”Katjang Tjina” di Balik Kuliner Pecel Nusantara
Kehadiran ”katjang tjina” di Nusantara menjadi penentu dalam membaca perkembangan kuliner pecel. Keterkaitan antara keduanya dijelaskan secara berbobot dalam publikasi kali ini.
Judul: ”Katjang Tjina” dalam Kuliner Nusantara: Sejarah Kultural Pecel,
Pecak, Rujak, Gado-gado dan Sambal Kacangnya
Penulis: Ary Budianto
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: I, 2023
Tebal: xviii+206 halaman
ISBN: 978-623-346-754-4
Pecel ayam dan pecel sayur. Dua jenis kuliner yang sungguh berbeda, tetapi mengapa sama-sama menggunakan istilah pecel? Bagi yang sering memikirkan pertanyaan serupa, buku ini punya jawabannya.
Adalah Ary Budianto, seorang dosen antropologi di Universitas Brawijaya yang menaruh atensinya pada studi lintas budaya yang kemudian membawanya pada studi visual, material, serta kajian makanan (food studies). Berkat ketertarikannya, kekosongan narasi di khazanah kuliner Indonesia, khususnya pecel, menemukan pengisinya.
Menelusuri jejak naskah-naskah kuno di Jawa serta resep-resep kolonial, penulis menyusun keping demi keping sejarah kuliner pecel menjadi sebuah historiografis yang menarik. Penulis menerjemahkan bahan studinya serta mencoba membawa masa lalu untuk dapat lebih dipahami di masa kini.
Jejak pecel di manuskrip kuno
Pada naskah-naskah Jawa dan Sunda kuno, pecel justru disandingkan dengan lauk, bukan dengan sayuran. Selain itu, pecel/amecel merujuk pada teknik memasak yang memerlukan proses pembuatan sambal atau saus berbumbu, kemudian disiram ke lauk. Seperti pada naskah Sanghyang Swawar Cinta (Darwis, 2019:47; Wartini, 2011: 18,57), menyebut istilah pecel selalu disandingkan dengan lauk.
Hal mengejutkan lain juga ditemukan di naskah-naskah kuno Jawa. Di sumber sejarah tersebut tak memuat referensi adanya kacang tanah di dalam resep, seperti resep pecel masa kini yang identik dengan kacang tanah dan gula merahnya. Maka, tidak dijumpai pula resep pecel sayur seperti yang dikenal pada manuskrip-manuskrip kuno. Absennya kacang tanah bukan tanpa alasan. Ternyata, kacang tanah baru ada di Jawa pada abad ke-17. Hal tersebut tertuang dalam Babad Tanah Jawi.
Salah satu ciri khas unik pecel yang masih ada hingga sekarang adalah adanya rasa asam. Seperti tertulis di Lengganan Kejawen No. 675, yaitu resep pecel santen tuntut pisang kluthuk (pecel santan jantung pisang kluthuk) oleh Bok Wir. Pada resep tersebut disebutkan penggunaan cuka untuk memberi rasa asam. Bedanya, saat ini, masamnya pecel diperoleh dari asam jawa.
Eksistensi pecel dalam berbagai jenis masakan menandakan evolusi kreasi kuliner Nusantara yang mumpuni. Kajian van Donselaar pada 2005 yang menyebutkan bumbu pecel termasuk dalam kategori peanut butter jelas keliru.
Jejak si ”katjang tjina”
Masuknya kacang tanah di Asia, khususnya China, sebenarnya sudah berlangsung sejak awal abad ke-16. Kacang tanah dibawa oleh pedagang dan imigran asal China dan Portugis. Keduanya mendapatkan benih kacang tanah dari pedagang Spanyol. Kemudian, kacang tersebut dibudidayakan di Fukian. Fakta tersebut menjadi alasan bagi penulis menerka kacang disebut dengan katjang tjina karena dibawa oleh orang China.
Terlebih, penulis berhasil melacak hadirnya kacang tanah ke Indonesia melalui catatan Rumphius, seorang ahli Botani dari Jerman yang menetap di Ambon hingga wafat. Menurut catatan tersebut, Rumphius menduga kacang dibawa dari Jepang oleh orang-orang China. Catatannya juga menyebut bahwa tanaman tersebut banyak dibudidayakan di Makassar dan Batavia.
Ketika VOC datang, mereka membawa kacang varietas lain yang disebut kacang brul, untuk membedakannya dengan kacang yang dibawa oleh pedagang China. Bermunculannya ragam varietas kacang membuat penulis perlu menegaskan bahwa katjang tjina sejatinya adalah kacang tanah dan bukan varietas lain, seperti kacang polong, kacang parang, maupun kacang koro.
Pernyataan penulis diperkuat dengan ditemukannya buku dari KF Holle berjudul Over aardnoten en haar verbruik in Europa (Tentang Katjang Tjina dan Konsumsinya di Eropa) (1876). Fakta soal katjang tjina diperkuat juga dengan keterangan yang ada dalam Catalogus der afdeeling nederlandsche Kolonien van de internationale, koloniale en uitvoerhandel tentoonstelling (van 1 Mei tot ult octopober 1883) te Amsterdam (Katalog Pameran Perdagangan Internasional, Kolonial dan Ekspor Divisi Koloni Belanda dari 1 Mei sampai akhir Oktober 1883 di Amsterdam) yang menyebut katjang tjina atau kacang tanah paling banyak diekstraksi menjadi minyak.
Pecel, Pecak, dan Gado-gado
Kacang tanah memainkan peran yang sangat penting dalam khazanah kuliner pecel yang termasuk di dalamnya pecak, gado-gado, dan varian lainnya. Pada buku-buku resep kuno seperti resep Nn Cornellia berjudul Kokki Bitja dan Kitab Masak Masakan India tahun 1845, kacang tanah belum menjadi bumbu utama dalam kuliner gado-gado. Penggunaan kemiri untuk membuat gurih masakan lebih lazim ketimbang kacang tanah. Baru pada 1920-an, terekam pada Kamus Soendaneesch-Hollandsch woordenboek (Coolsma, 1913:168), gado-gado yang awalnya berbahan dasar kemiri kemudian menggunakan kacang tanah sebagai bumbu sausnya.
Hal ini berbeda dengan pecak. Pecak Betawi memiliki identitas sama dengan pecel pada awal kemunculannya sebagai teknik memasak. Racikan sambal bersantan, yang di dalamnya dicampur pula bumbu pengental serta penambah gurih, yakni kacang tanah dan kemiri, lalu disiram ke lauk yang telah dibakar atau digoreng.
Eksistensi katjang tjina di variasi pecel menjadi penting. Katjang tjina menjadi benang merah keterikatan satu kuliner pecel dengan yang lainnya. Kehadirannya ke Nusantara pun menjadi penentu dalam membaca perkembangan kuliner pecel.
Paparan Ary Budianto sepanjang 206 halaman sarat bukti sejarah. Topik kuliner yang seakan ringan menjadi berbobot lewat paparan dan terjemahan bukti sejarah di tiap halamannya. Pembaca juga diajak lebih fokus dengan tulisan bercetak tegak, miring, tebal, dan juga tipis, serta peralihan bahasa yang cukup kaya.
”Dari Centhini (selesai 1814) pecel sudah tersebar di hampir seluruh Pulau Jawa dalam artian menu pecel ayam dan pecel sayurnya. Hidangan itu hadir di kalangan rakyat jelata dan yang berpunya.” (LITBANG KOMPAS)