Puisi tak pernah bisa lepas dari kenyataan di sekelilingnya. Berangkat dari kisah atau berita yang terjadi di tengah masyarakat, penyair Joko Pinurbo seperti menyuguhkan roh di dalam diksi-diksi puisinya.
Oleh
ALEXANDER ROBERT NAINGGOLAN
·6 menit baca
Dalam salah satu esainya, Sutardji Calzoum Bachri pernah menekankan jika penyair adalah seseorang yang menulis di atas realitas. Setiap puisi yang dilahirkan tentu tak pernah lepas dari kenyataan atau keseharian yang memayunginya. Pun jika realitas itu tidak sejalan atau sung-sang, tetapi tetap harus berpijak dari kenyataan yang ada. Puisi tak pernah bisa lepas dari kenyataan di sekelilingnya.
Maka, membaca kumpulan puisi teranyar dari Joko Pinurbo (Jokpin), kita disuguhkan bentangan layar semacam itu. Berangkat dari kisah atau berita yang terjadi di tengah masyarakat, Jokpin seperti menyuguhkan roh di dalam diksi-diksi puisinya. Memang, angka 60 sendiri merupakan penanda usia dari dirinya. Siapa sangka, jika jumlah puisi dalam buku ini juga: 60. Buku ini terdiri dari empat sajian, masing-masing menghadirkan pelbagai kisah yang berbeda. Jokpin dengan kekhasannya mengambil bagian terdalam dari kehidupan itu sendiri.
Setiap bagian terdiri dari 15 puisi. Dan tema besar yang diusung ialah epigram sebagaimana pengertian dalam KBBI ialah sebagai sebuah pernyataan singkat, peminatan, kenangan dan terkadang pernyataan mengejutkan atau satir.
Dan tidak mengherankan, acapkali kita dapatkan banyak kejutan yang menyentak saat membaca puisi-puisi dalam buku ini. Semacam yang ditulisnya dalam ”Transit”: Rekeningku hanya/ tempat transit,/ diriku saldo abadi.// (halaman 27) atau Hatiku yang bokek/ berdebar-debar/ digoda mata pinjol/ yang jelalatan/ di layar ponselku.// (Puisi ”Mata Pinjol”, hlm 52). Begitu terasa betapa debar sarkasme banyak hadir membalut puisi-puisinya.
Memang, Jokpin seperti bercerita atau menyuguhkan sebuah peristiwa yang nyata, tetapi ia turut mendistorsi setiap bagian sehingga menyisakan ruang yang menyentil. Semacam gugatan yang ditawarkannya, meskipun tidak mengajak secara frontal di pikiran pembacanya. Namun, lewat puisinya, ia bertahan untuk tidak menyuguhkan secara penuh realitas tersebut, tetapi menggugatnya dengan entakkan yang sunyi.
Dan, saya pun seperti diajak masuk ke sebuah lorong imajinasi yang dibalut realitas. Jokpin menyuguhkan bentangan fragmen dalam bukunya, mungkin bermula dari sebuah keluh meskipun pada akhirnya menjelma framen utuh yang tak ditebak sebelumnya. Semacam yang dihadirkannya dalam puisi ”Pojok”: Malam itu kau berteduh di pojok teras// sebuah took roti. Hujan. Kau kedinginan,// masuk angin, dan sisa uangmu pas-pasan.// Aku mendekatimu, memberi segelas// kopi penghangat badan. Nasibmu bagus.// Siapa sangka sekian tahun kemudian kau// mampu membeli toko roti itu. Pernahkah// kau melihat ada yang numpang berteduh// di emperan tokomu? Aku slelau ada// di pojok doamu walau kau tak melihatku.// (hlm 18)
Ada sebuah lingkup kesunyian yang secara perlahan dibangun. Menggugah sebuah kesadaran diri. Semacam partikel yang terus mengapung, perpaduan antara keputusasaan dan kegairahan seseorang dalam mewarnai sebuah kehidupan. Dunia yang hiruk-pikuk, memang selalu mendedahkan ruang tersendiri, menepikan kita, dan memaksa kita kerap terperosok ke dalamnya. Melalui Jokpin, kita diajak untuk menjadi manusia kembali.
Ia menawarkan diksi-diksi yang menggelitik, bahkan untuk hal yang kecil atau sederhana sekalipun. Puisi-puisi dalam buku ini memang terkesan singkat. Tapi, lewat kepadatan diksi yang dihadirkan, Jokpin berupaya menghidupkan makna yang luas. Ia bekerja dengan caranya yang ajaib, membentangkan medan atau cakrawala baru sendiri. Pun ihwal pandemi Covid-19 turut hadir dalam puisinya, yang begitu ”kena” terhadap situasi yang terjadi. Bagaimana Jokpin menyuguhkan kesedihan yang terjadi, dengan banyaknya jumlah kematian sepanjang pandemi:
Hari-hariku terbuat dari innalillahi. (Puisi ”Juli 2021”, hlm 50).
