
Menit-menit yang bergerak, Muhidin M Dahlan bertemu dan bercakap dengan orang-orang. Bertemu pula buku-buku. Yang tampak adalah manusia yang pasang-surut nasibnya. Perhatian atas nasib bertaut buku. Pertemuan untuk manusia dan bacaan yang mengungkap masa lalu. Mereka yang berbuku, yang masa lalunya seru.
Pengenalan, pertemuan, atau kebersamaan menghasilkan tulisan-tulisan. Yang ditulis berbekal ingatan-ingatan, dibahasakan dengan keakraban dan ”kelucuan”. Muhidin M Dahlan memberi kita tulisan-tulisan yang mudah mencipta tawa dan air mata. Ia tak sedang membual, tetapi ”mendramakan” tokoh-tokoh dalam lakon perbukuan di Indonesia, terutama di Yogyakarta.
Buku tidak memuat halaman yang berisi daftar pustaka. Ingat, buku yang disuguhkan kepada kita bukan buku berasal dari tesis atau disertasi. Muhidin mengenalkan dan ”mendatangkan” orang-orang perbukuan melalui tulisan-tulisan pendek, belum dimaksudkan nanti kebablasan menjadi biografi. Yang diceritakan cuma penggalan-penggalan. Kita yang membaca mengerti sedikit atau secuil, tetapi mengesankan.
Di setiap tulisan, Muhidin sengaja memberi julukan atau sebutan yang ”mengejutkan”, taktik agar pembaca mengangguk dan bermufakat, setelah penjelasan dan sejumput argumentasi.
Di setiap tulisan, Muhidin sengaja memberi julukan atau sebutan yang ”mengejutkan”, taktik agar pembaca mengangguk dan bermufakat, setelah penjelasan dan sejumput argumentasi. Julukan mentereng diberikan Muhidin untuk Adhe Ma’ruf: ”wahabinya buku Jogja”. Kita yang pernah ribut dan lelah memikirkan paham-paham keagamaan mendapat kejutan saat digunakan dalam membahas perbukuan. Itulah cara Muhidin menghormati teman dan berkelakar yang kadang keterlaluan. Kita mengetahui Adhe adalah pendiri penerbit Jendela dan Octopus. Yang teringat bagi para kolektor buku tentu Jendela.
Tokoh diajukan lagi bernama Astuti Ananta Toer. Muhidin memanggilnya Bu Besar. Sosok yang meneruskan misi besar menerbitkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Para pembaca ingat nama penerbit: Lentera Dipantara. Dulunya, orang-orang mencari buku-buku Pram yang terbitan Hasta Mitra. Pada masa berbeda, Pram dan Lentera Dipantara itu manunggal. Bu Besar dalam percakapan bersama Muhidin mengucap enteng, ”Pembajakan merajalela.” Buku-buku Pram telanjur sering dibajak sejak puluhan tahun lalu. Ia cuma bilang tetap percaya orang-orang ”mencari buku-buku asli untuk dipajang di rak terdepan”.
Orang-orang yang menggerakkan nasib bersama buku. Di halaman-halaman selanjutnya, kita bertemu tokoh-tokoh lain. Mereka itu memikat, tambah memikat saat diceritakan Muhidin menggunakan kata-kata yang berasal dari tuturan atau percakapan. Kita yang membaca sambil minum teh dan makan gorengan bisa bermasalah saat sering tertawa atau maki-maki. Mata pun tiba-tiba menangis jika mendapat babak-babak kenestapaan tokoh-tokoh yang diceritakan.
Kini, saatnya kita mempertemukan ingatan yang ditulis Muhidin dengan sumber-sumber berbeda. Bukan bermaksud menuntut agar ada penambahan isi atau jumlah halaman. Buku sudah terbit, kita membacanya saja sambil mencari buku atau majalah yang ikut membahas tokoh yang disebut ”teman”. Kita jangan bertambah lelah dengan mencari tokoh yang ”belum teman” dan ”bukan teman”.
Kita jangan bertambah lelah dengan mencari tokoh yang ”belum teman” dan ”bukan teman”.
