”Soap Opera” Dardanella
Lahir pada masa Hindia Belanda, Dardanella menjadi kelompok opera Melayu yang malang melintang di Singapura, Malaysia, India, Birma. Kemudian keliling Yunani, Belanda, Perancis, Italia, juga Los Angeles dan Chicago.

Judul buku: Dardanella: Perintis Teater Indonesia Modern
Penulis: Jaap Erkelens
Penyunting: RBE Agung Nugroho
Tebal: xix + 500 halaman
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2022
ISBN: 978-623-346-197-9
Catatan Redaksi
Artikel resensi ini tulisan terakhir dari Handry TM, yang dikirimkan kepada redaksi tanggal 27 Januari 2023. Jumat (24/2/2023) pukul 23.50, di Semarang, Handry TM pergi menghadap Sang Khalik untuk selamanya. Harian Kompas/Kompas.id berdukacita atas meninggalnya almarhum, dan semoga diterima di sisi Allah. Amin.
Pada suatu masa, Hindia Belanda pernah melahirkan kelompok opera/tonil Melayu modern bernama Dardanella. Perang Dunia I berlangsung pada 1914-1918, delapan tahun sesudahnya berdirilah kelompok-kelompok sandiwara besar. Salah satunya adalah Dardanella the Malay Opera. Kelompok ini didirikan Vladimir Klimanoff, yang berganti nama panggung menjadi A Piedro. Ia seniman berdarah Rusia yang lahir di Penang (Malaysia).
Dardanella lahir di Sidoarjo pada 21 Juni 1926. Kelompok ini bertekad menyusul Miss Riboet Orion, kelompok opera yang lebih dulu mengorbit. Dardanella memiliki bintang-bintang panggung, seperti Miss Dja (1924-1989), Tan Tjeng Bok, Andjar Asmara, dan Ratna Asmara. Sementara Miss Riboet Orion mengandalkan ketenaran Riboet Rawit sebagai penari, penyanyi dan pelakon Fifi Young, serta Njoo Cheong Seng selaku penulis naskah dan pengatur laku.
Julukan Dardanella the Malay Opera sebagai perintis teater Indonesia menjadi perdebatan sejak masa pergerakan H Agus Salim. Dalam tulisannya di media, H Agus Salim keberatan jika Dardanella mendapat stigma perintis. Alasannya, Miss Riboet Orion dan opera-opera komedi untuk bangsawan sudah lebih dulu berkibar.
”Tapi sekali-kali tidaklah tooneel atau cabaret Dja’s Dardanella boleh dikatakan berurat kepada tingkat-tingkat yang dulu itu, melainkan adalah ”kelahiran baru”, bukan ”penitisan” daripada tingkat-tingkat yang dulu itu” (hlm 1).
Kelompok ini memangkas durasi panggungnya lebih efisien. Meminimalkan tarian dan nyanyiannya di tengah pertunjukan. Kemudian mengambil tema kritik dalam kisahnya.
Bahwa Dardanella mengambil segmentasi berbeda dari tonil yang lain tak dapat dimungkiri. Kelompok ini memangkas durasi panggungnya lebih efisien. Meminimalkan tarian dan nyanyiannya di tengah pertunjukan. Kemudian mengambil tema kritik dalam kisahnya. Sasarannya adalah para kolonial. Piedro sebagai jenderal sangat sadar, penonton Dardanella bukan rakyat biasa. Orang-orang terpelajar mulai mengambil waktu untuk menyaksikan. Maka, semiotika panggung pun digarap secara subtil. Hadirlah pemanggungan seperti Dr Samsi, Si Bongkok, Haida, dan Tjang.
Awak panggungnya juga heterogen. Ada Melayu, peranakan Tionghoa, dan peranakan Eropa.
Buku setebal 500 halaman ini terdiri dari delapan bab ditambah catatan akhir dan lampiran. Bisa dibilang cukup komplet karena Jaap Erkelens menuliskan kisah tersebut dari berbagai sumber. Termasuk dari sudut pandang kompetitor, dalam hal ini Miss Riboet Orion.
Menariknya, buku ini ditulis dengan menjaga keberpihakan penulis terhadap Dardanella. Sebagai seorang penulis sejarah, Jaap Arkelens (penulis Indonesia kelahiran Sumba Barat tahun 1939) memburu data pendukung di luar Dardanella.
Sebagai seorang penulis sejarah, Jaap Arkelens (penulis Indonesia kelahiran Sumba Barat tahun 1939) memburu data pendukung di luar Dardanella.
Halaman pengantar dimulai dengan cerita apa pengertian stambul serta siapa ”Bapak Stambul” di Hindia Belanda. Mengutip buku A Th Manusama di harian Bataviaasch Nieuwsblad (Buletin Batavia), disebut Auguste Mahieu (1865-1903) adalah ”Bapak Stambul”. Otto Knaap pun menulis di harian Algemeen Handelsblad (Jurnal Perdagangan Umum) pada tahun 1902 dengan ungkapan sama.
Namun, di harian Soerabaiasch (Surabaya) dan De Locomotief (Lokomotif), nama Yap Goan Thaij disebut pengusaha peranakan Tionghoa pendana opera komedi pertama di Hindia Belanda (hlm 2-3).
