Paus Fransiskus, dari Lampedusa Melintas Batas-batas
Teologi rakyat, di samping visi pastoral ”Kerahiman”, memengaruhi pemahaman Paus Fransiskus mengenai umat Allah pada umumnya, terlebih pada mereka yang miskin dan tersingkir, seperti dialami kaum migran dan pengungsi.

-
Judul Buku : Sang Pelintas Batas-Batas : Berteologi di Era Migrasi Bersama Paus Fransiskus
Penulis Buku: Martinus Dam Febrianto, SJ
Penerbit: PenerbitKanisius
Tahun Terbit: Cetakan I, 2022
Tebal Buku: xvii + 300 halaman.
ISBN: 978-979-21-7344-4
Sepuluh tahun lalu, pada tanggal 13 Maret 2013, Jorge Mario Bergoglio atau Paus Fransiskus melakukan perjalanan resmi pertama keluar negeri sebagai Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik ke Lampedusa, di lepas pantai selatan Italia. Mengapa Paus Fransiskus pergi ke sebuah pulau kecil dan bukan ke pusat-pusat politik atau ekonomi dunia? Apa makna kunjungannya ke pulau seluas 25,48 km persegi itu—yang bahkan lebih sempit dari Kota Yogyakarta seluas 32,5 km persegi— dan berpenduduk sekitar 6.000 orang itu?
Simbol krisis
Lampedusa dan Laut Mediterania yang memisahkan Eropa dan Afrika adalah simbol krisis migrasi dan pengungsi global hingga hari ini. Ribuan migran yang mendamba kehidupan lebih baik berjuang melintasi lautan berbahaya itu.
Banyak di antara mereka binasa ketika kapal-kapal mereka ditolak masuk Eropa, terkatung-katung memprihatinkan. Sebagian tenggelam.
Paus Fransiskus rupanya mengajak dunia melihat situasi krisis kemanusiaan atau tragedi dehumanisasi pada kaum migran. Yang meninggalkan tempat asal mereka akibat kemiskinan, eksploitasi, ketidakadilan, dan konflik (hlm 37-38).
Tragedi kemanusiaan terus berlangsung di seluruh dunia, termasuk perdagangan manusia (human trafficking).
Keberpihakan Paus Fransiskus yang sangat kuat terhadap para migran tidak lepas dari visi teologis tertentu. Hal ini menggugah perhatian Martinus Dam Febrianto, SJ, untuk meneliti pemikiran teologis Paus Fransiskus dalam merespons fenomena migrasi. Romo Dam adalah pastor Yesuit yang menjadi Direktur Jesuit Refugee Service Indonesia, lembaga swadaya masyarakat milik Ordo Serikat Yesus. Lembaga ini melayani dan membela hak-hak para migran atau pengungsi.
Keberpihakan Paus Fransiskus yang sangat kuat terhadap para migran tidak lepas dari visi teologis tertentu.
Kajian visi paus
Hasil studi teologis Romo Dam diterbitkan sebagai buku berjudul Sang Pelintas Batas-Batas: Berteologi di Era Migrasi Bersama Paus Fransiskus (Penerbit Kanisius, 2022).
Buku setebal 317 halaman ini terbagi menjadi enam bagian atau bab. Bab 1 memaparkan fenomena migrasi dan pengungsi kontemporer serta tanggapan teologis. Bab 2 membahas pemikiran-pemikiran Paus Fransiskus dan visi teologisnya tentang migrasi dan pengungsi yang tertuang dalam sejumlah ensiklik, anjuran apostolik, pesan-pesan kegembalaan, dan gestur/pilihan sikap Paus Fransiskus.
Bab 3 merupakan upaya Romo Dam mengonstruksikan visi Paus Fransiskus mengenai migrasi dalam perspektif teologi dogmatis. Pada bagian ini penulis memperkenalkan ”metode korelasi prosesional”. Suatu kegiatan berteologi yang bersifat interdisipliner dan interkultural, berupaya membangun dialog antara kitab suci, tradisi, pengalaman konkret manusia, beragam budaya, dan ilmu-ilmu dunia. Tidak lagi berkutat pada teologi dogmatik yang cenderung metafisik atau ”tidak membumi” (hlm 108-109).
Bab 4 memaparkan dialog antara teologi migrasi Paus Fransiskus dan argumentasi teologis yang lain, terutama teologi nasionalisme, yang merekomendasikan pembatasan arus migrasi. Bagian ini juga memaparkan tinjauan non-teologis interdisipliner untuk menemukan sintesis terhadap suatu teologi yang relevan dan memiliki implikasi praksis.
Pada bagian 5, Romo Dam menawarkan beberapa catatan terhadap pemikiran Paus Fransiskus dan rekomendasi studi-studi lebih lanjut untuk mengembangkan teologi migrasi dalam konteks Indonesia. Bab 6 merupakan epilog singkat penulis (hlm 35-36).

