Keluarga yang Tidak Pernah Lengkap
Bertentangan dengan gambaran umum tentang keluarga, yang biasanya digambarkan sebagai tempat berlindung dari kerasnya dunia luar, sosok keluarga kumpulan cerpen ini memperlihatkan hal yang sebaliknya. Sarat kekerasan.

Judul Buku : Satu Keluarga Telah Lengkap
Penulis : Bulan Nurguna
Penerbit : Basabasi
Tahun terbit : Agustus, 2022
Jumlah halaman : 132 hlm
ISBN : 978-623-305-292-4
Menulis cerita pendek adalah perihal menampilkan satu bagian kecil dari serial kehidupan yang seringnya luput atau terabaikan. Satu bagian kecil ini harus mampu memberikan suatu pandangan atau gambaran yang berbeda dari gambaran umum tentang sesuatu, dan sepertinya hal itulah yang berupaya ditonjolkan Bulan Nurguna dalam kumpulan cerpen Satu Keluarga Telah Lengkap (Basabasi, 2022).
Bertentangan dengan gambaran umum tentang keluarga, yang biasanya digambarkan sebagai tempat berlindung dari kerasnya dunia luar, sosok keluarga kumpulan cerpen ini memperlihatkan hal yang sebaliknya. Alih-alih sebagai tempat berlindung, keluarga justru menjadi pelaku sekaligus ruang tempat terjadinya kekerasan. Jika kebahagiaan merupakan tujuan hidup manusia, maka keluarga dalam kumpulan cerpen ini merupakan sosok antagonis yang menghalangi manusia mencapai tujuannya.
Beberapa cerita dalam kumpulan ini terang-terangan menjadikan keluarga sebagai antagonis. Beberapa masih terasa samar-samar seperti pada cerpen pembuka Munmun dan Sansan. Sekilas jika dibaca cerpen ini tidak berbicara tentang keluarga karena cerpen ini menempatkan lokus cerita pada hubungan sepasang manusia berbeda jenis kelamin. Tetapi jika diperhatikan dengan lebih teliti, ada satu peristiwa kecil berhubungan dengan perkara keluarga yang tak tampak signifikan, namun mampu menggerakkan cerita. Ketika Munmun bertanya di mana ayah Sansan, Sansan berkata ayahnya tidak pernah ada. Lalu ketika Munmun mendesak karena jawaban Sansan tidak cukup menjelaskan, Sansan marah dan mengusirnya. Hilangnya tokoh ayah menjadi penyebab pertengkaran pertama mereka yang kemudian menciptakan rangkaian peristiwa lain.
Alih-alih sebagai tempat berlindung, keluarga justru menjadi pelaku sekaligus ruang tempat terjadinya kekerasan.
Tokoh ayah dalam kumcer ini sering sekali menghilang atau dihilangkan. Misalnya pada cerpen "Munmun dan Sansan", "Di Bawah Pohon Bidara", "Kirana dan Ibunya", dan "Satu Keluarga Telah Lengkap". Jika tidak dihilangkan, maka tokoh ayah dilucuti kekuasaannya seperti pada cerpen "Ibu dan Anjing" dan cerpen "Gaun Wanita Tua". Jika tidak dilucuti kekuasaan-nya, maka ayah tidak punya pihak yang bisa didominasi seperti dalam cerpen "Ruang Tamu" di mana anak dan istrinya pergi meninggalkannya.
Sebaliknya, tokoh ibu malah dibuat sangat berkuasa. Begitu kontras dengan gambaran ibu pada narasi arus utama, di mana ibu adalah sosok lembut yang berjalan ribuan kilo hanya untuk anaknya seperti pada lagu Iwan Fals; ibu dalam cerita ini adalah ibu yang berbeda, ibu yang menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi anak-anaknya. Ibu dalam cerita ini adalah ibu yang gemar melakukan kekerasan, baik verbal maupun fisik.
Cerita-cerita yang terangkum dalam kumpulan ini sebenarnya bukanlah cerita yang sama sekali baru. Ceritanya seputar istri yang ditinggalkan suami, suami yang ditinggalkan istri, anak-anak yang dianiaya ibunya, anak-anak yang jadi beban orang tua, dan anak-anak yang dipaksa memenuhi hasrat orang tuanya. Mungkin cerita seperti ini bukan yang pertama, tapi suara-suara dalam cerita ini tidak sama dengan kebanyakan cerita bertema serupa.

Suara-suara yang muncul dalam cerita ini adalah suara perempuan, pengusaha, kaya, dan mandiri, yang masih jarang terdengar pada cerpen-cerpen Indonesia. Hal ini membuat kesegaran sudut pandang lebih terasa. Namun, agak berbeda dengan apa yang ditulisnya pada bagian paling belakang buku, pengarang seperti tidak atau belum cukup memberi jarak pada peristiwa dan emosi; cerita-cerita dalam kumpulan cerpen ini masih terasa kental muatan emosinya.
Beberapa cerita bahkan terasa sebagai pelampiasan emosi pengarang. Bahkan ada bagian yang secara eksplisit memperlihatkan pengarang belum mampu meredam emosinya. Salah satunya muncul dalam cerpen "Perempuan Gundul" di mana narator terang-terangan berkata:
βLambat laun seluruh anggota keluarga menua. Yang tua menjadi bergantung kepada yang muda, ingin diperlakukan sebagaimana orang tua. Namun, tunggu dulu, seseorang akan membalas dendam dalam aksara yang diterbitkan media masa di Indonesia.β
Nuansa emosinya memang kental, tapi itu juga yang membuat cerita-cerita dalam kumpulan ini punya daya letup yang memberi hentakan ketika dibaca. Selain itu, cerita-cerita pada kumpulan ini juga memberi kesegaran dengan konsistensinya memunggungi segala hal yang dipandang positif dalam narasi arus utama seperti keluarga, agama, dan pendidikan (sekolah) yang secara gamblang diperlihatkan celanya. Lalu sosok-sosok terpuji seperti ayah, ibu, atau sosok yang umumnya digambarkan teraniaya seperti orang miskin, yang mana di kebanyakan cerita bertema serupa muncul sebagai sosok protaganis, namun pada kumpulan ini lebih sering diposisikan sebagai antagonis.
Alliurridha, esais dan prosais. Ia tinggal di Gunungsari, Lombok Barat.