Nakula-Nakula: Kekembaran Susastra
Novel Perang Jin karya N Riantiarno ini dimaksudkan sebagai yang pertama, dari sebuah seri yang seluruhnya terdiri dari enam judul. Kiranya adalah novel terakhir yang terbit semasa hidupnya.
Judul Buku : Perang Jin: Senjakala Lembayung
Penulis : N. Riantiarno
Penerbit : Buku Mojok, Yogyakarta
Tahun Terbit : Cetakan I, 2022
Tebal Buku : vi + 541 halaman.
ISBN : 978-623-7284-70-3
Buku terakhir N Riantiarno (1949-2023), Perang Jin: Senjakala Lembayung (2022), memang disebut novel, tetapi sebetulnya ada lebih dari satu genre dalam buku setebal 538 halaman ini.
Pertama, yang paling mendekati pengertian fiksi sebagai ”karangan”, yakni situasi perang antarjin, yang secara politis mirip dunia manusia, kecuali bahwa cara perangnya fantastis: yang bisa menghilang, yang bisa terbang, yang menyemburkan api, yang bersenjata cahaya, yang puluhan ribu pasukannya bisa ke mana-mana dalam sekejap, yang istananya bisa berubah menjadi rimba raya, dan betapa kaum perempuan spesies jin ini bukan sekadar cantik jelita, melainkan sekaligus jawara main senjata.
Kedua, ketiga, dan keempat, yang tampak seperti fiksi ini berselang-seling dengan sesuatu yang mendekati fakta, mulai dari yang seolah bersifat autobiografis, seperti ketika kali pertama mengenal gagasan tentang jin; jurnal pengalaman berteater yang banyak, maupun bentuk esai atas renungan perihal hubungan seni dan kekuasaan.
Dalam perbandingan antara fantasi surealis keajaiban para jin, dengan realisme pengalaman (pahit) hidup sebagai orang teater semasa Orde Baru, ternyata yang faktual ini lebih dramatik.
Estetika pinang dibelah dua
Dalam perbandingan antara fantasi surealis keajaiban para jin dan realisme pengalaman (pahit) hidup sebagai orang teater semasa Orde Baru, ternyata yang faktual ini lebih dramatik. Tidak perlu diingkari, pengetahuan pembaca atas fakta tentang penulisnya di luar naratif, yang seperti pinang dibelah dua dengan ”fakta di dalam novel” (artinya bagian dari fiksi), bagaikan faktor ekstra dalam pembacaan Perang Jin.
Apakah ini berarti jauh dekatnya, bahkan kenal tidaknya, pembaca dengan penulisnya menentukan untung-rugi pembacaan novelnya? Konteksnya jelas bukan untung-rugi, karena semakin besar faktualitas di luar naratif menentukan penafsirannya, semakin tertutup daya imajinatif dari naratifnya bekerja—walau yang hidup dalam dunia pembaca adalah peleburan cakrawala keduanya (Gadamer, 1975: 267).
Dengan kata lain, data di dalam novel yang setali tiga uang dengan data di luar novel, meski dengan status yang tidak lagi sama, tidaklah mesti mengurangi kadar kesusastraannya. Membaca teks dengan cara di luar kategorisasi pembacaan susastra klasik akan membuat hibrida dunia manusia dan jin ini lebih berbunyi, ketimbang tiap sebentar mempertanyakan mengapa terdapat penanda-penanda tak lazim dalam novel.
Justru dengan tetap bersetia kepada naratifnya, bahwa hanya ada satu narator yang mengisahkan segala dunia, terbuka peluang untuk melacak konstruksi budaya pembentuk novel ini. Sejumlah kutipan cukup jelas memperlihatkannya:
”Mereka hanya menunggu, dan menanti kapan bisa menyerang Jin Jawa. Tapi keduanya harus patuh kepada Raja. Bagi mereka, Wong Cirebon dan Jin-nya adalah Wong Cirebon yang sama sekali tidak mau patuh kepada Jin mana pun, apalagi Jin Jawa. Itu memang sikap Wong Cirebon.” (hlm 211-212).