Kita ingin ”makin” mengenali tokoh dengan kesibukan tambahan mencari sumber-sumber. ”Di SMP dan SMA, menggambar bagan-bagan tumbuh-tumbuhan, bagan manusia, dan anatomi dalam pelajaran ilmu hayat di papan tulis menjadi tugas rutin Ong,” kalimat terbaca dalam majalah Concept edisi 12, 2006. Tujuh halaman membahas Ong Hari Wahyu.
Kalimat yang cukup membantu saat kita membaca tulisan Muhidin mengenai Ong yang disebutnya ”sang legenda dalam seni rupa buku”. Penghormatan yang besar diberikan atas pengabdian dan gairah Ong dalam perbukuan. Muhidin menulis: ”Mesti diakui, garis dan visi visual Ong telah memberi warna dengan cukup tebal pada sejarah artistik buku di Yogyakarta yang membedakannya dengan penerbit-penerbit di luar lingkar kota tua ini”. Tulisan yang singkat penuh pujian-pujian. Kita melengkapinya dengan omongan Ong diikuti dalam Concept, yang mengena dan terang: ”Cover buku bukan sekadar pelindung atau penghias, namun lebih pada interpretasi”.
Muhidin memang berteman dengan yang tua-tua, tidak hanya sebaya atau usianya lebih muda. Ong anggaplah tua. Jadi, Muhidin saat menceritakannya tidak perlu kocak atau ”mengejek”. Yang tua ada lagi bernama Halim HD. Dulunya, ia bertumbuh di Yogyakarta berlanjut mengembara ke sejumlah kota. Kini, ia sering berada di Solo. Muhidin mengisahkan dengan menggebu, menguak heroisme dan ”keajaiban”.
Halim, lelaki yang penuh keberanian. ”Yang paling diingat Halim adalah saat ia duduk di kelas dua SMA, ia berurusan dengan tentara,” tulis Muhidin. Murid berseragam abu-abu dan putih itu mengerjakan tugas pelajaran dengan meresensi buku-buku Pram yang berjudul Gerilya dan Subuh. Ia harus berhadapan dengan kepongahan rezim Orde Baru. Meresensi bisa menimbulkan masalah jika buku-bukunya dimusuhi penguasa.
Mereka itu memikat, tambah memikat saat diceritakan Muhidin menggunakan kata-kata yang berasal dari tuturan atau percakapan.
Kita mencari imbuhan pengenalan melalui majalah Tempo, 16-22 Agustus 2004. Judul tulisan menggetarkan: ”Seorang Odysseus dari Solo”. Di foto, lelaki itu bersarung, mengenakan kaus oblong, dan tangannya memegang buku. Sejak menjadi siswa dan mahasiswa di Yogyakarta, Halim dalam pergaulan kaum seniman dan intelektual. Pergaulan yang mendebarkan. Ia pun berhubungan dengan beberapa tokoh di sejumlah kota, tetap demi seni dan keintelektualan. ”Kedekatannya dengan Arief Budiman dan Ariel Heryanto sempat mendatangkan masalah saat ia mengadakan sarasehan kesenian bertajuk ”Sastra Kontekstual” di Solo, 1984”, tulis di Tempo.
Pembaca masih bertemu tokoh-tokoh lain dalam buku Muhidin. Kita membacanya kalimat-kalimat berselera kocak, sinis, ledekan, pujian, keharuan, dan kenakalan. Yang membaca akan merasa ikut ”berteman” meski mendapat cuma sedikit-sedikit pengisahan. Buku yang dipersembahkan Muhidin bekal bagi kita jika bertemu 27 temannya di jalan, toko buku, acara diskusi, atau rumah.
Bandung Mawardi , Penulis dan Pegiat Literasi
Info Buku
Judul Buku : Temanku Orang Buku
Penulis : Muhidin M Dahlan
Penerbit : JBS, Yogyakarta
Tahun Terbit: Cetakan I, 2023
Tebal Buku: 190 halaman
ISBN: 978 623 7904 71 7