Tionghoa Manado dalam Dinamika Kewargaan Sosial Indonesia
Dalam lintasan sejarah, Tionghoa Manado sebagai sebuah komunitas minoritas menjalani kehidupan kewargaan sosial dalam kesukaran. Namun, hal ini ternyata tak menyurutkan partisipasi sosial mereka baik di beragam bidang.
Judul: Orang Manado Tionghoa: Menelusuri Dinamika Integrasi dalam Konteks Kewargaan Sosial Indonesia
Penulis : Hendri Gunawan
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2023
Jumlah halaman : xxvi+174 halaman
ISBN : 978-623-346-688-2
Terletak di ujung utara Pulau Sulawesi, Kota Manado menjadi beranda bagi Sulawesi Utara dan Indonesia ke Asia Pasifik. Lokasi yang strategis ini sudah mendunia sejak dahulu kala, bahkan menjadi magnet bagi para pelaut dan peniaga mancanegara, termasuk di dalamnya bangsa barat seperti Spanyol, Portugis serta Inggris, dan juga para peniaga yang datang dari China.
Hendri Gunawan dalam bukunya berjudul 'Orang Manado Tionghoa: Menelusuri Dinamika Integrasi dalam Konteks Kewargaan Sosial Indonesia' (Penerbit Buku Kompas, 2023) mengungkap sisi lain yang menarik. Cikal bakal komunitas Tionghoa, khususnya di Manado ternyata tak berasal dari para peniaga China, namun justru dari para pekerja Tionghoa yang membangun benteng Fort Amsterdam.
Sebenarnya kedatangan orang Tionghoa di Indonesia sudah terjadi berabad-abad sebelumnya. Sebuah undang-undang pelarangan terhadap perdagangan orang-orang China ke luar negeri atau Haijin Policy dihapuskan oleh Kaisar Kangxi. Pencabutan larangan ini mendorong hijrahnya pedagang-pedagang China Ke kawasan nusantara pada abad ke-17.
Namun data awal masuknya penduduk China Ke kawasan Manado belum tersedia secara detail. Sehingga momentum pertemuan VOC dengan para Tionghoa Manado untuk membangun Fort Amsterdam menjadi sangat signifikan terhadap awal eksistensi komunitas Tionghoa di Manado.
Sebagai seorang Tionghoa yang mengenyam pendidikan di Manado, topik ini sungguh sangat lekat dengan penulis. Fokus studi dan kajiannya juga tak pernah lepas dari aspek-aspek sejarah komunitas Tionghoa di area-area pedalaman seperti Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara, wilayah perbatasan Sangihe-Filipina, Tondano, Teluk Tomini, serta Kota Pelabuhan Amurang.
Para Hoakiau Pembangun Fort Amsterdam
Saat pelaut Spanyol keluar dari Bandar Manado setelah terlibat Perang Kali dengan warga pakasaan Tombolu pada tahun 1643, VOC dengan sigap mengambil kesempatan ini untuk mengekspansi wilayahnya ke Manado. Pada tahun 1677, Gubernur VOC Robertus Padtbrugge ke Kepulauan Sangihe dan menaklukkan para raja di sana. Lalu, pada tanggal 10 Januari 1679 dengan perjanjian “Vrundschap en de alliantie” disepakati VOC menempati benteng peninggalan Spanyol.
Mereka kemudian mendirikan benteng yang baru berlokasi kurang lebih 200 M ke arah selatan dari benteng semula. Untuk membangun benteng baru ini pihak VOC mendatangkan tukang yang ahli dengan merekrut warga hoakiau (warga perantau Tionghoa) yang sudah ada di Nusantara terutama mereka yang berasal dari daerah Kanton. Benteng yang dibangun ini kemudian dinamai Fort Amsterdam.
Bersamaan dengan pembangunan benteng, dilakukan penataan wilayah di sekitar benteng terutama di bagian timur benteng sebagai tempat bagi para pekerja hoakiau dari wilayah Kanton. Kawasan ini pada masa Karesidenan Manado dikenal sebagai Chinese Wijk dan kini dikenal dengan sebutan Kampung Cina bagian dari Kelurahan Wenang. Inilah cikal bakal menetapnya komunitas Tionghoa pertama di Manado.