”Malam itu, kami menginap, dan membahas strategi perang untuk besok. Ya, besok pagi sekali, kami akan menyerbu. Kerajaan Masalemboto, ada di tanah antara kampung Tobelo, itu kalau kita lihat peta sekarang, di selatannya ada kampung Kao dan di bagian utaranya kampung Galela. Aku pernah menginap di kampung yang sekarang menjadi kota, Tobelo. Saat itu, aku bicara tentang pentas-pentas Teater Koma, dan sebelumnya ada pembahasan inti dari Menteri Pariwisata Indonesia.” (hlm 310).
”Lakon perjalanan Teater Koma, di dalam dan di luar panggung, terdiri dari berbagai peristiwa interogasi, intimidasi, ancaman bom, protes, tuntutan, dan pencekalan. Pada awal berdirinya grup, 1 Maret 1977, sama sekali tak disangka berbagai peristiwa itu akan dialami. Saya tak tahu dan tak ingin mencari-cari siapa paling bersalah.” (hlm 347).
Perhatikan bagaimana narator, sebagai ”aku” maupun ”saya” yang satu subyeknya, hidup dalam dunia jin maupun manusia, di dalam maupun di luar novel, dalam suatu ketunggalan dunia.
Pembacaan lebih jauh akan memperlihatkan bagaimana setiap genre dalam percabangan itu, dari fiksi tentang jin, autobiografi, jurnal pengalaman berteater, sampai esai reflektif atas hidup berkesenian, meski secara literer memang tidak melebur, konstruksi perpindah-lintasannya potensial bermasalah, yang merupakan kontribusi bagi berkembangnya perbincangan. Tanpa masalah, gubahan seni hanyalah pernik, bukan gagasan.
Jadi terdapat fenomena ke-kembar-an yang bukan Nakula-Sadewa dari wayang, melainkan Nakula-Nakula, yakni padan fakta-fiksi di dalam novel tentang jin-manusia.
Dari Sadewa ke Nakula
Semua novel, pada setiap zaman, peduli kepada teka-teki atas diri. Satu-satunya alasan keberadaan (raison d’être) novel adalah mengucapkan apa yang hanya novel dapat mengucapkannya. Namun, setelah mencapai kedalaman yang melibatkan eksplorasi rinci kehidupan-dalam dari diri, sang novelis secara sadar—tak sadar, mencari orientasi baru (Kundera, 1993: 23, 25, 36).
Dalam hal ini terdapat referensi yang dituliskan setelah novel berakhir, tetapi yang sulit dan tak perlu dihindari dalam pembacaan konstruktif, karena estetika pinang dibelah dua sejak awal membuat narator (di dalam novel) dan pengarang (di luar novel) nyaris tiada terbedakan: bahwa narator atau aku-yang-bercerita adalah Nakula sebagai N di depan nama Riantiarno, dengan saudara kembar Sadewa Pudjopurnomo yang meninggal pada usia 21 hari.
”Dalam lakon ini saya menggunakan nama kedua, Nakula,” tulis pengarang Nakula. Padahal, dituliskannya pula, ”Peran Utama, Nakula, mengembara dari Jakarta ke Kalimantan Selatan, di satu negeri Jin. Dia diangkat menjadi Panglima Perang Jin. Kenapa? Karena kakeknya dulu adalah Panglima Perang Jin.”
Jadi terdapat fenomena ke-kembar-an yang bukan Nakula-Sadewa dari wayang, melainkan Nakula-Nakula, yakni padan fakta-fiksi di dalam novel tentang jin-manusia. Mengingat mitos (baca: susastra lisan nenek moyang) tentang jin yang ”seperti manusia juga”, lengkap sudah dan terbukti pula indikasi kekembaran dalam susastra: bahwa manusia berjuang mewujudkan bayangan dirinya sendiri.
Tulis Nakula Riantiarno, ”… betul-betul lakon saya di teater, dan sisanya hanya sebuah khayalan. Suatu imajinasi, tapi sangat nyata. Kadang kita sendiri sering tidak tahu, apa ini hanya sebuah imajinasi—suatu bayangan saja—atau kejadian yang sungguh-sungguh nyata?” (hlm 535).
Novel Perang Jin ini dimaksudkan sebagai yang pertama, dari sebuah seri yang seluruhnya terdiri dari enam judul. Kiranya adalah novel terakhir yang terbit semasa hidupnya. Nakula pengarang telah pergi, Nakula narator selalu akan hidup setiap kali terbaca. Sebagaimana keberadaan susastra.
SENO GUMIRA AJIDARMA, Wartawan