adi daya.
Namun perubahan zaman tidak lantas membebaskan komunitas Tionghoa pada kondisi dilema. Sejak zaman kolonial hingga Orde Baru, komunitas Tionghoa mengalami diskriminasi, bahkan dianggap sebagai bukan warga asli Indonesia. Sentimen terhadap Tionghoa masih terus terjadi, seperti pada peristiwa 1998 dan Pilkada DKI Jakarta 2017. Lalu, bagaimanakah generasi Tionghoa saat ini menempatkan identitas dirinya?
Isu identitas itu yang menjadi permasalahan utama pembahasan dalam buku Identitas Etnik Tionghoa di Tengah Arus Demokratisasi dan Globalisasi (PBK, 2023). Publikasi ini hasil kajian riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Mereka mencoba melakukan survei terhadap komunitas Tionghoa di Provinsi DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara untuk mengetahui pandangan mereka dalam melihat fenomena kebangkitan China dengan dihadapkan pada arus demokrasi Indonesia.
Publikasi ini sangat relevan bagi perkembangan studi etnik di Indonesia. Apalagi melihat bagaimana generasi komunitas Tionghoa di Indonesia saat ini didominasi anak-anak muda yang tidak mengalami secara langsung diskriminasi pada masa Orde Baru. Mereka adalah generasi yang mau berdamai dengan masa lalu dan menempatkan dirinya sebagai nasionalis Indonesia.
Namun perubahan zaman tidak lantas membebaskan komunitas Tionghoa pada kondisi dilema.
Diaspora Tionghoa
Meningkatnya pengaruh global China tidak serta-merta diterima kalangan umum. Mengutip Charlotte Setijadi, yang dimuat di dalam buku ini, ia mengatakan bahwa meningkatnya persepsi negatif publik terhadap China hampir selalu berujung pada meningkatnya kecurigaan terhadap etnik Tionghoa. Akibatnya hubungan ekonomi Indonesia-China yang masif, yang tidak diimbangi oleh cara pandang yang benar mengenai etnik Tionghoa, berpotensi memunculkan stereotipe negatif.
Bagi orang Indonesia yang masih berpandangan diskriminatif menganggap bahwa pengaruh China yang besar juga berdampak pada besarnya pengaruh komunitas Tionghoa di Indonesia. Apalagi di era globalisasi muncul kesadaran baru yang mengarah pada pandangan sudah tidak relevan lagi batas-batas antarnegara. Hal ini memunculkan ketakutan bahwa komunitas Tionghoa semakin menguasai ekonomi Indonesia.
Situasi ini juga berkembang setelah China memperkenalkan bentuk strategi kerja sama kawasan Belt and Road Initiative (BRI), suatu megaproyek pembangunan infrastruktur dan keterhubungan antarnegara. Belt and Road Initiative dianggap sebagai strategi China mencapai kepentingan geopolitik dan geoekonomi di tingkat global dan memperluas pengaruh di sebuah kawasan.
Pada sisi lain, China yang merupakan ”negara asal” komunitas Tionghoa memanfaatkan kemudahan keterhubungan dalam globalisasi ini untuk menjalin kedekatan dengan diaspora etnik Tionghoa. Pemerintah China menggunakan ideologi nasionalisme etnik untuk membuat diaspora Tionghoa yang ada di negara lain tertarik terlibat dalam proyek-proyek.
Presiden Xi Jinping dalam pidatonya pada perayaan nasional Tiongkok, 1 Oktober 2019, menyatakan bahwa putra dan putri bangsa Tionghoa di dalam dan luar negeri dapat berkontribusi membangun tanah air China. Pada pernyataan Presiden Xi Jinping tersirat ada kebutuhan akan sumber daya bukan hanya dari orang China yang tinggal di dalam negeri sendiri, melainkan juga warga keturunan Tionghoa yang menyebar di seluruh dunia untuk membangun China.
