Kisah Manusia dalam Fatamorgana
Salah satu ciri dari kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini adalah leburnya polaritas dalam narasi dan karakter para tokohnya. Hidup sungguh tidak hitam-putih.

Judul Buku: Sesungguhnya Aku Menunggu
Penulis: Noviana Kusumawardhani
Penerbit: Kanisius
Tahun: 2022
Tebal: 136 halaman
ISBN: 978-979-21-7383-2
”Aku menemukanmu pada sebuah ruang bernama sepi….”
Suasana dunia batin yang temaram tersirat dalam sepotong kalimat dari cerita ”Lelaki yang Membelah Bulan”, kisah yang dihimpun Noviana Kusumardhani dalam kumpulan cerita pendek, Sesungguhnya Aku Menunggu (Kanisius, 2022).
Dalam remang, kita melihat dunia yang penuh poradoks dan menemukan rangkaian huruf di lembar-lembar buku tanpa kertas. Semuanya tersurat tetapi tak terbaca; nyata tetapi berada di luar jangkauan, sehingga kita ciptakan imajinasi mulai dari yang paling lembut sampai yang paling liar.
Narasi dalam kisah-kisah pada kumpulan cerita pendek Novi bukan tentang apa yang ada; juga bukan tentang yang tertulis. Cerita-cerita fiksi itu memiliki subyek eksplisit dan implisit, yang nyata dan yang tak teruraikan, dan kita bisa tersesat kalau membacanya sepintas saja.
Beberapa ceritanya seperti kisah biasa, tetapi tidak umum dan menunjukkan sisi buram manusia yang mengejar kesempurnaan sekaligus keabadian; berebut menggapai kenikmatan sekaligus kemurnian surgawi dengan cara-cara yang tak bisa dicerna nalar.
Dalam ”Ketika Kematian Tidak Ada Lagi” (hlm 20), Novi menunjukkan jenis keserakahan itu. Kisah ini menyerempet sisi ke ”aku” an juga ego ”kesucian” sehingga kita seperti membaca diri dalam cermin yang disodorkan melalui narasinya.
Semua konflik yang tampak di tingkat permukaan dari kisah-kisah itu hanya bisa ditelusuri melalui deskripsi dari suatu kondisi yang kerap disebut sebagai kesepian dan ketakutan. Novi mengungkapkannya melalui tengara alam: awan, hujan, pelangi, bintang, matahari, cahaya, daun, tanah, hutan, pohon, dan lain-lain. Semua berkelindan.
Dengan semua itu, Novi mendedah secara kritis semua dogma, termasuk yang banyak dibaca dalam buku-buku mengenai spiritualisme zaman baru mengenai berbagai notion; termasuk penolakan terhadap kesedihan, serta hal-hal yang dipandang lemah dan buruk. Keniscayaan dualitas dimaknai secara sempit.
Hidup, sungguh tidak hitam-putih. Segala sesuatu berada dalam spektrum warna serta kelindan di antara semua dalam hubungan antarmanusia, sekali pun saling menghancurkan.
Magis-kontemplatif
Salah satu ciri dari kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini adalah leburnya polaritas dalam narasi mau pun karakter para tokohnya. Hidup, sungguh tidak hitam-putih. Segala sesuatu berada dalam spektrum warna serta kelindan di antara semua dalam hubungan antarmanusia, sekali pun saling menghancurkan.
Dalam pengantarnya, budayawan Goenawan Mohamad mengingatkan pada suatu masa di mana prosa Indonesia diperkenalkan dengan kisah-kisah magis yang tak pernah ada sejak zaman Balai Pustaka, pada awal abad ke-20. Sejak Danarto menulis ”Godlob” dan cerita lainnya pada akhir tahun 1960-an, sastra dimungkinkan untuk bercerita tentang kehidupan ”aneh” yang menyeruak dalam kehidupan sehari-hari. Novi, tulis Goenawan, meneruskan tren ini.
Danarto, sastrawan terkemuka (1940-2018), memasukkan unsur mistisisme Jawa dalam karya-karyanya, dan menunjukkan keterhubungan antara jagad alit (diri manusia) dan jagad ageng (semesta); antara yang maya dan yang nyata.
Novi tampaknya menggunakan pendekatan ”magis-kontemplatif”, dengan memakai simbol dan metafora untuk menyampaikan pesan.
Novi tampaknya menggunakan pendekatan ’magis-kontemplatif’, dengan memakai simbol dan metafora untuk menyampaikan pesan.
