Rekonstruksi Nalar Krisis Pertamina
Belenggu nalar berupa nalar manusia yang terkontaminasi nafsu kekuasaan, hasrat mengabdi kepada atasan, serta hasrat menghancurkan eksistensi mitra politik yang berseberangan.
Judul: Belenggu Nalar
Penulis: Laksamana Sukardi
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit: Cetakan I, 2023
Jumlah halaman: x+214 halaman
ISBN: 978-623-346-875-6
Konsep belenggu nalar muncul dari pengalaman Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan Usaha Milik Negara (Menneg BUMN) periode 1999-2004. Melalui buku berjudul Belenggu Nalar (Penerbit Buku Kompas, 2023), Laksamana Sukardi yang akrab dipanggi Laks berbagi kisah tentang pengalaman sukses PT Pertamina mengatasi krisis di perseroan, tetapi justru diganjar hujatan dan serangan dari pemegang kekuasaan.
Kerugian yang dialami Pertamina tampak saat upaya menjadikan Pertamina sebagai perseroan terbatas (PT) atau badan usaha milik negara. Dalam masa transisi, aset-aset Pertamina dihitung dan diaudit oleh Kementerian Keuangan. Saat Laks menerima tanggung jawab atas Pertamina pada akhir 2023, hasil audit menunjukkan krisis likuiditas yang serius.
Setidaknya ada tiga faktor penyebab krisis likuiditas di Pertamina, yakni kebijakan pemerintah, kondisi likuiditas perusahaan, dan kenaikan harga minyak mentah yang jauh di atas APBN. Akibatnya, subsidi yang harus ditalangi Pertamina meningkat.
Pada awal menjadi perseroan terbatas, manajemen baru Pertamina menghadapi tunggakan kewajiban yang harus dibayar kepada Departemen Keuangan sebesar Rp 14 triliun. Kondisi ini diperparah oleh sengketa Pertamina dengan PT Karaha Bodas Company (KBC) yang mengakibatkan 12 rekening Pertamina di luar negeri dibekukan oleh Bank of New York. Sebanyak 95 persen dari rekening-rekening tersebut merupakan milik Pemerintah Indonesia.
Sengketa Pertamina dengan KBC berawal dari batalnya megaproyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Pembangunan batal karena krisis ekonomi tahun 1997. Pembatalan berujung gugatan dari KBC kepada Pertamina di Arbitrase Internasional.
Kasus VLCC
Peliknya permasalahan yang dihadapi Pertamina dijabarkan pada dua sub bab awal berjudul ”Komorbid Pertamina” (Hlm 11) dan ”Mengelola Krisis” (Hlm 23). Ancaman penyitaan aset harus dihadapi Pertamina setelah kalah dalam sidang Arbitrase Internasional. Salah satu aset yang terancam adalah kapal tanker Very Large Crude Carrier (VLCC).
Kapal VLCC sedang dalam tahap penyelesaian di galangan kapal Hyundai, Korea Selatan, dan masih belum lunas cicilannya. Karaha Bodas mengincar aset ini, tetapi penyitaan tidak dapat dilakukan karena secara hukum kapal ini belum resmi pindah nama ke Pertamina.
Pertamina tidak memiliki banyak pilihan dan harus membuat keputusan strategis. Jika kapal tersebut lunas dan selesai, sudah dipastikan akan disita oleh Pengadilan Korea Selatan untuk diserahkan kepada Karaha Bodas. Dengan demikian, manajemen Pertamina harus mengamankan kontrak pesanan VLCC dan menjual kontrak hak membeli VLCC dalam waktu bersamaan.
Pengadaan dua unit tanker VLCC oleh Pertamina ternyata mengundang masalah likuiditas sejak awal akibat perubahan metode pembelian oleh direksi Pertamina sebelum menjadi BUMN. Menghadapi masalah ini, direksi dan komisaris Pertamina melakukan pembahasan bersama dengan Menteri BUMN dan Menteri Keuangan.
Kronologi peristiwa pemerintah mencari solusi pengamanan aset ini dijabarkan cukup detail pada sub bab ”Mengelola Krisis”. Berdasarkan rapat pembahasan pada 6 April 2004, kapal tanker VLCC akan dilepas. Keputusan ini disetujui pada 11 Juni 2004.
