Gough Whitlam, Partai Buruh dan Sejarah Diplomasi Indonesia-Australia
Sudah saatnya Indonesia memandang Australia, Pasifik, dan kawasan Oceania dengan cara yang berbeda, tidak lagi menganggap mereka sebagai halaman belakang rumah yang tidak terurus dan kurang penting.

Didie SW
Pada 21 Mei 2022 lalu, Australia, tetangga dekat Indonesia di selatan, menggelar pemilu untuk memilih perdana menteri Australia yang baru. Anthony Albanese dari ALP (Partai Buruh Australia) secara meyakinkan mengalahkan partai koalisi LNP (Liberal & National Party) yang dipimpin oleh Perdana Menteri Scott Morrison.
Fenomena bangkitnya kembali Partai Buruh di Australia merupakan kenyataan yang amat menarik. Selama sembilan tahun terakhir, Australia berada di bawah kendali Partai Koalisi Liberal dan Nasional. Kini tampaknya rakyat Australia berkeinginan memilih pemimpin yang baru, dari partai oposisi yang diharapkan mampu membawa Australaia ke arah perkembangan baru ang lebih baik.
Perkembangan di dalam Partai Buruh sendiri menjadi topik hangat dan aktual, menunjukkan arah perkembangan yang dimaksud. Albanese menjadi perdana menteri Australia pertama yang berdarah Italia dan berasal dari latar belakang keluarga tidak mampu. Para pendukung fanatik Partai Buruh Australia percaya bahwa fenomena kemunculan Albanese tiada lain merupakan dampak dari kemunculan dan kebijakan yang dijalankan Partai Buruh di bawah Perdana Menteri Gough Whitlam 49 tahun yang silam.
Selama masa pemerintahannya yang singkat (1972-1975), dengan fenomenal, Whitlam menerapkan program-program hebat, di antaranya sistem kesehatan yang lebih universal, kesetaraan upah pekerja dan penerapan hukum yang menentang praktik diskriminasi rasial terhadap orang asli Aborigin. Selain itu, Whitlam juga menerapkan program dana pendidikan yang lebih adil dengan kebijakan membebaskan mahasiswa Australia dari biaya kuliah di universitas. Kebijakan kuliah gratis ini secara khusus dianggap telah amat menolong banyak orang di Australia terutama dari latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya yang kurang beruntung untuk dapat memperoleh kesempatan untuk berkembang.
Dalam konteks program Whitlam itulah, Anthony Albanese yang menjadi Perdana Menteri Australia yang baru muncul menjadi penerus Partai Buruh.
Dalam konteks program Whitlam itulah, Anthony Albanese yang menjadi Perdana Menteri Australia yang baru muncul menjadi penerus Partai Buruh. Ibunya seorang single mother yang miskin dan tinggal di perumahan subsidi pemerintah. Anthony Albanese yang berdarah separuh Italia adalah satu di antara rakyat Australia yang beruntung dapat menjadi sarjana dan kemudian meniti karier sebagai politikus terkemuka Partai Buruh dewasa ini.
Pendeknya, sosok Perdana Menteri Whitlam telah dianggap amat berjasa mengubah arah perjalanan sejarah Australia ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Menurut Ross McMullin dalam The Light on the Hill: The Australian Labor Party 1891–1991 (1993), Whitlam yang hebat itu masih terus dipuji para pendukungnya karena berhasil mereformasi pemerintahan dan kepemimpinannya amat inspiratif.
Pada 1992, keharuman nama Perdana Menteri ini diabadikan sebagai nama Band Indie Australia yang terkenal, yakni The Whitlams. ‘Kami tetap ingin melestarikan semangat perjuangan Whitlam’. Kata personel pendiri band tersebut untuk menunjukkan rasa bangga dan penghormatan mereka.

Presiden Joko Widodo dan PM Australia Anthony Albanese memberikan keterangan pers bersama seusai pertemuan bilateral di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (6/6/2022).
