Punakawan, Tantrisme dan Pergerakan Sosial dalam Lintasan Kereta
Dari balik suasana mistis yang diceritakan, novel ini diperkuat dengan data historis rapi. Ketidakmampuan Lembu jauh-jauh dari rel kereta mengakrabi banyak sekali data historis yang menjadi tulang punggung utama novel.

Judul: Kereta Semar Lembu
Penulis: Zaky Yamani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2022
Jumlah Halaman: 320 halaman
ISBN: 9786020664637
Dua puluh dua bab dalam novel ini akan mengantar pembaca bertualang bersama tokoh utama. Ia istimewa sejak kelahirannya. Ia dikutuk tidak bisa hidup jauh-jauh dari rel kereta api, dan sepanjang hidupnya, sebagian besar adalah perjalanan lokomotif itu sendiri. Narasi novel dijalin oleh rel kereta, kemudian bertemu dengan berbagai dinamika sosial kebangsaan dalam belantara sejarah kita. Seabad masa hidup sebagai manusia, dan lima puluh tahun menjadi arwah, Kereta Semar Lembu.
Lembu
Cerita lembu dimulai dari arwah Lembu yang bergentayangan di sekitar Stasiun Kedung Jati, Grobogan, mendadak merasakan hal aneh, sebuah pertanda âwaktunyaâ menjadi arwah akan selesai.
Di Jawa, sejarah peperangan, pembantaian, dan pembunuhan terus terjadi. Banyak tubuh tumbang dari masa ke masa. Dari Borobudur, perburuhan masa kolonial, romusha, peristiwa perang kemerdekaan, peristiwa pembantaian massal 1965-1966, penembakan misterius di masa Orde Baru, sampai reformasi.
Novel ini merekamnya dengan baik, dan percaya mereka yang mati tanpa diketahui jasadnya, tak dimakamkan layak, serta tak sempat diberikan persembahan serta doa-mantra akan menjadi arwah gentayangan. Mereka menunggu pembebasan itu datang, hal ini pula yang menimpa Lembu.
Sudah lama tiada kejadian ââpenyempurnaanâ arwah-arwah. Maka, ketika lembu akan moksha dihelatlah sebuah perayaan besar, arwah yang ada di seluruh Jawa berkumpul untuk melepas Lembu. Mengantarkan sekaligus memberi sinyal bahwa harapan itu ada meskipun harus menunggu 50 tahun lamanya.
Perwatakan Lembu ini mengingatkan saya pada panel-panel relief di Candi Jago. Kisah Karmapala, Kresnayana, dan Kuntjarakarna.
Di kening itu masih menempel dua paku besar, yang ditancapkan orang-orang yang mengeroyoknya, yang membuatnya mati dengan wajah seperti seekor lembu, dengan tanduk dan paku di kepala (hlm 7).
Perwatakan Lembu ini mengingatkan saya pada panel-panel relief di Candi Jago. Kisah Karmapala, Kresnayana, dan Kuntjarakarna. Di mana di alam lain setelah kematian, manusia bisa berkepala lembu atau hewan lainnya karena harus menanggung akibat dari apa yang diperbuat selama ia masih hidup. Juga tentang siksaan di neraka kepala manusia ditancapkan paku raksasa.
Nama Lembu sendiri lazim dipakai untuk masyarakat pedalaman Jawa. Terutama hewan-hewan yang menjadi titihan (tunggangan) para dewa dalam tradisi Hindu atupun Buddha di Nusantara.
Kisah Lembu ini akan makin lengkap ketika ia mampu melihat arwah-arwah gentayangan serta makhluk astral lainnya yang lekat-erat dalam wacana mistik di Jawa, dalam hal ini tentu saja wayang, terutama Punakawan.
Semar
âDia akan mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke udara, dan aku bisa mendengarnya bicara, dengan suara berat tapi sengau, tetapi aku tak bisa memahami ucapannyaâ (hlm 41).
Lembu kecil merasa trance ketika mendengar suara gamelan. Dalam kondisi sadar dan tidak, aroma mistik itu menguar. Lembu bertemu sosok yang bernama Semar, punakawan yang menemani Pandawa dalam epos Bharatayudha. Nama âsemarâ ini kemudian dijadikan nama tambahan Lembu.
Dengan sangat ciamik, Zaky Yamani menggabungkan Kakawin Sudamala dengan kisah si Lembu.
Punakawan sendiri sudah ada dalam khazanah Jawa Kuna. Gatotkacasyara, kisah Mahabarata yang digubah oleh Mpu Panuluh sudah menceritakan ada sosok punakawan bernama Jurudyah, Punta, dan Prasanta. Lalu, pada relief Kakawin Sudamala yang terpahat di Candi Sukuh, akhir kekuasaan Majapahit. Punakawan muncul sebagai teman perjalanan Sadewa si âragilâ Pandawa, dalam upaya pensucian Dewi Uma-Durga Umayi. Kisah pensucian ini juga disinggung dalam novel ini.
Tradisi meruwat dewi Uma yang digambarkan lewat pertalian Semar Lembu dengan Uma, lalu dipuncaki dengan persetubuhan yang intim ini mencirikan tradisi tantrisme di Jawa. Sebuah aliran kepercayaan yang mengupayakan pembebasan sebagai jalan kesempurnaan hidup. Salah satunya lewat proses persenggamaan. Dengan sangat ciamik, Zaky Yamani menggabungkan Kakawin Sudamala dengan kisah si Lembu.
Paradigma mistik Jawa ini menarik karena terjadi proses antropomorfisme. Selain soal eratnya kisah punakawanâyang kerap direpresentasikan sebagai pembimbing dan teman kawula cilik, raja-raja Jawa sering mengumpamakan dirinya adalah titisan dewa-dewa, dan berbagai tempat menggunakan toponimi berdasarkan nama-nama yang ada dalam cerita Wayang. Gunung-gunung di Jawa disucikan karena dipercaya sebagai sempalan dari gunung Meru, gunung paling suci di India yang menjadi tempat bersemayam para dewa.