Dalam ”Kelahiran Sri”, dia menempatkan kehadiran dan ketiadaan pada satu tataran. Si tokoh adalah anak yang dilahirkan dari hasil pemerkosaan. Dia dijuluki ”anak jin” dan dipanggil, ”Ndhuk”, karena orang tak pernah tahu siapa bapaknya. Sang Ibu menutup rapat tentang pemerkosaan yang dilakukan kepala desa.
Endapan kemarahan dalam diri si tokoh dinarasikan dalam kias dan gambar mengerikan. Namun, kemurkaan dan hasrat membunuh yang meletup itu leleh ketika dia mendengar suara sang tetua yang menyapanya lembut, ”Sri…”.
Lalu dipegangnya jemari anak yang bergetar dan lunglai, ”Namamu adalah simbol dari ibu Bumi. Apapun yang dilemparkan ke bumi, kotoran dan apa pun, tetap dibalasnya dengan kebaikan, dengan kasih yang luar biasa.…” (hlm 127).
Kata-kata itu mengubah semua kepedihan di hatinya menjadi cahaya yang berputar, semakin lama semakin membesar dari dalam dadanya. Cahaya itu yang menyembuhkan si kepala desa dan menyelimuti seluruh desa. Sri lebur dalam cahaya itu. Di tempat dia raib, tumbuh sebatang pohon besar berbunga harum semerbak. Warga desa tetap menyadari keberadaan Sri dan selalu menyapanya dengan bahagia.
Kita bisa menginterpretasikan sang tetua sebagai apa pun, yang suaranya merambat memasuki kedalaman diri dan memungkinkan pembalikkan keadaan; dari dendam menjadi pengampunan dan welas asih. Barangkali inilah yang disebut pencerahan.
”Mari segera kosongkan segala merah bernama darah dari segala yang berbunyi detak…” adalah gambaran waktu dari kerinduan di atas guratan luka. Stasiun, perempuan yang menunggu tanpa tahu yang ditunggu ketika air mata kehilangan maknanya, kita jumpai dalam ’Sesungguhnya Aku menunggu’ (hlm 43-49). Seperti pendulum, di dalam waktu, kita terayun dan selalu bertemu di tempat kita berangkat.
Maka, pergi dan pulang bersifat konotatif. Kehilangan dan menemukan bukan berlawanan, kalau misterinya bisa dipecahkan, seperti dalam kisah ”Penari Hujan” (hlm 59).
Novi mengusik mereka yang menolak sisi muram manusia dalam ”Rongga” (hal 27). Kesedihan ditaruh di ujung paling sepi di hati. Dia dipaksa hilang dari perbendaharaan hidup. Apakah lantas karena itu, bahagia menyelimuti setiap hati? Tidak! Yang terjadi justru penderitaan yang makin pekat.
Desa diliputi kemurungan panjang. Bahagia menyembul justru melalui tangis dan air mata. Setelah teka-teki terselami, orang menemukan kembali kemanusiaannya secara utuh setelah mengalami keterbelahan. Kisah serupa disodorkan dalam ”Kota Tanpa Kata dan Air Mata” (hlm 99).
Melalui kisah-kisah dalam kumpulan cerpen itu, tampaknya Novi hendak mengingatkan, bahwa pemaknaan spiritualitas tak perlu muluk-muluk.
Melalui kisah-kisah dalam kumpulan cerpen itu, tampaknya Novi hendak mengingatkan, bahwa pemaknaan spiritualitas tak perlu muluk-muluk. Dalam keseharian, jalanilah semua pengalaman dengan sadar penuh, sebagai akibat; apa pun penyebabnya. Rahasia besar bernama ”penerimaan” itu membuka jendela dan pintu diri, membuat yang ruwet terurai, yang hilang arah, menemukan.
Semuanya terlampaui karena justru yang pahit adalah jalan untuk bisa mengecap rasa manis. Bagaimana mengenal cahaya kalau tak mau mengalami gelap; bagaimana mengenal musim semi kalau tidak mau melintasi musim gugur; bagaimana mengenal tawa kalau tak mau melewati air mata.
Dualitas hidup adalah suatu keniscayaan, tetapi di dalam yang niscaya itu tersembunyi kepenuhan bagi yang bersetia dalam peziarahan. Sesungguhnya Aku Menunggu….***
Maria Hartiningsihpenulis, pembelajar.