Dalam konteks itulah, kehadiran buku yang berjudul Indonesia di Mata Australia: Pemikiran dan Kebijakan Gough Whitlam (2021)ini terasa benar-benar relevan untuk memahami situasi politik yang menyangkut fenomena Whitlam di masa lalu dan kaitannya dengan kiprah Partai Buruh di Australia dewasa ini.
Sudut pandang orang Indonesia
Buku ini merupakan disertasi ilmu politik yang diselesaikan Akhmad Khusyairi dari Universitas Jember di UGM. Menurut penulisnya, sebagian besar datanya dikumpulkan dari riset yang cukup lama dilakukan di Australia. Karenanya, tidak mengherankan bahwa ia mampu menghadirkan data-data menarik tidak saja mengenai Gough Whitlam, tetapi juga mengenai Partai Buruh Australia secara keseluruhan.
Meskipun lebih berfokus pada sejarah diplomasi Australia di masa Pemerintahan Perdana Menteri Gough Whitlam, buku ini juga tak lupa mengulas sepak terjang Partai Buruh, kebijakan-kebijakan serta alasan-alasan ideologis yang menyertai di belakangnya. Karenanya, lewat buku ini, kita dapat melihat perkembangan dan peta kekuatan Partai Buruh di masa lalu yang telah memberi fondasi kuat atas pengetahuan situasi Partai Buruh Australia dewasa ini.
Munculnya buku yang didasarkan kajian ilmiah ini jelas telah mengisi kekosongan itu.
Buku ini diberi pengantar oleh Prof David Reeve dari UNSW yang sudah lama dikenal sebagai pakar sejarah hubungan Indonesia-Australia. Menurut hematnya, buku ini sangat istimewa, tidak saja karena telah memperkaya literatur tentang topik ini, tetapi juga karena ditulis oleh orang Indonesia dengan perspektif Indonesia (hlm xi).
Perspektif seperti ini, dari kacamata akademisi Australia jelas amat menarik dan didukungnya karena menambah karya tentang Australia dari perspektif yang jarang dibahas. Hampir 30 tahun yang lalu, pada tahun 1989, sebuah buku populer kumpulan artikel mengenai Australia yang ditulis oleh orang-orang terkemuka Indonesia telah diterbitkan oleh Gramedia berjudul Australia di Mata Indonesia: Kumpulan Artikel Pers Indonesia 1973-1989.
Buku ini memberi informasi sekaligus menjembatani kesadaran masyarakat mengenai pentingnya lebih mengenal dan mempererat hubungan Indonesia dengan Australia. Munculnya buku yang didasarkan kajian ilmiah ini, jelas telah mengisi kekosongan itu. Diharapkan, kehadirannya akan bisa melebihi dari topik itu sendiri.

Pengunjuk rasa membawa poster Perdana Menteri Australia Scott Morrison saat bergabung dalam aksi protes menolak lockdown di Melbourne, Australia, Sabtu (24/7/2021).
Politik diplomasi Australia
Analisis di dalam buku ini menjadi begitu menarik karena penulisnya mencoba menganalisis lahirnya politik diplomasi lewat kehidupan sosok pribadi Whitlam. Ia menganalisis cara-cara berpikir Whitlam yang dirunut sejak yang bersangkutan masih muda hingga mencapai puncak karier sebagai tokoh Partai Buruh Australia terkemuka (hlm 81-114).
Berangkat dari analisis itu, ia pun kemudian membahas karakteristik politik luar negeri Australia, faktor-faktor pemikiran Whitlam serta cara-cara ia meraih kekuasaan hingga terbentuknya politik luar negeri Australia yang dikenal sebagai politik independen (hlm 155-196). Ternyata benar dugaan bahwa politik diplomasi Australia yang terbentuk selama pemerintahan Whitlam ternyata sarat oleh faktor pengalaman sejarah, munculnya ketakutan terhadap bahaya kuning dari China, pecahnya Perang Dunia, maupun munculnya kekuasaan Jepang di Asia. Kesemua faktor tersebut telah meninggalkan guratan-guratan karakteristik arah politik diplomasi Australia hingga ke masa-masa kemudian.