Atau juga dalam puisi yang dipersembahkan untuk almarhum penyair Gunawan Maryanto, Jokpin memberikan kombinasi yang menggugah ihwal dunia teater dan peran: Tidurlah di bawah panggung// yang merindukan suaramu.// Tidurlah sebagai gemercik air// di sungai kecil berbatu-batu.// Dalam tidur kau tetap berjaga// supaya sepi terus menyala.// (Puisi ”Tembang Tidur”, halaman 11).
Sindiran sebagai refleksi diri
Barangkali kita tak berharap banyak jika puisi dapat menjadi tangan. Yang mampu menggerakkan. Namun, saat membaca puisi, ada semacam gaung yang dapat disentuh. Sisi batin dari manusia, sebagai sebuah refleksi diri. Puisi memang tak memberikan solusi terhadap sebauh permasalahan, tapi setidaknya ia ”mengunci” kerja batin dari diri seseorang.
Puisi memang tak memberikan solusi terhadap sebauh permasalahan, tapi setidaknya ia ’mengunci’ kerja batin dari diri seseorang.
Ia dengan setiap sintaksis kata yang ada, seperti sebuah gumam—yang mungkin tak selamanya bergerak dengan ”suci”. Ia tak bisa meluruskan hal-hal yang telah bengkok. Sebab, kata-kata dalam puisi tidak dapat dengan sekejap membenahi kebebalan yang telanjur hadir. Tapi, hemat saya kerja kepenyairan merupakan sebuah pijakan baru bagi kehidupan. Semacam napas yang segar untuk membuka tafsiran yang lebih luas lagi.
Ketika membaca puisi-puisinya seperti ada gema panjang yang tersisa di rongga kepala. Ada gaung yang kerapkali menjelma tenung, semacam kata-kata yang hinggap. Memaksa untuk terus menafsirkannya, hingga bahkan jauh di luar puisi itu sendiri.
Puisi yang bagus, memang bersifat multitafsir. Ia meneguk semua ruang yang bisa disentuh pembaca. Ia membentuk sebuah medan kata-kata yang maksimal dieksplorasi. Tapi, apakah perkembangan puisi kita sudah mencapai tahap ini? Berbagai eksplorasi memang telah dilakukan, bahkan tak jarang hadir ungkapan bila sesudah Chairil Anwar, tak ada lagi sebuah puisi yang ditulis. Pendeknya, seorang penyair menulis puisi bukan semata-mata menulis secara utuh realitas yang ditangkapnya. Dengan melakukan pengosongan sehingga yang tampak hanyalah realitas yang murni tanpa bayang-bayang.
Penyair, bagaimanapun, harus membuka sekat-sekat yang menghalanginya—dengan tidak serta-merta menuliskan sebuah kejadian secara mutlak. Penyair menulis puisi karena ingin bicara sebuah hal yang berbeda. Suatu hal yang mungkin menggugah kesadaran dalam dirinya, entah itu cinta, ketimpangan, maut, atau kehidupan yang sederhana ini.
Analogi cerdas yang pernah ditulis Jokpin adalah puisi serupa hutan rimba. Segalanya bisa tak terduga. Ketika masuk ke dalamnya, seseorang bisa tersesat ataupun keluar dengan selamat. Mungkin bisa menemukan keteduhan dari rimbun pohon yang lebat hijau, pula bisa terkurung dalam peristiwa tragis, semacam bertemu dengan binatang buas.
Masalah kepungan media sosial, yang memungkinkan kita untuk ”tayang” dalam jaringan semalam 24 jam turut hadir dalam puisinya. Jokpin hanya menyuguhkan segalanya secara utuh, hanya kelindan benak pembaca yang menyingkapkan tabir lebih luas lagi. Jokpin menulis:
Aku sudah meringis// dengan sebaik-baiknya// supaya kamu bingung// membaca perasaanku.// (Puisi ”Selfi di Pagi Hari”, halaman 48)
Akhirnya sebagaimana yang pernah diungkapkan Jokpin: damba penyair hanya satu, ialah menulis dan menulis lagi. Ia biarkan kata-kata untuk tetap bekerja:
Petir pergi meninggalkan judul.// Sepi singsot, malam parasetamol.// Sehelai royalti gugur perlahan// dari tangkai kalender yang letih.// Ingin mabuk di pundak peluk,// tapi kata-kata belum mengantuk.// (Puisi ”Kerja Kata”, halaman 9)
Alexander Robert Nainggolan,Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Admi Jakarta Barat, Penulis.
Judul Buku: Epigram 60 Sesaji Sajak Joko Pinurbo (kumpulan puisi)