Paus Fransiskus melihat kondisi tempat tinggal para pengungsi dan pencari suaka di Pusat Penerimaan dan Identifikasi di Mytilene, Pulau Lesbos, Yunani, Minggu (5/12/2021). Paus Fransiskus juga menyoroti Laut Mediterania, tempat lahirnya begitu banyak peradaban, telah menjadi kuburan bagi orang-orang yang putus asa dimana perahu-perahu yang membawa pengungsi dan pencari suaka banyak yang tenggelam. AFP/VATICAN MEDIA
Teologi rakyat
Bagi pembaca awam, salah satu bagian menarik dari buku ini adalah pemaparan tentang pengaruh teologi rakyat atau teologi umat (theology of people) terhadap pandangan dan gerak kegembalaan Paus Fransiskus, turunan keluarga imigran Italia yang lahir di Buenos Aires, Argentina. Paus Fransiskus sungguh mengalami hidup sebagai kaum migran.
Teologi Rakyat, menurut Joseph Xavier, merupakan cabang dari teologi pembebasan. Teologi ini dikembangkan Rafael Tello dan Lucio Gera, Argentina, sebagai alternatif teologi pembebasan Amerika Latin yang dianggap radikal. Persamaannya adalah keberpihakan pada kaum miskin (preferential option for the poor).
Berbeda dengan teologi pembebasan yang lebih berfokus pada dominasi kapitalisme, teologi rakyat lebih fokus pada dominasi politik dalam imperialisme. Menurut Romo Dam, meskipun sama-sama berangkat dari keberpihakan pada kaum miskin, teologi rakyat memandang orang miskin sebagai pribadi utuh, tidak semata-mata sebagai korban ketidakadilan struktural, sebagaimana dikenal dalam teologi pembebasan.
Sosok orang miskin dalam teologi rakyat adalah mereka yang dijumpai dalam keseluruhan cara berpikir dan budaya mereka, serta bagaimana mereka sebagai orang beriman menghayati situasi kemiskinan, memandang dan berharap pada Allah (hlm 112-113).
Teologi rakyat, di samping visi pastoral ”Kerahiman”, memengaruhi pemahaman Paus Fransiskus mengenai umat Allah pada umumnya, terlebih pada mereka yang miskin dan tersingkir, seperti yang dialami kaum migran dan pengungsi.
Berbeda dengan teologi pembebasan yang lebih berfokus pada dominasi kapitalisme, teologi rakyat lebih fokus pada dominasi politik dalam imperialisme.
Sang pelintas batas-batas
Ada hal penting lain yang ditemukan Romo Martinus Dam Febrianto SJ dalam studi teologi yang ditekuninya, yaitu pemahaman bahwa Allah Tritunggal, yang diimani umat Kristiani, merupakan ”Sang Pelintas Batas-batas”. Tema ini diulas pada bab 3.
Jika Allah merupakan Sang Pelintas Batas-batas atau Allah yang bermigrasi (Deus migrator), maka manusia adalah migran ciptaan Allah (imago Dei migratoris). Fundamen teologis ini dasar bagi pembelaan terhadap para migran dan pengungsi yang secara konsisten disuarakan oleh Paus Fransiskus sejak lawatan pertamanya ke Lampedusa hingga saat ini.
Gereja sebagai komunitas yang melintas batas-batas harus berani keluar zona nyaman. Berani menghadirkan diri memasuki tegangan konkret dalam kompleksitas dunia.
Menurut Romo Dam, Paus Fransiskus menawarkan cara pandang baru dalam relasionalitas antarmanusia yang mengatasi batas-batas. Bagaimana setiap orang sadar bahwa dirinya membutuhkan kehadiran ”liyan” sehingga dapat mengatasi perbedaan identitas dan melintasi batas-batas nasionalitas, kebangsaan, atau negara. Lalu membangun persaudaraan dan persahabatan sosial yang tulus. Bersolider terhadap mereka yang membutuhkan.

Pengungsi Suriah terkatung-katung dengan kapal yang nyaris tenggelam, 74 km dari pantai kota Tripoli, Libanon, 31 Desember 2022 lalu.
Refleksi teologis Romo Dam niscaya memperkaya perspektif pembaca dalam upaya memahami visi teologis Paus Fransiskus terhadap fenomena migrasi dan pengungsian yang meningkat karena berbagai sebab.
Visi teologis Paus Fransiskus digemakan dalam Surat Gembala Prapaskah 2023 Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, yang menegaskan bahwa perdagangan orang dan penyelundupan migran adalah kriminal dan dosa berat karena merusak martabat manusia.
Kardinal mengingatkan kembali pesan Paus Fransiskus di hadapan peserta Hari Doa Sedunia, 12 Februari 2018, bahwa Gereja berkomitmen memerangi praktik perdagangan orang. ”Gereja Katolik ingin terlibat memerangi kejahatan perdagangan orang. Gereja ingin melindungi korban dari penipuan dan bujuk rayu pedagang orang; Gereja ingin menemukan dan membebaskan mereka yang direkrut, disekap, dan direndahkan sebagai budak; Gereja ingin mendampingi setelah mereka dibebaskan”.
(YOHANES KRISNAWAN)