Penulis berargumen bahwa politk diplomasi Australia sangat tergantung pada posisi geostrategisnya.Visi Australia terhadap dunia amat memengaruhi oleh cara Australia berinteraksi dengan dunia internasional. Karenanya, kebijakan luar negeri Australia di bawah Partai Buruh tidak bisa dihindari berkembang dengan pengaruh dari faktor-faktor yang saling bertentangan, termasuk menyangkut faksi-faksi politik yang saling berseberangan, pendekatan partai politik yang berbeda, kuatnya birokrasi maupun masuknya opini-opini dalam masyarakat Australia keseluruhan.
Kesemua faktor tersebut telah meninggalkan guratan-guratan karakteristik arah politik diplomasi Australia hingga ke masa-masa kemudian.
Hubungan diplomasi Indonesia-Australia
Bagi pembaca Indonesia, upaya Whitlam meningkatkan hubungan baik Australia dengan Indonesia merupakan aspek yang paling menarik dari keseluruhan isi buku ini. Faktor-faktor yang mewarnai kebijakan Australia terhadap Indonesia, antara lain, dipengaruhi faktor-faktor seperti kekurangpercayaan Australia, kecemasan yang berlebihan dan kebijakan yang hanya menempatkan masalah hubungan dari sudut pandang keamanan belaka. Selain itu, masih ditambah lagi dengan faktor-faktor seperti penyertaan terhadap isu-isu hak asasi manusia serta anggapan bahwa stabilitas Indonesia bagian penting memelihara stabilitas di kawasan Asia Tenggara (hlm 201-386).
Whitlam percaya bahwa pengetahuan yang baik dan pergaulan dengan bangsa-bangsa di Utara akan menjadi modal penting bagi Australia. Itulah sebabnya Whitlam mencoba membina kedekatan hubungan yang lebih personal dengan Presiden Soeharto.
Pola dan arah hubungan diplomatik Indonesia dan Australia dewasa ini bagaimanapun hasil perkembangan evolutif kebijakan-kebijakan Gough Whitlam dari beberapa dekade silam. Pola hubungan Indonesia-Australia masih tidak stabil atau naik-turun hingga saat ini. Ini karena adanya faktor-faktor perintang yang masih sulit diubah termasuk menyangkut persepsi dan prasangka yang masih hidup dan berakar.
Indonesia masih cenderung berkiblat ke Asia di utara ketimbang mengarahkan pandangannya ke selatan.
Dibanding Australia, Indonesia menjadi pihak yang masih belum terlalu banyak menaruh perhatian kepada tetangga terdekatnya termasuk Australia. Indonesia masih cenderung berkiblat ke Asia di utara ketimbang mengarahkan pandangannya ke selatan. Memang tidak dapat dipungkiri masih selalu terdengar alasan-alasan klise, seperti aspek sistem politik, budaya, dan masyarakat dari kedua negara yang amat berbeda.
Anggapan klise hubungan Indonesia dan Australia itu sesngguhnya semakin tidak relevan lagi. Sebagai suatu negara dan bangsa, baik Indonesia maupun Australia kini sudah berkembang jauh dibandingkan beberapa dekade silam. Seperti Indonesia, Australia di masa kontemporer ini telah menjadi negara yang lebih kompleks dan multikultural akibat kebijakan-kebijakan baru terutama di bidang Imigrasi.
Penulis buku ini seolah mengingatkan kita bahwa sudah saatnya terminologi-terminologi diplomasi yang usang dan sederhana untuk ditinjau kembali. Sudah saatnya Indonesia memandang Australia, Pasifik dan kawasan Oceania dengan cara yang berbeda, tidak lagi menganggap mereka sebagai halaman belakang rumah yang tidak terurus dan kurang penting. Sebaliknya, Indonesia bisa mulai menjadikan mereka di posisi halaman depan karena prospek-prospek menjanjikan dan menguntungkan di masa depan.

