Buya Syafii, Membaca Tanda Zaman
Gagasan-gagasan Buya Syafii yang terekam dalam buku ini sangat relevan dan menjadi sumber inspirasi. Buku ini menjadi referensi penting untuk membaca tanda-tanda zaman dan menjawab keresahan kita.

ilustrasi
Judul: Al-Qurâan untuk Tuhan atau untuk Manusia?
Penulis: Prof Dr Ahmad Syafii Maarif
Penyunting: Moh Shofan
Penerbit: Suara Muhammadiyah
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: XVI+298 halaman
Buya Ahmad Syafii Maarif telah pergi menghadap ke haribaan ilahi pada 27 Mei 2022 lalu. Beliau mewariskan imajinasi tentang Indonesia damai kepada bangsa-nya. Keteladanan Buya Syafii akan selalu menjadi rujukan anak bangsa, terutama mengenai persoalan keagamaan, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
Tak heran, jika kepergian Buya Syafii menjadi duka mendalam bagi segenap bangsa Indonesia. Muhammadiyah sebagai organisasi yang berperan besar dalam menjajaki kehidupannya lantas tidak membuat Buya Syafii dimonopoli sebagai tokoh Muhammadiyah. Melalui gagasan kemanusiaan yang kosmopolitan, ia menjadi guru bangsa yang senantiasa memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dan kewargaan tanpa memandang latar belakang identitas agama, organisasi, keyakinan, ras, etnis, dan budaya.
Selain dikenal sebagai tokoh pluralis, Buya Syafii juga merupakan sosok yang kritis terhadap kekuasaan. Ia tak segan melakukan kritik secara obyektif mengenai masalah-masalah aktual yang menyentuh nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Bersikap keras terhadap aksi kekerasan dan korupsi. Buya Syafii tak pernah lelah untuk memikirkan nasib bangsa Indonesia yang sangat dicintainya.
Selain dikenal sebagai tokoh pluralis, Buya Syafii juga merupakan sosok yang kritis terhadap kekuasaan.
Walaupun kerap menyampaikan kritik secara terbuka, Buya Syafii yang moderat dalam menapaki jalan dakwahnya itu, tidak serta-merta menjadikan dirinya sebagai pribadi yang bersikap ekstrem dan pesimistis terhadap masa depan bangsanya.
Buku Al Qurâan untuk Tuhan atau untuk Manusia (Suara Muhammadiyah, 2022) setebal 298 halaman ini salah satu dari banyak karya Buya Syafii yang menunjukkan komitmennya dalam mendakwahkan Islam moderat sekaligus bersikap kritis terhadap isu-isu kebangsaan dan kemanusiaan. Buku ini menjadi referensi penting untuk membaca tanda-tanda zaman dan menjawab keresahan kita dalam menanggapi berbagai masalah hidup bersama yang berkaitan dengan keagamaan dan kemanusiaan. Gagasan-gagasan Buya Syafii yang terekam dalam buku ini sangat relevan dan menjadi sumber inspirasi.
Epistemologi Al-Qurâan Buya Syafii
Kasus bom bunuh diri yang menyasar kantor polisi di Astanaanyar pada 7 Desember 2022 lalu adalah contoh memilukan betapa agama dapat ditafsirkan secara serampangan sehingga mengakibatkan tragedi kemanusiaan. Menurut keterangan kepolisian, pelaku masih berjejaring dengan kelompok terorisme setelah dibebaskan. Artinya, program deradikalisasi tampaknya belum berhasil menuntaskan akar persoalan munculnya potensi seseorang menjadi teroris.

Paham keagamaan serba kaku yang melahirkan ekstremisme, menurut Buya, disebabkan oleh dua hal. Pertama, faktor pemberhalaan sejarah. Kedua, faktor pemahaman ajaran yang tidak dikoreksi oleh sumber utama ajaran, yaitu Al Quran (hlm 13). Gagal paham ini disebabkan karena pemahaman terhadap Al Quran yang partikular, padahal Al Quran adalah kitab pedoman etik atau moral yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Buya Syafii telah menjawab keresahan itu. Bagian pertama buku ini, yang bertajuk âAl-Qurâan dan Pesan-pesan Kemanusiaan Universalâ, cukup rinci menguraikan bagaimana sebaiknya sikap seseorang dalam memahami agama. Buya menggugat diktum paham keagamaan yang bercorak teosentris (hlm 3). Menurut dia, Tuhan sama sekali tidak memerlukan manusia, melainkan manusialah yang memerlukan Tuhan. Mengutip Fazlur Rahman, pemikir progresif asal Pakistan yang banyak berinteraksi dengan Buya di Chicago, Al Quran adalah sebuah dokumen yang secara tepat diperuntukkan untuk keperluan manusia (hlm 4).
Buya menguraikan setidaknya ada lima tema besar yang menjadi fokus Al Quran: Pertama, Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia; kedua, manusia sebagai individu; ketiga, manusia dalam masyarakat; keempat, alam semesta; kelima, kenabian dan wahyu. Buya menyimpulkan bahwa dari tema-tema pokok Al Quran yang telah diuraikan tergambar jelas bahwa posisi Al Quran berfungsi sebagai pedoman moral dan etik manusia (hlm 12).
Tentunya, kesimpulan tersebut tidak dicetuskan secara serampangan oleh Buya. Buya Syafii sendiri telah merefleksikan sejarah dan realitas kekinian secara kritis yang menjadi basis argumentasinya. Buya kemudian melihat realitas sejarah Arab yang sering kali diidentikkan dengan sejarah umat Islam.

