Spiritualitas Penyerahan Diri Pengarang
Membaca kumpulan cerpen ”Jalan Kecil” karya Dewi Musdalifah adalah menafsir spiritualitas penciptanya. Tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen ini menggelorakan getar spiritualitas tertentu.
Kreativitas untuk lepas dari klaim kebenaran tunggal dapat melalui keyakinan pada eksistensi bahasa dan bahasa eksistensi. Maka, pengarang buku ini menganggit cerpen dengan taburan bahasa puitik; puisi, metafora, tamsil, adagium, simbol, imaji-fantasi.
Membaca kumpulan cerpen Jalan Kecil (Pagan Press, 2022) karya Dewi Musdalifah adalah menafsir spiritualitas penciptanya. Tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen ini menggelorakan getar spiritualitas tertentu—ikhwal jiwa, makna, eksistensi, dan penyerahan diri sebagai moralitasnya.
Pengarang (yang sekaligus penafsir) tak lagi menatap dalam bahasa filsafat, kesederhanaan peristiwa sehari-hari, kesahajaan ”subyek” dan ”obyek”, ugahari hitam-putih. Kerumitan cerpen ditengarai oleh ”subyek” yang sekaligus ”obyek”, tersingkapnya kesederhanaan yang padanya terkandung pula kerumitan.
Cerita-cerita di buku ini hampir tiada yang langsung menghadirkan spiritualitas dogmatis, teologis, religius—kecuali ”Lelaki yang Berumah Sepi” (hlm 90). Kisah bapak dan anak yang menunggu tamu terindah di ruang sunyi: kematian atas nama cinta. Sang ayah rindu roh istrinya yang tiada, si anak sepi oleh kemuakan musik yang jadi perayaan di dunia. Ia rindu orkestra sakral di alam lain.
Cerpen ini mengingatkan tawakal yang disebut tertinggi dalam Ihya Ulumuddin; penyerahan diri hamba kepada Tuhan diibaratkan mayat sedang dimandikan. Dalam konteks eksistensialis, terhubung dengan makna iman (Al Maidah:23), agar manusia tak merugi (Al ’Ashr:3).
Membaca kumpulan cerpen Jalan Kecil (Pagan Press, 2022) karya Dewi Musdalifah adalah menafsir spiritualitas penciptanya.
Kesadaran ”ada” kematian inheren eksistensi terhubung sejak keterlemparan-kecemasan. Kematianlah yang paling otentik, dan tak seorang pun dapat menjemputnya untuk orang lain. Seperti halnya kelahiran hanya bagi dirinya. Dalam kalimat Heidegger, ”Kelahiran tidak dan tak pernah merupakan hal yang telah lewat.., begitu juga kematian, bukanlah hal yang belum ada….”
Kelahiran dan kematian adalah spiritualitas penyerahan diri yang paling pribadi; paling subyektif sekaligus obyektif, ada sekaligus tiada, kedatangan dan kepergian, hilangnya sekaligus terpenuhinya segala kemungkinan.
Meneroka yang tak terhingga
Dalam buku ini, lima cerpen mengetengahkan spiritualitas terkait alam, tujuh cerpen merujuk spiritualitas masalah kemanusian, tiga cerpen berwujud spiritualitas dalam fantasi-misteri-simbolik.
”Pertapa Penggenggam Mata Air”, awal buku ini, mengisahkan nelayan yang memecahkan misteri ilmu kesabaran dan ikhlas. Kepada putrinya, sang nelayan menyingkap rahasia penyerahan diri kepada semesta, kemungkinan terbukanya takdir laut dan ikan-ikan. Spiritualitas sang ayah menerbitkan kehendak sang anak membuka diri pada ombak yang berakhir jadi sahabatnya.
Pergulatan cinta seorang gadis melawan tradisi pernikahan sekampung dalam ”Cinta dan Pemberontakan” (hlm 26), semacam absurditas cinta. Gadis lari dari budaya dan kampungnya, justru menjalin cinta, menikah dengan lelaki sekampung pula dengannya. Cerita ini mengingatkan kisah sufi ikhwal takdir pembantu saudagar di hadapan Malaikat Maut. Ketakutan si pembantu saudagar, pelarian dan persembunyian di Samarra, justru inilah tempat Malaikat Maut sesuai akad takdir akhir pembantu itu.
Ilustrasi
Nastiti dan Joe gambaran pelik penyerahan sekaligus penyingkapan diri dua insan pecinta. Suatu spiritualitas cinta; sarat dengan ”kondisi cinta”; batin, penyingkapan, pengasingan diri, dan tentu saja penyerahan diri. Yakni ketiadaan-peniadaan untuk tujuan kebersamaan dengan kekasih; ketika seseorang memberikan seluruh diri kepada yang dicintai tanpa suatu sisa, bahkan untuk diri.
Buku ini ditutup ”Manusia Aneh” (hlm 131)—kisah sejoli yang berusia di ujung senja, pertemuan pascajatuh cinta lebih dari 20 tahun silam. Terang cerpen ini hendak menyingkap spiritualitas penyerahan diri melalui cinta terkait konsepsi waktu; masa silam, kini, dan mendatang.