Diaspora Tionghoa di seluruh dunia menjadi kekuatan penting dalam pertukaran budaya, kerja sama ekonomi, dan perdagangan antara China dan negara-negara lain. Partisipasi diaspora Tionghoa dapat digunakan untuk membangun kepercayaan politik untuk mempromosikan kerja sama BRI. Dengan demikian, diaspora yang akan memperkuat diplomasi publik China.
Menguatnya relasi antara Indonesia dan China ternyata tidak membuat komunitas Tionghoa menjadi superior. Mereka beranggapan bahwa China hanya sebagai ”negeri leluhur” karena takdir ini tidak bisa diubah.
Generasi baru
Pengaruh geopolitik dan geoekonomi China yang besar disambut baik komunitas Tionghoa. Dalam survei yang dilakukan BRIN, yang dimuat di dalam buku ini, dilaporkan bahwa 68,2 persen komunitas Tionghoa menyambut baik banyaknya investasi China di Indonesia. Bahkan, terkait proyek BRI hampir separuh dari total responden Tionghoa, yakni 48,6 persen, cenderung positif. Mereka menganggap proyek BRI dan China membawa manfaat, baik bagi komunitas Tionghoa dan Indonesia.
Menguatnya relasi antara Indonesia dan China ternyata tidak membuat komunitas Tionghoa menjadi superior. Mereka beranggapan bahwa China hanya sebagai ”negeri leluhur” karena takdir ini tidak bisa diubah. Justru komunitas Tionghoa menganggap dirinya sebagai orang Indonesia. Alasannya adalah mereka lahir dan besar di Indonesia serta tidak memiliki lagi hubungan keluarga dengan negara China.
Pemikiran ini juga selaras dengan situasi komunitas Tionghoa di Indonesia. Pada masa Orde Baru mereka diharuskan berasimilasi secara paksa untuk menjadi pribumi Indonesia. Oleh karena itu, banyak dari orang Tionghoa yang berganti nama menjadi nama Indonesia. Tiga pilar kebudayaan Tionghoa, mulai dari sekolah, media massa, hingga agama, dilarang. Mereka pada akhirnya terputus dengan negeri Tiongkok.
Kini orang Tionghoa menganalogikan dirinya sebagai Tionghoa-Indonesia atau juga merujuk pada penyebutan daerah asalnya, seperti Tionghoa Semarang dan Tionghoa Singkawang. Selain itu, mereka juga sudah tidak mahir lagi dalam bahasa Mandarin karena sudah tidak diajarkan lagi. Mereka yang mulai belajar bahasa Mandarin lagi biasanya termotivasi untuk digunakan pada pengembangan profesinya.
Ada hal yang menarik juga yang diulas dalam buku ini, ketika ada orang Tionghoa Indonesia yang berkunjung ke negeri China. Mereka beranggapan ketika orang Tionghoa pulang ke ”rumah”-nya, mereka dapat menyesuaikan diri dengan mudah. Nyatanya, ketika di China mereka tidak lagi menjadi orang Tionghoa seratus persen. Mulai dari makanan, bahasa, hingga kebudayaan orang China ternyata tidak bisa diterima orang Tionghoa-Indonesia. Mereka lebih nyaman apabila di Indonesia saja.
Ini menunjukkan bahwa meskipun pengaruh China besar di Indonesia, identitasnya tetaplah merah putih. Mereka menganggap China hanya sebagai bagian dari sejarah nenek moyangnya, tetapi masa depan mereka adalah Indonesia. Sudah banyak generasi baru Tionghoa kini yang berkarya dan memajukan Indonesia. Meskipun di tengah globalisasi identitas mereka adalah 100 persen Indonesia dan 100 persen Tionghoa. (Martinus Danang PW/Litbang Kompas)
Info Buku
Judul: Identitas Etnik Tionghoa di Tengah Arus Demokratisasi dan Globalisasi
Penulis: Asvi Warman Adam, dkk
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit: Cetakan I, 2023
Tebal Buku: viii + 276 halaman
ISBN: 978-623-346-908-1