Proses birokrasi yang dijabarkan dalam buku ini cukup rumit untuk dipahami. Misalnya, dalam penjabaran proses pelepasan dan wewenang pemberi izin pelepasan kapal tanker VLCC (Hlm 29-33), pembaca diajak untuk mengikuti alur birokrasi yang berbelit.
Singkat cerita, pemerintah berhasil menjual dua kapal tanker VLCC melalui tender yang dimenangkan oleh Fronline. Penjualan kapal membutuhkan konsultan keuangan internasional Goldman Sachs untuk merancang Sales and Purchase Agreement. Keberhasilan tersebut layak diapresiasi karena berhasil menggagalkan penyitaan aset sehingga Pertamina berhasil menorehkan keuntungan sebesar 53,2 juta dollar AS.
Nalar terbalik
Setelah Pertamina berhasil mencegah kerugian besar akibat penyitaan VLCC oleh Karaha Bodas, ternyata banyak pihak yang tidak turut bersorak. Menurut Laks, kelompok ini marah dan kecewa karena sudah menanti komisi dan kontrak pasokan pengoperasian kapal VLCC. Akibatnya, Laks menjadi sasaran tembak dan serangan bertubi-tubi akibat kecemburuan politik (Hlm 40-41)
Mengaku memiliki darah wartawan yang kental, Laks justru mendapat serangan lewat media dalam sub bab ”Cakra Warta”. Tercatat ada lima harian di Indonesia yang menjadikan Laks sebagai berita utama. Daftar lima berita tersebut ada di halaman 44-45 dengan salah satu judul berita ”Laksamana, Kenapa Harus Kabur?”
Isu yang diangkat dalam pemberitaan cukup memojokkan dan merusak nama baik. Laks diberitakan korupsi dan kabur ke luar negeri pada hari-hari terakhir menjelang kekalahan Megawati dalam pemilihan presiden.
Tak tinggal diam, Laks melaporkan pemberitaan negatif tentang dirinya ke Dewan Pers dan menyerahkan kasus kepada pengacara Juniver Girsang. Pengaduan ini direspons cepat oleh Dewan Pers. Dalam kurun waktu tiga minggu sejak pengaduan, Dewan Pers mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi yang dibacakan secara umum dan terbuka.
Selepas serangan di media, Laks kembali mendapat serangan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Setelah jabatan berakhir, Laks dipanggil oleh KPPU untuk menjelaskan proses divestasi VLCC oleh Pertamina. Babak perjuangan Laks melawan KPPU ini dijelaskan secara rinci pada sub bab ”Kiprah Salah Kaprah KPPU”.
Klimaks dari buku ini berada pada sub bab ”Belenggu Nalar” yang dianggap sebagai serangan terdahsyat oleh Laks. Serangan ini berasal dari Pansus VLCC DPR RI yang disebut Laks menggunakan nalar terbelenggu dan membabi buta.
Laporan Pansus VLCC DPR RI menuding dan menyalahkan Laksamana Sukardi, baik sebagai Menteri BUMN maupun Komisaris Utama Pertamina, sebagai tokoh yang bertanggung jawab menginstruksikan Direksi Pertamina untuk membatalkan pesanan tanker VLCC. Tuduhan ini dinilai Laks tidak masuk akal karena tanpa bukti. Selain itu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, persetujuan dilakukan bersama-sama oleh direksi sebagai pelaksana dan dewan komisaris sebagai pengawas.
Meski harus dicermati secara khusus, buku Belenggu Nalar memberikan gambaran cukup detail bagi pembaca awam tentang rawannya konflik kepentingan yang terjadi dalam perusahaan milik negara. Kasus yang dialami langsung oleh penulis mengajak pembaca untuk turut menggunakan nalar dalam menimbangnya.
Laks menutup buku dengan mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi hukum yang ada di Indonesia. Hukum dibuat untuk menjaga ketertiban kepentingan umum dan menjamin hak setiap warga negara. Inilah yang disebut ”berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”. Hukum tidak boleh dipolitisasi. (Litbang Kompas/IGP)