Dari Hukum Kodrat Menjadi Hukum Positif
Buku ini menyajikan fakta luar biasa yang menunjukkan terjadinya revolusi hukum, yaitu perubahan mendasar paradigmatik dalam epistemologi dan metodologi hukum dari hukum kodrat ke hukum positif.
Judul Buku: State Law and Legal Positivism: The Global Rise of a New Paradigm
Penyunting-Penulis: Baudouin Dupret dan Jean-Louis Halpérin
Penerbit: Brill Nijhoff
Tahun Terbit: Cetakan I, 2022
Tebal: viii + 267 halaman.
ISBN: 978-90-04-49865-5
Buku ini kumpulan artikel penting yang mendedahkan sejarah proses terjadinya positivisasi hukum di sejumlah negara pada abad ke-19 dan ke-20. Anggitan yang disunting oleh dua ahli hukum di Perancis, Baudouin Dupret dan Jean-Louis Halpérin, mengajukan satu tesis tentang perubahan paradigma dalam bidang hukum, yaitu peralihan dari mazhab hukum kodrat menuju mazhab hukum positif. Tesis ini menjelaskan satu pemisahan besar yang telah terjadi dalam tataran epistemologi dan metodologi antara rezim hukum lama (ius naturale) dan rezim hukum baru (ius positum).
Dalam sejarah hukum, perdebatan hukum berputar pada dua kutub. Pertama, kutub yang menekankan adanya kesinambungan dan keberlanjutan hukum rezim lama ke hukum rezim baru. Kedua, kutub yang menyatakan telah terjadi ketidaksinambungan dan keterputusan antara rezim hukum lama dan rezim hukum baru.
Berdasarkan analisis sejarah hukum dan dinamika penerapan hukum tersebut, Dupret dan Halpérin membuktikan bahwa telah terjadi keterputusan dan ketidaksinambungan dalam paradigma hukum itu. Tentu saja, tidak ada sesuatu yang benar-benar baru. Masa lalu selalu warisan bagi dunia baru. Hal ini tak terkecuali terjadi di dalam bidang hukum. Menariknya, buku ini menyajikan fakta luar biasa yang menunjukan revolusi hukum itu, yaitu perubahan mendasar paradigmatik dalam epistemologi dan metodologi hukum dari hukum kodrat ke hukum positif.
Anggitan yang disunting oleh dua ahli hukum di Perancis, Baudouin Dupret dan Jean-Louis Halpérin, mengajukan satu tesis tentang perubahan paradigma dalam bidang hukum, yaitu peralihan dari mazhab hukum kodrat menuju mazhab hukum positif.
Paling tidak, ada dua faktor penting secara kontekstual yang mendorong terjadinya revolusi hukum ini. Pertama, disebabkan oleh peralihan bentuk tadbir pemerintahan dan masyarakat dari sistem kerajaan ke sistem negara-bangsa yang mengharuskan proses pembuatan, pengambilan, dan keputusan hukum yang lebih dinamis di dalam konteks yang beragam untuk masyarakat yang lebih majemuk.
Kedua, perubahan hukum ini menjadi akibat logis dari proses model ekonomi baru, yaitu kapitalisme global yang membutuhkan kepastian hukum dan aturan agar penanaman modal, penciptaan ruang-ruang kerja, dan pencapaian keuntungan itu jelas, terukur, dan maksimal.
Secara khusus, perubahan paradigma hukum itu terjadi secara bersamaan dengan lahirnya Zeitgeist, ruh zaman baru, yaitu Modernitas. Reinhart Koselleck (1923-2006), sejarawan Jerman, dalam The Practices of Conceptual History (Stanford, 2002) menjadikan abad ke-18 sebagai Neuzeit, masa baru yang membedakan antara zaman Kuna/Klasik dan zaman Pertengahan dengan zaman Modern. Abad ke-18 menandakan suatu ”epoch”, zaman, baru.
Menurut Koselleck, peralihan dari masa klasik ke masa modern yang tampak jelas ada pada perubahan sistem hukum. Pendapat Koselleck ini sejalan dengan ahli lainnya. Niklas Luhmann (1927-1998), sosiolog Jerman, dalam A Sociologial Theory of Law (Routledge, 2014) menjelaskan bahwa abad ke-18 telah terjadi revolusi pemikiran menuju positivisasi dalam kesahihan dan kepastian hukum secara menyeluruh dan penuh. Hal ini berlanjut pada abad ke-19, untuk kali pertama, dengan proses pembuatan undang-undang sebagai tradisi baru dalam hukum, yaitu legislasi, yang menjadi urusan keseharian dalam kehidupan resmi berbangsa dan bernegara.