Masa redup stambul komedi di negeri ini berujung pada berdirinya sejumlah stambul opera, Salah satunya Miss Riboet Orion (1925). Pada tahun 1926, kelompok besar lain, The Malay of Dardanella, berdiri. Vladimir Klimanoff (A Piedro) mengasosiasikan dua kelompok opera itu mencontohkan drama gaya baru.
”The real soap opera”
Realitas panggung kedua seteru itu saling berebut popularitas. Perang judul dan perang iklan tak terelakkan. Miss Riboet Orion terlebih dahulu menangguk sukses. Dardanella tak ingin kalah, mereka menampilkan sejumlah pembaruan. Di kelompok ini ada Miss Dewi Dja atau Devi Dja (nama aslinya Misri atau Soetidjah) serta sutradara dan penulis naskah Andjar Asmara. Perseteruan kedua kelompok itu kadang terkesan slapstick dan kasar. Ibarat opera sabun, di luar panggung kedua kelompok tersebut bermain konflik secara bersambung.
Realitas panggung kedua seteru itu saling berebut popularitas. Perang judul dan perang iklan tak terelakkan.
Miss Riboet Orion didukung oleh ketenaran Riboet Rawit selaku primadona dan sosok seperti Tio Tik Djien, Fifi Young, dan Njoo Cheong Seng (penulis naskah). Masih didukung penuh oleh Tio Tik Djien, suami Miss Riboet sendiri, sebagai pemimpin. Miss Riboet menampilkan judul-judul seperti Gagak Solo, Juannita de Vega (karya Antoinette de Zema). Di kelompok ini pula musisi Jack Lesmana kemudian bernama besar.
Di Batavia, keduanya berseteru berat. Bahkan Tio Tik Djien pernah mengajukan gugatan ke Dardanella berkaitan dengan pemakaian nama Miss Riboet di kelompok pimpinan A Piedro.
Pada tahun 1934, habislah masa kebesaran Miss Riboet Orion. Hal ini ditandai dengan keluarnya Fifi Young dan Njoo Cheong Seng yang bergabung dengan Dardanella. Kebesaran kelompok ini ditandai dengan pembaruan format panggung. Dardanella sudah tak lagi menerapkan komedi opera. Lakon yang dimainkan kini utuh tanpa musik atau lelucon. Dardanella mengoleksi lakon masterpiece semacam Dr Samsi dan The Seikh of Arabia.
Mereka juga melakukan pertunjukan keliling ke sejumlah negara di Asia, Eropa, dan Amerika. Itulah kebesaran Dardanella sebagai opera Melayu yang mendunia. Kelompok ini bubar setelah keliling dunia tahun 1936. Beberapa pemainnya, seperti Fifi Young dan Tan Tjeng Bok, beralih ke dunia layar lebar.
Dardanella menjadi kelompok opera Melayu yang malang melintang di Singapura, Malaysia, India, Birma. Kemudian keliling Yunani, Belanda, Perancis, Italia, juga Los Angeles dan Chicago.
Miss Dja
Namun, ketenaran Miss Dja sendiri tak termungkiri. Bersama Dardanella, mantan pemain tonil kecil dari Jawa Timur ini mendunia. Ia tidak saja direkrut A Piedro sebagai pemain, namun diperistri pula oleh sang pendiri.
Dardanella menjadi kelompok opera Melayu yang malang melintang di Singapura, Malaysia, India, Birma. Kemudian keliling Yunani, Belanda, Perancis, Italia, juga Los Angeles dan Chicago.
Tahun 1946, Miss Dewi Dja dan Piedro mulai ada masalah. Gedung pertunjukan sekaligus tempat tinggal baru Dewi Dja, Sarong Room di Chicago, terbakar. Selain itu, A Piedro ketahuan menyelingkuhi seorang perempuan bernama Dewi Wani. Dewi Dja sendiri punya hubungan dengan aktor Amerika keturunan bangsa Indian dari Oklahoma bernama Acee Blue Eagle. Hubungan Piedro dan Dewi Dja berakhir dengan perpisahan (hlm 254-255).
Itulah sandiwara di dalam sandiwara. Tahun 1951, Dewi Dja menikah dengan Alli Assan, anggota rombongan tarinya selepas Dardanella. Dan Dewi Dja berpisah kembali dengan Alli Assan yang belakangan diketahui gila judi pacuan kuda.
Ia tetap menetap di Los Angeles dan menjadi warga negara Amerika Serikat hingga masa tuanya. Dewi Dja meninggal dan dimakamkan di The Pavlova of the Orient pada 19 Januari 1989. Di batu makam Dewi Dja tertulis: ”May you dance in God’s light forever” (Semoga kau menari dalam cahaya Tuhan selamanya) (hlm 262-279).
Demikianlah hidup. Kelompok tater modern yang sangat terkenal sepanjang tiga zaman itu menyimpan kisah buram. Dardanella tetap menjadi tonggak pembaruan industri tontonan pascakolonial.
Handry TM, Penulis Sastra