Merayakan Pemikiran dan Pencarian Tak Berujung Riwanto Tirtosudarmo
Nasionalisme itu sesuatu yang bergerak. Pancasila harus dilihat cakrawala yang indah, bukan fondasi di kaki kita. Cakrawala berbeda dengan langit yang harus dilihat dengan mendongak dan melelahkan.
Oleh
WIJANARTO
·6 menit baca
YOHANES KRISNAWAN
-
Nama Riwanto Tirtosudarmo dikenal sebagai intelektual organik yang mendalami bidang demografi politik Indonesia yang pertama. Capaiannya sebagai intelektual melintas batas tak sekadar persoalan demografi politik. Belakangan ia menginisiasi perjamuan intelektual melalui ruang daring (webinar) bersama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, sejak September 2021. Wadah itu yang kemudian disebut Esthi Susanti Hudiono sebagai komunitas epistemik untuk Indonesia.
Kajian dalam diskusi daring itu menghadirkan topik soal demografi, migrasi, pandemi, keragaman, hingga masyarakat adat dan marjinal. Terakhir Riwanto banyak melakukan amatan soal masyarakat adat, tradisi lokal di wilayah pantura. Pendeknya, tak ada garis batas melakukan kategorisasi minat Riwanto sebagai intelektual. Ini bisa disimak dari publikasi terakhirnya mendokumentasikan apa dan siapa tokoh-tokoh Indonesia dalam buku Mencari Indonesia hingga empat jilid serta beberapa publikasi yang berserak di jurnal dan media daring tentang spiritualisme lokal. Selain itu, ia juga menulis puisi sebagai wahana ekspresi.
Passion-nya terhadap nasionalisme dan spiritualisme lokal adalah benang merah yang banyak dibicarakan dalam ceramah ataupun publikasi karyanya. Jargon dan pemahaman ihwal nasionalisme bagi Riwanto bukanlah segegap gempita dan seheroik pada umumnya. Sebaliknya, ia memandang nasionalisme sangat rileks, seperti yang ia tuturkan dalam wawancara Kompas pada 17 Juni 2006 dan dimuat kembali di buku ini.
Nasionalisme itu sesuatu yang bergerak. Pancasila harus dilihat cakrawala yang indah, bukan fondasi di kaki kita.
Konsep lama tentang nasionalisme perlu diredefinisi seperti soal kedatangan ekonomi. Dari sudut ekonomi, kita tak mungkin melepaskan diri dari perusahaan multinasional. Martabat sebagai orang Indonesia harus naik dan itu terjadi kalau kesejahteraan juga naik. Nasionalisme itu sesuatu yang bergerak. Pancasila harus dilihat cakrawala yang indah, bukan fondasi di kaki kita. Cakrawala berbeda dengan langit yang harus dilihat dengan mendongak dan melelahkan (hlm 81-82).
Wajar jika Riwanto memandang nasionalisme bukan sesuatu yang dipandang dari sisi ideologis, tetapi cair dan dinamis. Termasuk saat ia menulis empat jilid buku Mencari Indonesia. Pengakuan Riwanto, diksi tersebut semacam metafor untuk mengimajinasi sebuah tempat, sebuah keadaan, dan mungkin juga sebuah harapan atau cita-cita.
Pengetahuan Riwanto yang berlatar belakang pakar demografi politik tentu memperkuat analisisnya soal nasionalisme dan nilai-nilai keindonesiaan. Seperti prolog Ahmad Najib Burhani, buku ini mencuatkan perspektif keilmuan yang dikembangkan Riwanto yang tidak hanya berbicara persoalan populasi kependudukan, tetapi menjangkau dimensi sosial politik yang lebih kompleks, seperti agama, ideologi, keindonesiaan dan nasionalisme, multikulturalisme, toleransi, dan kewargaan (hlm ix).
Jangkauan minat keilmuan Riwanto yang luas disadari dari empatinya pada dinamika ilmu-ilmu sosial sejak ia menjadi cantrik di fakultas psikologi hingga kuliah filsafat Fuad Hasan, Mohammad Rasyidi, dan Slamet Iman Santoso. Penjelajahan nilai-nilai intelektual Riwanto dipaparkan dalam biografi Aku dan TransformasiItu, di mana ia membagi pembabakan dinamika perkembangan itu menggunakan tonggak tempat. Mulai dari Tanjong Anom, Magelang; Pekauman, Tegal; Jatipadang-Salemba; hingga Australian National University.
Pengetahuan Riwanto yang berlatar belakang pakar demografi politik tentu memperkuat analisisnya soal nasionalisme dan nilai-nilai keindonesiaan.
