Sukidi dan Jalan Penuh Cabang Menuju Pembaruan Islam
Ada dua narasi dalam buku ini. Pertama, tentang Sukidi sebagai tokoh dengan kisah hidup yang inspiratif. Kedua, sebagai pemikir yang gagasan-gagasannya menjadi perbincangan para cendekia Muslim di Indonesia.
Judul Buku: Sukidi Inspirasi dan Api Pembaruan Islam dari Harvard
Editor: Kamil Alfi Arifin
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun cetak: Pertama, September 2022
Tebal buku: 193 halaman
ISBN: 978-602-06-6503-0
Selama beberapa tahun terakhir, sosok Sukidi Mulyadi memperoleh ”sambutan” publik intelektual dalam dua narasi besar: pertama, sebagai tokoh dengan kisah hidup yang inspiratif; kedua, sebagai pemikir yang gagasan-gagasannya menjadi perbincangan para cendekia Muslim di Indonesia.
Narasi pertama lebih membicarakan Sukidi dan pergulatan hidupnya dari seorang anak keluarga petani di perdesaan Sragen, Jawa Tengah, sampai keberhasilannya meraih gelar doktoral di salah satu universitas top dunia, Harvard, Amerika Serikat. Sementara narasi kedua mengacu pada ulasan-ulasan mengenai pemikiran Sukidi, terutama gagasan-gagasan pembaruan Islam, yang dilontarkannya dalam banyak forum diskusi seperti ceramah-ceramah publik.
Dua narasi besar itulah yang terangkum dengan cukup rapi dalam buku berjudul Sukidi: Inspirasi dan Api Pembaruan Islam dari Harvard. Pertama kali diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada September 2022 lalu, buku setebal 193 halaman ini berisi kumpulan tulisan, baik catatan, karya jurnalistik, maupun esai, dari berbagai kalangan yang menaruh perhatian terhadap sosok kader Muhammadiyah tersebut, baik karena kedekatan personal maupun ketertarikan terhadap corak pemikirannya.
Bagian-bagian awal buku ini berisi catatan personal sejumlah tokoh yang berteman baik dengan Sukidi. Salah satunya cendekiawan NU, Ulil Abshar-Abdalla, yang menulis catatan agak panjang untuk mengucapkan selamat atas keberhasilan kawannya tersebut setelah berhasil mempertahankan disertasi di depan tiga sarjana raksasa dalam studi Islam: Prof William A Graham, Prof Roy Muttahedeh, dan Prof Ali Asani.
Dua narasi besar itulah yang terangkum dengan cukup rapi dalam buku berjudul Sukidi: Inspirasi dan Api Pembaruan Islam dari Harvard.
Selain memberi ucapan selamat, beberapa penulis dalam buku tersebut turut merayakan keberhasilan Sukidi sembari mengenangnya sebagai intelektual Muslim yang gema pemikirannya begitu dirindukan. Misalnya, diungkapkan Zuhairi Misrawi, intelektual NU dan Dubes Indonesia di Tunisia yang catatannya dimuat dalam buku ini, bahwa Sukidi pernah populer menjadi kolumnis prolifik harian Kompas di era 1990-an hingga awal 2000-an dan bahkan disebut-sebut sebagai reinkarnasi Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Masih dalam catatannya, Zuhari Misrawi menganggap Sukidi adalah sosok yang mampu menerjemahkan pemikiran Cak Nur dengan baik dan istimewa. Sukidi, dalam acara Cak Nur Urban Sufism 2021 lalu, secara pribadi juga mengakui jasa besar Cak Nur dalam perjalanan intelektualnya. Namun, pada perkembangannya, Sukidi justru menemukan satu topik penting yang luput dari agenda pembaruan Cak Nur: membaca Al Quran dengan lensa tradisi tafsir.
Selanjutnya buku ini memuat ragam pandangan penulis yang menyorot bagaimana Sukidi—dalam disertasinya ”The Gradual Qur’an: The Views of Early Commentators dan ceramah-ceramah pembaruannya sepulang dari Harvard—menaruh perhatian terhadap pentingnya memahami Al Quran melalui tafsir yang dihasilkan para mufasir terdahulu. Gagasan Sukidi ini sekaligus merespons wacana kembali kepada Al Quran yang merupakan gaung dari modernisme Islam.
Para cendekiawan yang memegang semangat pembaruan modernisme Islam meyakini bahwa Tuhan telah memberikan makna kepada kitab suci tersebut. Sehingga, makna harus dicari di dalam teks Al Quran secara langsung karena gagasan modernisme Islam menempatkan Al Quran sebagai sumber pengetahuan dan sekaligus sumber otoritas.
Namun, Sukidi mengkritik wacana kembali ke Al Quran tersebut. Menurut dia, Al Quran tidak memiliki makna inheren dalam teksnya. Makna Al Quran baru muncul ketika terjadi interaksi antara dirinya dan pembaca atau mufasir. Dengan kata lain, makna tidak berasal dari Tuhan atau proses pewahyuan, tapi makna adalah produk manusia. Oleh karena itu, gagasan kembali ke Al Quran secara langsung untuk memahami makna dirinya sangatlah muskil, sebab sepeninggal Nabi Muhammad, tidak ada manusia yang betul-betul mampu memahami hukum Tuhan secara mutlak. Kompleksitas makna Al Quran hanya bisa dipahami melalui tafsir atau proses pembentukan makna yang dihasilkan para mufasir terdahulu.
Gagasan kembali pada tradisi tafsir barangkali sudah sering bergema dalam ranah studi Islam, terutama di kalangan Muslim tradisional yang sejak dulu akrab dengan khazanah kitab-kitab ulama klasik. Namun, yang menjadi tawaran baru Sukidi adalah bagaimana merevitalisasi tradisi tafsir itu dalam konteks gerakan dan pemikiran pembaruan Islam. Gagasan ini menjadi antitesis bagi pembaruan modernisme Islam yang menekankan bahwa, untuk memahami firman Tuhan, kita perlu merujuk teks Al Quran langsung secara literal dan rasional, tanpa melihat konteks historis pewahyuannya.
Namun, yang menjadi tawaran baru Sukidi adalah bagaimana merevitalisasi tradisi tafsir itu dalam konteks gerakan dan pemikiran pembaruan Islam.
Padahal, langsung kembali ke Al Quran, menurut Sukidi, hanya akan membuat seseorang tidak memperoleh apa-apa karena tidak ada makna inhenren di dalamnya, kecuali menafsirkan ayat-ayat kitab suci tersebut sesuai pikirannya sendiri. Oleh karena itu, ia mempertegas pentingnya tafsir yang dihasilkan dari ruang-ruang tradisi intelektual para mufasir sejak era awal Islam. Dengan kembali ke tradisi, kita akan memiliki rujukan dalam pemaknaan Al Quran yang sangat kaya dan beragam.
Demikianlah, buku ini bisa menunjukkan jalan penuh cabang untuk kita menuju sosok Sukidi dan gagasan pembaruan yang ia tawarkan. Ketika membacanya, saya pribadi merasa seperti diajak berkeliling untuk menjelajah berbagai rute ke arah intelektualitas Sukidi yang mengembuskan dinamika pemikiran Islam kepada publik dengan mengembalikan otoritas para mufasir dalam upaya memahami Al Quran sebagai kitab suci.
Khumaid Akhyat Sulkhan. Akademisi dan penulis lepas. Saat ini tinggal di Yogyakarta