Gunung Semeru dilihat dari Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Kamis (5/3/2020).
âDi kejauhan, suara-suara letusan masih terdengar. Orang-orang kemudian hari mencatat letusan Merapi pada 1872 itu...â (hlm 54).
Mbah Bagong masih diam dalam semedinya. Satu jam lagi terdengar letusan dengan gelegar yang sama kuatnya. âLe! Tanyakan kepada Mbah Bagong, apakah ada perang mendekat? Apakah ada gunung yang meletus?â ibuku berteriak panik (hlm 84).
Kejadian alam ada pertanda peristiwa penting. Hal-hal ini masih berlangsung dalam alam berpikir Jawa. Jumbuhnya alam dan manusia membuat segala sesuatu yang terjadi di alam bisa berarti satu keadaan utuh dengan kondisi manusia. Maka, manusia Jawa terus mengkaitkan peristiwa di alam semesta, di luar nalar mereka sebagai situasi spiritual alam semesta sekaligus pertanda âperkenananâ para Dewa atau sebaliknya sebagai sebuah kutukan.
Kereta
Dari balik suasana mistis yang diceritakan, novel ini diperkuat pula dengan data historis rapi. Ketidakmampuan Lembu jauh-jauh dari rel kereta mengakrabi banyak sekali data historis yang menjadi tulang punggung utama novel. Rentangnya sejak pembangunan jalur kereta api pertama di Jawa yang dilakukan oleh NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) 17 Juni 1864 hingga peristiwa dibunuhnya seluruh antek-antek sarikat buruh kereta api yang diduga bagian dari eksponen gerakan komunis tahun 1965-1966. Jalur Semarang-Tanggung-Kedungjati menjadi titik awal, hingga kemudian pembangunan rel akan merambah seluruh wilayah pulau Jawa.
Ketidakmampuan Lembu jauh-jauh dari rel kereta mengakrabi banyak sekali data historis yang menjadi tulang punggung utama novel.
Lewat kisah kereta ini, Lembu adalah pemantik representasi kehidupan sosial para pekerja pembuat rel. Mereka datang dari sejumlah desa di sekitar Semarang, bekerja dan menghidupi hidup di sepanjang tanah lurus yang mereka gali. Pelacuran, pesta, tuak, kemiskinan saling menjalin sebagai potret kehidupan buruh yang keras. Terdapat pula semacam kritik terhadap penindasan, penjajahan, serta hal-hal getir yang akan ditemui sepanjang novel.
Dari rel dan kereta, Lembu akan bertemu dengan banyak sekali tokoh pergerakan nasional. Kusno, Semaun, Bung Tomo, Mayor Moes, Henk Sneevliet dsb. Saya jadi teringat pada sebuah film berjudul Forrest Gump yang dibintangi Tom Hanks. Secara pola terjadi kemiripan. Seseorang dengan keterbatasan hidupnya bertemu dengan banyak orang penting, banyak peristiwa penting meskipun ia sendiri belum tentu memahami apa yang terjadi. Kereta Semar Lembu punya pola yang demikian juga.

Kawasan Stasiun Bringin dengan menara air serta pipa air untuk lokomotif uap di Kecamatan Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (14/9/2019). Stasitun tersebut pernah menjadi urat nandi transportasi dan perekonomian warga dari tahun 1873 hingga 1976.
Memungkasi semua, saya cukup takjub ketika akhir novel bercerita penemuan kembali tulang-belulang Lembuâdengan paku masih tertancap di kepalanyaâjuga bicara sebuah masa ketika kereta api kita berbenah. Tahun ketika Lembu diketemukan adalah tahun-tahun ketika semua stasiun direnovasi bertahap, bantalan rel diganti, kepala lokomotif âsi nguikâ, âbang Tediâ sudah diganti mesin yang baru, kereta api kini makin aman dan nyaman.
Reflektif memang. Cerita dimulai dari pembangunan rel pertama hingga pembangunan kembali secara menyeluruh ketika Ignatius Jonan menjadi pimpinan. Tanah dikeruk lagi, buruh bekerja lagi, dan kita mengingat lagi.
Desain sampul novel ini berasal dari lukisan lalu didesain ulang. Secara pembacaan utuh, novel ini menarik, hanya saja terlalu banyak porsi pelacuran yang terasa menganggu karena di masa itu hiburan rakyat tak hanya pelacuran, banyak alternatif hiburan lain, seperti kesenian musik, atau pentas wayang itu sendiri.
Novel ini menjadi pemenang I Sayembara Novel DKJ 2021 dan pemenang Sastra Tempo 2022.
(Indra Agusta, Penggiat di Komunitas Pencinta Kesusastraan Jawa Kuna dan Klasik, Sraddhasala)