Atas dasar inilah, Dupret dan Halpérin berkesimpulan bahwa awal perubahan hukum tersebut terjadi pada abad ke-18, khususnya di tahun 1750-an, dan terus berlanjut hingga abad ke-19, dan puncaknya pada abad ke-20 (saat Perang Dunia II berakhir, diikuti pembentukan PBB, 1945). Dengan demikian, positivisasi hukum ini bermula di Eropa lalu tersebar ke seluruh dunia. Hasilnya, perkembangan konsep hukum positif Barat ini mendominasi dan menghegemoni semua sistem hukum negara-negara di dunia. Namun, perlu digarisbawahi fakta bahwa secara umum sistem hukum lokal itu sendiri sesungguhnya sudah terbina dan didirikan di atas sistem dan konsep hukum positif Barat (hlm 26).
Positivisasi hukum itu terjadi, seperti yang dijelaskan oleh Dupret (hlm 1) dan Halpérin (hlm 251), karena dua hal. Pertama, faktor eksternal, yaitu transplantasi hukum positif sebagai akibat langsung dari penjajahan Barat atau tekanan politik dari luar. Kedua, faktor internal, yaitu keyakinan para tokoh negara-negara tersebut bahwa mereka membutuhkan suatu perangkat tata-kelola negara baru yang mangkus dan sangkil atau karena didorong oleh kebutuhan yang muncul sebagai akibat dari pergolakan politik lokal.
Dengan demikian, positivisasi hukum ini bermula di Eropa lalu tersebar ke seluruh dunia. Hasilnya, perkembangan konsep hukum positif Barat ini mendominasi dan menghegemoni semua sistem hukum negara-negara di dunia.
Untuk memahami proses tersebut, kita dapat temukan di dalam buku ini berbagai hujah dan dalil yang menjelaskan sejarah masa peralihan rezim hukum kodrat ke hukum positif tersebut dengan mengambil beberapa contoh dari berbagai negara. Argumentasi tersebut terangkum di dalam sembilan bab, termasuk bab pendahuluan dan penutup, yang ditulis oleh para ahli dari beragam bangsa.
Di setiap bab, para penulis dengan gentur menjelaskan berbagai temuan yang menekankan pada kedalaman dan skala hukum positif dalam proses perubahan tersebut. Melalui hasil penelitian yang telah dilakukan, kita dapat melihat perubahan rezim hukum itu bisa merupakan akibat dari kolonialisme langsung (Maroko, Mesir, India) atau sebagai bentuk reformisme bumiputra (Kekhilafahan Turki-Usmani, China, Jepang).
Dalam tulisannya, Avi Rubin menjelaskan sejarah positivisasi hukum di Turki-Usmani pada abad ke-19 dengan merumuskan dan membuat aturan fikih ke dalam bentuk kitab undang-undang Napoleon Perancis, yaitu Mecelle pada 1876, dan menerapkan sistem pengadilan dengan mengacu Perancis pada 1864.
Sementara itu, Jean-Philippe Dequen membeberkan positivisasi hukum di India pada abad ke-19, atas asas UU 1833, dengan melakukan positivisasi adat, hukum Islam, dan hukum Hindu yang menjadi hukum negara. Positivisasi hukum di India ini dipahami sebagai akibat dari penjajahan Inggris yang telah memengaruhi sistem hukum India dengan pola mazhab hukum positivisme-utilitarian dan tradisi common law.
Selanjutnya, Béatrice Jaluzot memaparkan positivisasi hukum di Jepang yang terjadi pada era Meiji (1868-1912) dengan mengambil dan mencontoh model hukum Jerman. Lalu, Tzung-Mou Wu menerangkan positivisasi hukum pada 1900-1928 di China dengan mencontoh model Jepang yang telah lebih awal meniru hukum positif Barat. Adapun Leon Buskens, ia menggambarkan proses positivisasi adat Berber yang menjadi hukum adat. Kemudian dalam prosesnya, hukum adat itu menjadi hukum positif di Maroko yang berlangsung secara perlahan sepanjang abad ke-20. Kesemua tulisan di buku tersebut memperlihatkan bahwa proses positifisasi hukum ini berlangsung secara global.
Buku ini sangat releven untuk Indonesia. Ia penting untuk dibaca para sarjana, dosen, ahli, praktisi, dan mahasiswa hukum untuk secara umum memberikan landasan konseptual sejarah hukum, bahwa hukum positif Indonesia diterapkan melalui penjajahan oleh Belanda pada abad ke-19 dan ke-20. Artinya, Indonesia tidak lepas dari fenomena global positivisasi hukum ini. Sepanjang pengetahuan kami, buku seperti ini amat jarang untuk tidak mengatakan hampir tidak ada. Oleh karena itu, buku ini layak diterjemahkan dan dijadikan salah satu rujukan bacaan di fakultas hukum di kampus-kampus Indonesia.
Ayang Utriza Yakin, Peneliti Posdoktoral di SciencesPo Bordeaux, Perancis; Dosen Tamu di Université Catholique de Louvain (UCLouvain), Belgia, dan Dosen Tetap di Universitas Internasional Islam Indonesia (UIII)