Penyerahan diri, pengutuhan suasana dan getar hati kecemasan tokoh, bertemulah dengan otentisitasnya, eksistensinya, dalam kesehariannya serta harapan dan hasratnya. Tokoh mencari, dan menemukan keyakinan bahwa kecemasan sejak masa silamnya adalah kesadaran harapan realitas cinta di masa depan. Masa depan adalah hari ini, dan masa silam tak berarti terlewat. Segala ini justru mengotentikkan diri dalam waktu eksistensi penyerahan diri.
Eksistensi etre-pour-soi (Jean Paul Sartre), manusia sebagai sebuah kemungkinan yang terbuka, tergambar di ”Manekin Itu Berbicara” (hlm 56). Pengarang mengeksplorasi tak terhingga antara manusia dan manekin. Kebebasan sebagai kemungkinan berakar dari kesadaran diri, dipantik oleh kesadaran terhadap segala yang di luar diri, lingkungan, benda, termasuk atas pengingkaran terhadap dirinya.
Menjadi wajar jika cerita dalam buku ini meneroka yang tak terhingga sebagai kemungkinan, liar dari bahasa umum, pengetahuan khalayak; yang hadir sebagai sesuatu dunia atau tokoh jamak disebut aneh, bodoh, mabuk, gila, gaib, mistik—dalam arti supranatural, misterius, asing, horor dan sejenisnya.
Kebebasan sebagai kemungkinan berakar dari kesadaran diri, dipantik oleh kesadaran terhadap segala yang di luar diri, lingkungan, benda, termasuk atas pengingkaran terhadap dirinya.
Kepaduan dari yang tercerai-berai
Sebuah cerpen kompleks sejak dalam dirinya. Buku ini tak sebijak filsafat, Tuhan, juga tak sebajik manusia penyelamat umat paling sahih di dunia.
Meski Dewi Musdalifah seorang pendidik, justru ia keras menghindari apa yang selama ini keliru dipahami guru yang menulis cerita—jamak tentang cerita sebagai dogma, nasihat, ajaran, pesan, pembentuk karakter dan kepribadian.
Pengarang buku ini tak pernah memperalat ayat dari kitab suci apa pun. Dia tak tergoda konfrontasi benar-salah, besar-kecil, meski tak berarti sonder keberpihakan di sejumlah cerpennya. Cerpennya kontekstual. Tepatnya, dekonstruktif. Dia menelisik agama melalui filsafat, mendalami filsafat dari perspektif agama, serta memaknai keduanya dengan tafsir sastrawi.
Jika kredo Heidegger, ”penafsiran dan pemahaman adalah satu dan sama”, jadi refleksi buku ini, maka setiap ”subyek” sekaligus ”obyek”, setiap teks sekaligus konteks. Demikian sebaliknya. Teks pengarang ini, berikut konteksnya, ditulis dalam suasana, gerak, getar hati tertentu, yang berkait dengan teks-teks lain (intertekstual) antara berbagai teks (baik fiksi maupun fakta).
Selaku seperangkat tanda, sistem, simbol, metafor, tamsil, citra dari jiwa, spiritualitas pengarangnya, buku ini dalam bahasa Heidegger menyingkapkan diri kepada manusia melalui bahasa, ”bahasa adalah rumah-rumah ada dan manusia bermukim di dalam bahasa”.
Inilah metafisika, ada, eksistensi, yang terhubung spiritulitas kualitas jiwa. Yakni, kesadaran (dan juga ketaksadaran) subyek yang membuka diri, ketimbang menguasai. Yakni, kesadaran yang memberi kemungkinan ”obyek” pun menyingkap eksistensi dirinya pula. Kesadaran ada, sudah terkandung di dalamnya kesadaran tiada. Pun sebaliknya.
Spiritualitas adalah energi batin, bersifat rohani. Yakni yang mendasari ikhtiar memahami, mengerti, memaknai, juga menafsirkan misteri kehidupan ini. Barangkali penyederhanaan dari yang kompleks di hadapan misteri manusia-kehidupan. Boleh jadi perumitan dari yang sederhana akan realitas kehidupan-manusia-semesta.
Maka, kesadaran batin sebetulnya kepaduan dari yang tercerai-berai; pengutuhan dari yang terpecah-pecah. Buhul dari banyak temali. Putusan suasana hati dari berbagai gerak, getaran, gejolak jiwa.
Konteks pembicaraan Jalan Kecil—salah satu dari 10 buku fiksi terpilih penghargaan GCC Batch 3/2022 Pemprov Jatim ini—adalah ”spiritualitas penyerahan diri”. Idiom ini mengacu keterlemparan eksistensial Heidegger, dan memiliki kemiripan makna tawakal dari Imam Al Ghazali dalam penjelasan kitab terkenalnya, Ihya Ulumuddin.
S Jai, Pegiat; Peminat dan Pengamat Sastra; Tinggal di Lamongan
Judul buku: Jalan Kecil, Kumpulan Cerpen
Penulis: Dewi Musdalifah
Penerbit: Pagan Press
Tahun cetak: Pertama, 2022
Tebal buku: xiv + 142 hlm
ISBN: 978-623-6910-75-7