Penjelasan Hendri Gunawan memiliki kelemahan yaitu tidak diperolehnya dokumen VOC dalam bentuk dagregister yang mencatat jumlah pekerja hoakiau sewaktu mengerjakan pembangunan Fort Amsterdam.
Namun, Hendri berhasil mengumpulkan catatan dari karya David Henley tahun 2005. Catatan tersebut menyebut jumlah warga hoakiau pada tahun 1821 sebanyak 244 jiwa, pada tahun 1860 tercatat sebanyak 1.272 jiwa, lalu meningkat secara signifikan pada tahun 1900 menjadi 3.145 jiwa yang tersebar di Kota Manado dan daratan Minahasa. Meskipun tetap menjadi minoritas, namun jumlahnya terus berkembang.
Kedudukan dalam Politik Kewarganegaraan
Menjadi minoritas bagi Tionghoa Manado ternyata memunculkan berbagai kesukaran dalam berkewargaan sosial. Semasa pendudukan Hindia-Belanda orang Tionghoa mengalami beberapa diskriminasi rasial, mulai dari pemisahan tempat tinggal, serta pembatasan sosial. Ternyata hal ini tidak berubah saat Indonesia mendapatkan kemerdekaannya.
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, dikeluarkan peraturan permukiman atau wijkenstelsel, disusul Staatsblad 1835 Nomor 37 yang menyatakan pemisahan Kampung Cina dilakukan untuk menghindari tercampurnya berbagai bangsa di Hindia-Belanda. Langkah ini berlaku untuk semua kelompok dan penetapan di Manado yang sudah diawali sejak masa VOC.
Setelah Indonesia merdeka, Hendri menjabarkan dilema orang Tionghoa akibat kesukaran atas pengakuan identitas mereka sebagai warga negara, termasuk dalam memperoleh persamaan hak berpolitik, serta hak memperoleh kewarganegaraan. Identitas kewarganegaraan yang disematkan sebelumnya berdasarkan Ius Soli seperti yang telah disepakati oleh RI dan Belanda menempatkan semua orang Tionghoa dan Arab sebagai warga negara RI. Namun, setelah kemerdekaan pemberian kewarganegaraan berdasarkan Ius Soli dicabut berdasar pasal 4 UU Kewarganegaraan RI No 62 tahun 1958. Berdasarkan UU ini, orang Tionghoa dianggap sebagai warga asing di tanah air.
Akibat keadaan ini, dibentuklah Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia yang disingkat Baperki. Kehadiran Baperki dijjelaskan Hendri membantu kelompok komunitas Tionghoa baik di Nusantara maupun di wilayah provinsi Sulawesi Utara memiliki akses dan sumber daya untuk menyalurkan hak-hak politik mereka.
Namun setelah beralih ke pemerintahan Orde Baru, kebijakan kepemilikan Sertifikat Bukti Kewarganegaraan Indonesia keturunan Tionghoa Manado dan juga aturan untuk melepaskan nama Tionghoa diterapkan. Bagi yang belum memiliki Sertifikat Bukti Kewarganegaraan Indonesia, aktivitasnya sangat dibatasi. Akibatnya, keikutsertaan warga keturunan Tionghoa Manado dalam arena politik terpinggirkan.
Lebih lanjut mengenai eksistensi orang Tionghoa Manado, Hendri dalam publikasi ini mengelaborasi secara rinci partisipasi sosial komunitas tersebut di berbagai bidang yaitu ekonomi, budaya, dan pendidikan pada periode 1950-an hingga 1990-an. Menurut Hendri, pengalaman menghadapi diskriminasi yang panjang sejak masa kolonial Belanda justru membuat Tionghoa Manado memiliki sikap bertahan yang lebih luwes, serta kemampuan berpartisipas secara aktif dalam berbaur dengan warga Manado.
Setidaknya, kajian sejarah yang meskipun belum lengkap sumber muatan lokalnya ini sangat bermanfaat untuk mengisi kekosongan literasi sejarah komunitas Tionghoa di Manado. (Litbang Kompas/KIK)