Dilahirkan di Kampung Pekauman, Tegal, Riwanto menjelajah tanpa batas dan mencecap dahaga ilmu, hingga pada akhirnya ia menyebut sebagai pencarian tak berujung, yang ia namakan sebagai a constant spiritual journey, khususnya soal lelaku spiritual kejawen (hlm 72). Hal ini ia tegaskan dalam beberapa opininya. Di antaranya, artikel ”Saya dan Sumarah” (Borobudurwriters.id, 2022). Kalimat penutupnya menarik untuk kita simak, pada artikel yang sama, ”…kita sebetulnya tidak tahu apa-apa, jalani saja hidup ini ikuti proses yang terjadi, tidak perlu mengharapkan hasil apa-apa. Sebuah cara mengelola hidup yang sesungguhnya tidak mudah, dan memang diperlukan latihan yang tidak mungkin sebentar, bahkan barangkali seumur hidup, untuk bisa menghayati dan memahaminya”.
Merayakan pemikiran
Penyusunan buku ini sebagaimana diakui editornya menjadi festschrift bagi Riwanto yang telah menapaki kehidupan hingga 70 tahun. Buku ini tidak sebatas biografi Riwanto Tirtosudarmo, meski terdapat beberapa halaman, pembaca akan diajak untuk mengetahui memori singkat Riwanto yang ditulisnya hingga tonggak-tonggak pencapaian kepakarannya. Selebihnya ada 24 penulis ikut serta merayakan peta pemikiran Riwanto dari berbagai kalangan yang semuanya merupakan koleganya baik di LIPI (sekarang BRIN) maupun akademis lainnya, serta aktivis.
Festschrift yang diserap dari bahasa Jerman merupakan istilah yang merujuk tulisan perayaan. Gagasannya terbetik dari hasil acara webinar yang mengambil topik bahasan ”Perubahan Sosial Budaya Pascareformasi” yang menghadirkan 24 narasumber dan peserta lainnya yang konon mencapai 300 peserta di jalur Zoom meeting.
Publikasi ini layaknya bibliografis peta pemikiran Riwanto yang banyak menginspirasi generasi lainnya. Salah satunya Wahyu Susilo, sejarawan cum aktivis Migrant Care, yang mengakui pengaruh pemikirannya. Ia menggaungkan pujian itu pada awal pembuka tulisan, ”Pak Riwanto (demikian saya biasa memanggilnya) merupakan sedikit akademisi yang bersedia terlibat dalam advokasi pekerja migran Indonesia, di kala sebagian besar akademisi hanya berkutat perkara pull and push factor jika diminta pemikiran mengenai seluk beluk perkara migrasi tenaga kerja… beliau selalu mengaitkan perkara migrasi tenaga kerja dengan aspek historis” (hlm 151).
Tema lainnya adalah soal keyakinan agama lokal yang dinamakan penghayat kepercayaan. Soal agama dan spiritualitas menjadi bahasan yang dikaji Riwanto. Artikel Ahmad Najib Burhani dan M Nur Prabowo soal ”Pasang Surut Relasi Agama dan Negara: Kasus Penghayat Kepercayaan” mengupas soal diskriminasi kebijakan agama khususnya terhadap pemeluk kepercayaan melalui pencermatan sejumlah kebijakan pelayanan administrasi kependudukan. Apa yang disebut Riwanto soal agama yang menjadi politik, maka orang memilih agama tidak lagi karena keyakinan, tetapi karena pertimbangan politik untuk tidak dipersekusi oleh kelompok lain (hlm 231).
Senada tentang persoalan agama, modernitas dan konstruksi identitas, penulis kelahiran Perancis yang menetap di Bali, Jean Couteau, mengupas sejumlah tantangan toleransi di ”Pulau Dewata”, Bali, dari perspektif analisis sosiohistoris. Pada kesimpulan soal permasalahan yang ia sodorkan, bahwa kesadaran identitas Hindu Bali kian mengemuka dilarutkan dan dilunakkan dalam euforia pariwisata serta masalah yang timbul dari hubungan antarkelompok, gabungan ideologi nasional (Pancasila), kepentingan borjuis lokal, dan tradisi rakyat kecil turut mempertahankan secara signifikan tradisi toleransi nasional di tanah Bali (hlm 215).
Pecarian yang terus dilakukannya membuat ia pada kondisi suwung hening, seperti ditorehkan dalam lirik puitisnya.
Menyimak keseluruhan tulisan dalam perayaan pemikiran Riwanto Tirtosudarmo ini, ada yang menggelitik dari kegelisahan Riwanto yang pada akhirnya menemukan sumbu kehidupan akar tradisi lokal yang kemudian ia sebut sebagai local knowledge, pemantik bagi pembuatan kebijakan. Menelusuri lorong-lorong pengetahuan lokal dan menggapai kebebasan, di mana ia menyatakan sebagai subyek yang bebas, subyek yang bisa melakukan pilihan-pilihan dalam hidup. Pencarian yang terus dilakukannya membuat ia pada kondisi suwung hening, seperti ditorehkan dalam lirik puitisnya.
Aku pengembara yang lelah terduduk
Terpekur di tikar yang terhampar
di depanku
Mendaki gunung menuruni lembah belum
Kutemukan apa yang kucari
Hening yang kosong, kosong
yang hening
Alam yang suwung
Wijanarto, Tinggal di Brebes; Bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes
Info Buku
Judul buku: Riwanto Tirtosudarmo dan Nasionalisme yang Lebih Rileks, Festschrift 70 Tahun Demografer Politik Pertama Indonesia