Mendengar Suara Anak Rohani dan Kawan Seperjalanan Goenawan Mohamad
Tulisan GM menguak tragedi kemanusiaan yang kadang menyelinap di balik satu kata: kediktatoran. Buku tentang karya GM ini perlu ditelisik pembaca komunitas akademik dan khalayak ramai agar mengenal GM lebih dekat.
Judul buku: Membaca Goenawan Mohamad
Penulis: Rizal Mallarangeng & Andy Budiman, Agus Sudibyo, Ni Made Purnama Sari, dkk
Editor: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: Cetakan I, 2022
Tebal: x + 453 halaman
ISBN cetak: 978-602-481-944-6
ISBN digital: 978-602-481-931-6
Anda penggemar rubrik ”Catatan Pinggir”? Atau pengagum Goenawan Mohamad? Apakah Anda berseberangan dengan sosok yang acap dipanggil GM ini? Pertanyaan-pertanyaan serupa barangkali terjawab dalam buku Membaca Goenawan Mohamad. Buku kumpulan artikel ini lahir dari seminar gelaran Salihara dan Komunitas Utan Kayu pada 25-27 Maret 2022 dalam rangka merayakan milad ke-80 GM.
Tulisan GM menguak tragedi kemanusiaan yang kadang menyelinap di balik satu kata: kediktatoran. Agar posisi trisula GM sebagai ”sastrawan, wawasan, dan pejuang kebebasan” tidak diterima begitu saja, sebuah buku tentang karya-karya GM perlu ditelisik bagi pembaca di komunitas akademik dan khalayak ramai untuk mengenal GM lebih dekat. Sejauh mana ”emansipasi” yang oleh editor ditengarai sebagai roh perjuangan GM tertampakkan melalui pusparagam tulisan dalam buku suntingan Ayu Utami dan Alpha Hambally ini.
Bagian pertama berisi tujuh artikel dari generasi penulis yang dalam Pengantar disebut ”terinspirasi secara langsung” oleh GM dan ”menghidupi dunia kesusasteraan dan kewartawanan” (hlm ix) sebagaimana GM. Bagian II menghimpun sembilan artikel tentang penafsiran GM atas filsafat Barat sumbangan penulis-penulis yang menggeluti filsafat secara intens.
Tulisan GM menguak tragedi kemanusiaan yang kadang menyelinap di balik satu kata: kediktatoran.
Artikel Rizal Mallarangeng (wawancara dengan Andy Budiman) membahas tulisan GM tentang wawasan kebangsaan sejumlah pemimpin bangsa yang lahir dari kebebasan, solidaritas sosial, dan nilai-nilai manusiawi penyubur keindonesiaan. Rizal memandang GM sebagai manusia pembelajar khas Abad Pencerahan yang percaya pada kebebasan. Sementara bagi Agus Sudibyo, praksis jurnalisme GM perlu dikontekstualisasikan dengan perjalanan sejarah politik Indonesia beserta implikasinya terhadap bisnis media massa. Model jurnalisme GM melecut demokrasi dan deliberasi publik atau ”pilar keempat demokrasi”. Tulisan Agus relevan dengan kemunculan pilar kelima seiring pesatnya teknologi, digitalisasi, jurnalisme data, dan perluasan platform media sosial sebagai sarana informasi.
Selanjutnya, Ni Made Purnama Sari membahas silang pendapat GM-Pramoedya Ananta Toer untuk menyimpulkan bahwa keduanya merawat kemanusiaan. Figurasi pengarang oleh Pram adalah pewarta humanisme yang otoritatif, sementara GM lebih percaya pada sastra sebagai saksi kemanusiaan. Masih berada dalam jalur serupa, Ayu Utami berpendapat bahwa puisi itu membebaskan bagi GM. Ia membebaskan manusia dari belenggu keutuhan.
Penciptaan karya sastra yang lebih cair ini diperjelas oleh artikel Nirwan Dewanto yang mencermati esai-esai GM sejak 1960-an. GM mementingkan sentralitas tulisan dan kebebasan pembaca untuk memberikan interpretasi. ”Cara menikmati puisi GM,” tulis Nirwan, ”ialah dengan jalan analitik, yaitu dengan mengurai unsur-unsurnya untuk mengenali keretakannya, dan melarasnya lagi, demi integritasnya” (hlm 84). Senada dengan Nirwan, Triyanto Triwikromo meneroka tulisan-tulisan GM tentang hakikat teori sastra. Kesimpulannya, teori GM mengandung teka-teki dan bersifat terbuka. Bayang-bayang Roland Barthes dalam artikel ini ditutup dengan ajakan untuk selalu menyoal tulisan-tulisan GM.