Merefleksikan sejarah dan realitas kekinian
Fakta sejarah harus diungkap secara jujur, betapapun pahitnya itu. Buya Syafii berangkat dari refleksi sejarah yang terjadi pada masa kepemimpinan Khulafaâ Ar-Rasyidin keempat, Ali Bin Abi Thalib ketika umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan bahkan sekte. Umat Islam terkotak-kotakkan menjadi Sunni dan Syiah, dan anehnya, fragmen sejarah ini kemudian dijadikan ukuran kebenaran sampai hari ini (hlm 17). Inilah bentuk pemujaan terhadap sejarah yang tidak perlu.
Apakah hanya karena umat Islam sempat menjadi mercusuar peradaban lantas fakta tentang kebobrokan saat itu tidak boleh diungkap dengan alasan merendahkan Islam? Tidak. Bagi Buya Syafii, mengacu pada pandangan dunia Al Quran, dunia Islam yang sangat rapuh ini bisa diubah dengan jalan mengoreksi secara jujur perilaku menyimpang yang dianggap benar selama ini. Mengutip Al Quran surat Ar-Raâdu ayat 11, Buya menekankan bahwa perubahan sikap batiniah-lah yang amat mendesak kita lakukan (hlm 37).
Dalam pandangan Buya Syafii, kegagalan pemikir Islam puritan dan konservatif adalah merujuk pada romantisisme kejayaan Islam pada abad pertengahan di dunia Arab. Akhirnya, produk pemikiran yang dihasilkan hanya berisi gagasan yang apologetik dan antiproduktif. Narasi seperti ini hanya menjadikan umat Islam semakin tenggelam dalam buritan peradaban. Lagi-lagi, sejarah tidak direfleksikan untuk membangun masa depan, tetapi dijadikan pembenaran atas praktik tiranik dan despotik yang menyengsarakan masyarakat.
Kritik internal yang dilakukan Buya tidaklah didasari oleh sikap islamofobia yang sering kali dituduhkan kepadanya. Buya pun kerap melancarkan kritik atas penyematan terorisme dengan agama seperti yang sering dilakukan oleh pihak Barat. Sebab, jalan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan lainnya (hlm 129).

Buya semata-mata melakukan hal ini sebagai bentuk kecintaannya kepada bangsa Indonesia. Buktinya, Buya juga sangat lugas menyuarakan kritik atas imperialisme gaya baru yang dilakukan negara-negara Eropa di Timur Tengah, salah satunya melalui tulisan berjudul âBumi Para Nabi yang Semakin Tandus dari Nilai Kerohanianâ (hlm 39).
Dalam tulisan tersebut, Buya Syafii menyoroti persoalan Palestina yang belum selesai hingga hari ini. Rumitnya persoalan tersebut setidaknya disebabkan oleh tiga hal, pertama, negara Israel adalah proyek neo-imperialisme Amerika Serikat. Intervensi AS sangat terlihat semenjak berdirinya Israel pada 1948. Kedua, kondisi dunia Arab dan Palestina yang begitu rapuh sehingga tak ada satu negara Arab pun yang sungguh-sungguh memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Ketiga, secara internal, rakyat Palestina sendiri tidak kompak dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Terbelahnya faksi Fatah yang moderat dan faksi Hamas yang radikal membuat masalah semakin runyam.
Begitulah Buya Syafii menggambarkan bahwa dunia Arab yang selama ini menjadi prototipe negara Islam ternyata sangatlah rapuh. Buya Syafii seakan-akan memperlihatkan kepada kita semua betapa pentingnya nilai spiritual sebagai sumber perdamaian. Inilah yang gagal dipahami oleh umat Islam, terutama manusia seluruhnya bahwa bangunan kemanusiaan yang telah susah payah ditegakkan oleh para nabi dan rasul ternyata dikhianati terang-terangan (hlm 41).
Menurut Buya, agama yang dipahami secara benar pasti akan beradab, berbudaya, dan lapang dada dalam menyikapi perbedaan.
Dalam tulisan âKetika Paham Agama Jadi Ancamanâ, Buya Syafii tidak sepakat dengan pendapat Bertrand Russel yang menyatakan bahwa agama harus ditolak karena daya rusaknya yang dahsyat. Menurut Buya, agama yang dipahami secara benar pasti akan beradab, berbudaya, dan lapang dada dalam menyikapi perbedaan. Dosa terbesar imperialisme Barat adalah ingin mempertahankan strategi hegemoniknya untuk meraup keuntungan ekonomi politik dari negara-negara yang sedang berkembang, terkhusus negara-negara Arab yang masih sangat rapuh (hlm 108).
Pada akhirnya, Buya Syafii mengingatkan kita semua bahwa Al Quran adalah pedoman bagi seluruh manusia. Manusia adalah aktor utama yang harus selalu menekankan sikap mawas diri dan sadar dengan sepenuhnya bahwa hidup akan berujung pada kematian. Hidup dan mati harus dipertanggungjawabkan kepada sang pencipta secara pribadi.
AR Bahry Al Farizi, Divisi Penelitian dan Pengembangan Pegiat Pendidikan Indonesia (PundiI)