Sepasang serdadu Australia (Australia Imperial Forces-AIF) bercengkrama dengan masyarakat Kota Makassar tahun 1945. Masyarakat Indonesia berhubungan baik dengan serdadu Australia karena menyadari dukungan publik Australia terhadap kemerdekaan Indonesia. (Sumber: Australia War Memorial)
Sejarawan Prof John Ingleson yang turut membimbing penulis buku ini dalam melakukan pengumpulan data di Australia sering mengingatkan bahwa fondasi untuk lebih memperkokoh hubungan Indonesia-Australia sudah kuat, terutama dalam konteks sejarah interaksi kedua negara di masa lalu.
Sebagaimana telah digarisbawahi editor buku ini, Dr Johny Khusyairi, fakta-fakta ikatan sejarah yang kuat antara orang Makassar/Bugis dengan penduduk Aborigin di Australia Utara, dukungan terhadap Indonesia termasuk Serikat Buruh pelabuhan Australia dalam mendukung kemerdekaan Indonesia di masa lalu, kesemuanya alasan kuat dan sahih bagi Indonesia untuk mulai serius dalam pengembangan studi atau penelitian kawasan Pasifik dan Oceania itu. (hlm xxiii)
Mempertimbangkan kekuatan hubungan ”people to people”
Dewasa ini ada ribuan orang Indonesia yang memilih belajar di Australia ketimbang di Amerika atau Eropa. Jumlah itu bahkan terus berlipat. Mereka yang menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia semakin ikut berperan mengokohkan hubungan kedua negara baik langsung maupun tidak langsung. Belum lagi kehadiran kelompok diaspora Indonesia di Australia yang jumlahnya terus meningkat.
Berbagai laporan juga menunjukkan semakin bertambahnya studi-studi tentang Australia dibuka di banyak universitas di Indonesia. Adalah sangat menggembirakan sebuah Pusat Kajian Australia yang baru dibangun kembali di Universitas Nasional tahun lalu. Kesemuanya itu diharapkan bisa menyadarkan masyarakat kedua negara untuk saling mengenal satu sama lain.
Pemahaman orang Indonesia yang mumpuni tentang Australia akan besar manfaatnya ketika mereka berurusan dengan masalah-masalah di Barat.
Publikasi ini tidak saja telah memperkaya informasi ilmiah mengenai Perdana Menteri Whitlam, tetapi sekaligus memberikan perspektif dan pandangan orang Indonesia mengenai bagaimana negaranya dilihat dari pandangan orang Australia di masa lalu saat di bawah kekuasan Partai Buruh. Kehadiran buku ini penting bagi pemahaman sejarah diplomasi Indonesia-Australia dan memberikan penglihatan tentang bagaimana seharusnya kedua negara memandang satu sama lain dengan lebih setara di masa depan, lebih-lebih bila Partai Buruh yang diprediksi akan menang benar-benar akan menjadi kenyataan dalam waktu dekat. Pemahaman orang Indonesia yang mumpuni tentang Australia akan besar manfaatnya ketika mereka berurusan dengan masalah-masalah di Barat. Juga berguna untuk mempelajari negara-negara Pasifik yang masih belum banyak dikembangkan hingga saat ini.
Iskandar P Nugraha,Sejarawan Lulusan University of New South Wales; Penulis; Editor; Peneliti; dan Konsultan Sejarah yang Bermukim di Newcastle, Australia

Judul Buku : Indonesia di mata Australia: Pemikiran dan Kebijakan Gough Whitlam
Penulis : Akhmad Khusyairi
Editor : Johny A Khusyairi
Penerbit : Departemen Ilmu Sejarah FIB Unair - Elmatera
Tahun Terbit : Cetakan I, 2021
Tebal Buku : xxxiv + 368 hlm
ISBN Cetak : 978-823-223-195-5
ISBN (Epub) : 978-623-223-201-3