Transkrip presentasi Ulil Abshar-Abdalla menutup Bagian I. Dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang sering dikritik oleh GM, Ulil mengakui keindahan tulisan GM yang metaforik namun diwarnai ambiguitas. “Catatan Pinggir” kerap mengangkat bahaya hipokrisi agama dan GM tidak menawarkan solusi tetapi mengajak pembaca berpikir.
Setyo meyakini bahwa GM adalah pembaca, penyerap, dan penebar ide-ide filsafat melalui tulisan-tulisannya yang sastrawi.
Meneroka pemikir-pemikir kontemporer
Bahwa GM memanfaatkan pendekatan filosofis diulas tuntas pada Bagian II oleh para akademisi yang umumnya berafiliasi dengan STF Driyarkara. YD Anugrahbayu mengawali bincang fisafat dengan menyoroti kecintaan GM pada puisi meskipun filsafat menggenangi hampir setiap tulisannya. Yulius Tandyanto menyimak tafsir GM tentang Friedrich Nietzsche dan menyimpulkan bahwa manusia dumadi GM diterangi oleh konsep Übermensch Nietzsche.
A Setyo Wibowo menyumbang dua tulisan yang tidak bisa diringkas tanpa menjadi reduksionis. Setyo meyakini bahwa GM adalah pembaca, penyerap, dan penebar ide-ide filsafat melalui tulisan-tulisannya yang sastrawi. Berdasarkan empat buah artikel GM, Setyo membentangkan Nietzsche menurut tafsir GM disertai catatan dan alternatif pembacaan guna lebih memperkaya kajian Nietzsche di dan untuk Indonesia. Melalui teropong Nietzshe, misalnya, seorang fanatik terobsesi dan butuh kebenaran melebihi takaran. Ia digondeli roh memberat karena merasa dirinya mengambang. Alhasil, ia galau dan tergiur oleh ekstremisme.
Selain Nietzsche, para penulis mengulas tulisan GM dengan mengelaborasi sejumlah pemikir kontemporer, seperti Martin Heidegger, Emmanuel Levinas, Jacques Derrida, dan terutama, Theodor Adorno dan Jacques Rancière. Bambang Sugiharto dan Fitzerald Kennedy Sitorus berpendapat bahwa GM, meski tidak sepaham dengan pandangan Adorno, mengamini dialektika non-identitas dan sama-sama menolak idealisme.
Donny Danardono, Sri Indiyastutik, dan Setyo Wibowo membahas Rancière untuk membaca gagasan GM seputar politik, demokrasi, dan emansipasi. Ketiganya dengan cermat menggeluti pemikiran filsuf Perancis kelahiran Aljazair ini ketika mendiskusikan isu kesetaraan dalam tata kelola pemerintahan dan berkesenian; serta bersetuju dengan diksi yang dipakai GM, turah, untuk menyebut kaum yang termarjinalkan/the Other/Sang Liyan.
Sementara itu, Martin Suryajaya memanfaatkan metode yang lazim dipakai dalam digital humanities untuk menjelajahi korpus tulisan GM 1964-2011 seputar marxisme dan seni. Refleksi Martin: Masih relevankah membaca marxisme sebagai humanisme ketika manusia sudah dikepung oleh teknologi informasi dan dilumpuhkan oleh big data?
Selain Nietzsche, para penulis mengulas tulisan GM dengan mengelaborasi sejumlah pemikir kontemporer, seperti Martin Heidegger, Emmanuel Levinas, Jacques Derrida, dan terutama, Theodor Adorno dan Jacques Rancière.
Akhir kata, buku kenangan ini beraroma prosiding. Bagian pertama Membaca Goenawan Mohamad menampilkan tulisan-tulisan bestari yang mengalir, riang, dan membumi. Bagian kedua membawa pembaca menuju ke ruang kuliah filsafat untuk berpikir keras dan merenung di sana. Penjabaran filsafat Barat disampaikan oleh kesembilan artikel yang mengisi 70 persen dari ketebalan buku. Analitis, kritis, dialogis, dan sekaligus anggun. Ini tidak berarti bahwa sebaiknya bagian kedua diterbitkan secara terpisah.
Keenam artikel pilihan yang tersajikan pada bagian pertama telah menyediakan karpet merah bagi pembaca untuk melihat bagaimana penelaahan filsafati dapat memperjelas realitas dari berbagai sudut pandang. Buku ini berguna untuk pembaca yang sudah, belum, atau akan menjelajahi cakrawala pemikiran Goenawan Mohamad sambil belajar (mendalami) ilmu filsafat.
Novita Dewi,Guru Besar Sastra Universitas Sanata Dharma