Kekuatan buku Masykuri Abdillah pada taburan argumentasi yang didukung literasi klasik dan modern menawarkan cakrawala luas dan inklusif. Buku ini boleh ditempatkan sebagai ”senjata” melawan kedangkalan pemahaman agama.
Oleh
RADEN MUHAMMAD MIHRADI
·5 menit baca
Kegaduhan berbalut agama yang terjadi di sejumlah daerah belakangan ini memaksa kita mengajukan pertanyaan besar: Apa fungsi agama bagi bangsa ini? Apa yang salah: tafsir pipih atas doktrin agama, militansi yang berlebih, media yang ikut memprovokasi atau boleh jadi, negara sengaja melakukan pembiaran? Bukankah semua agama mengajarkan hidup rukun penuh kasih sayang? Itulah beberapa pertanyaan yang substansi-nya menjadi pemantik Masykuri Abdillah (Guru Besar Bidang Hukum dan Politik Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah) menulis buku Islam Agama Perdamaian: Merawat Kemajemukan dan Kerukunan di Indonesia (Penerbit Buku Kompas, 2021, xvi + 416 hlm). Dengan begitu, buku ini relevan dan kontekstual dengan situasi dan problem kehidupan beragama masyarakat kita sekarang.
Bagaimana agar publik tidak tergerus kedangkalan dalam memahami agama?
Bagaimana agar publik tidak tergerus kedangkalan dalam memahami agama? Untuk menjawabnya, diperlukan pemahaman tentang keterlibatan agama dalam politik. Ada dua hal berkaitan dengan itu. Pertama, legitimasi keagamaan yang memperlakukan agama sebagai alat. Tujuannya, untuk memperkuat pemikiran dan tindakan seseorang atau kelompok dalam bentuk aspirasi, keputusan, dan gerakan politik melawan kezaliman.
Kedua, politisasi agama yang menggunakan agama, berikut simbol-simbol dan atributnya sebagai alat untuk tujuan politik atau untuk memobilisasi massa dalam memenangkan calon tertentu dalam pemilihan jabatan publik (hlm 317). Tentu politisasi agama perlu dihindarkan karena dapat mengapitalisasi kegaduhan dan menjauhkan agama sebagai pemandu etika moral politik.
Guna merawat kemajemukan dan kerukunan umat, diperlukan juga pemahaman yang lengkap dalam perkara hubungan Muslim dengan non-Muslim yang kerap disalahpahami dan dipelintir. Dengan mengutip QS Al-Mumtahinah Ayat 8, Abdillah mengingatkan bahaya sikap fanatisme keagamaan, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Diingatkan pula agar umat Muslim tidak jatuh pada pemahaman literal dan berlebihan atau pemberatan (tasyaddud) terhadap teks-teks Al Quran dan hadis, tanpa memperhatikan konteks sosial saat turunnya Al Quran (asbab al-nuzul) dan saat terjadinya hadis (asbab al-wurud) (hlm 214).
Menarik juga pembicaraan tentang hak asasi manusia dalam Islam. Meski berbeda dengan konsep demokrasi yang masih diperdebatkan kaum intelektual dan ulama, masalah HAM dalam Islam cenderung disuarakan dengan pemahaman dan semangat yang sama. Secara konseptual, tidak sepenuhnya sama dengan konsep liberal. Namun, banyak ketentuan dalam Al Quran dan hadis mengingatkan pentingnya memuliakan perkara HAM. Pengakuan manusia sebagai khalifah Allah di atas bumi, misalnya, dimaknai sebagai karunia atas kemuliaan dan martabat yang harus dihormati dan dilindungi (hlm 65).
Sebagai dasar untuk memperkuat argumennya, Abdillah menunjukkan adanya ulama besar yang mempromosikan HAM secara konsisten, yakni Abul A’la Maududi yang menulis buku Human Rights in Islam. Ia menjelaskan, dalam pandangan Islam, HAM merupakan pemberian Allah. Oleh karena itu, tidak seorang pun dan tidak ada satu lembaga pun yang dapat menarik hak ini. Bahkan, hak ini merupakan bagian integral keimanan. Sejumlah dalil Al Quran dan hadis dijadikan contoh kasus praktik HAM dalam sejarah Islam dan perbandingannya dengan sejarah Barat (hlm 66).
Sebagai dasar untuk memperkuat argumennya, Abdillah menunjukkan adanya ulama besar yang mempromosikan HAM secara konsisten, yakni Abul A’la Maududi yang menulis buku Human Rights in Islam.
Meski demikian, Abdillah tidak luput menyertakan catatan kritis pada isu-isu pelaksanaan HAM di negara-negara Muslim. Misalnya, soal standar ganda negara-negara Barat dalam beberapa kasus pelaksanaan HAM yang mengundang munculnya gerakan fundamentalisme di beberapa negara Muslim. Gerakan ini bahkan sering bersifat eksklusif dan menolak semua peradaban Barat, termasuk sistem demokrasi dan HAM. Akibatnya, ada kesan terjadinya konflik antara Islam dan Barat. Kondisi demikian diperburuk oleh klaim sebagian besar masyarakat Barat bahwa peradaban merekalah yang paling unggul (hlm 74).
Membaca buku ini, kita seperti diajak bertamasya memasuki lika-liku ceruk dan warna-warni pemikiran dunia Islam. Ada sederet referensi penting sebagai acuan yang meneguhkan argumentasinya. Penyajian dan paparannya menyegarkan, tetapi juga sekaligus mengundang perenungan: Islam kompatibel dengan HAM. Bukankah tujuan kehadiran Islam justru untuk menyempurnakan akhlak dan kemuliaan martabat manusia?
Islam moderat
Buku ini sesungguhnya mencerminkan rekam jejak yang panjang sosok Masykuri Abdillah dalam dunia pemikiran Islam. Uraiannya jernih dan tajam, mendalam dan meluas. Dengan begitu, kita dihadapkan pada fondasi kuat pemahaman Islam yang spiritnya memberi kesejukan bagi umat, di mana pun tempatnya dan dalam situasi apa pun kondisinya.
Secara keseluruhan, buku ini dapat ditempatkan sebagai peta jalan (road map) untuk perbaikan pemikiran umat. Ini tampak dari rangkaian materi yang memudahkan kita menangkap benang merahnya. Periksa, misalnya, perkara Islam dan Modernitas (hlm 63), Islam, Globalisasi dan Pembentukan Etika Global (hlm 114), Islam dan Barat (hlm 126). Di bagian penutup, ”Menduniakan Islam Indonesia” sikapnya tegas, mengampanyekan Islam moderat (wasathiyyah) yang sepatutnya dapat menjawab tantangan keindonesiaan. Wacana yang juga mengemuka tahun 2015 pada Muktamar Ke-33 NU dan Muktamar Ke-47 Muhammadiyah yang menegaskan perlunya menjaga dan mempromosikan Islam moderat. Dalam pandangannya, ada tiga perspektif Islam moderat.
Pertama, dalam konteks hubungan antarwarga, umat Islam sangat toleran terhadap kelompok lain, baik dari segi agama, suku, maupun politik. Kedua, dalam konteks hubungan antara Islam dan negara, umat Islam kerap berlaku akomodatif terhadap ideologi negara dan sistem demokrasi. Ketiga, dalam konteks kehidupan dan perkembangan dunia, umat Islam dapat menerima lokalitas budaya dan modernitas dengan tetap berpegang pada keteguhan orientasi keagamaannya.
Buku Masykuri Abdillah penting artinya sebagai upaya memberi pencerahan yang dapat menerobos kejumudan. Kekuatannya pada taburan argumentasi yang didukung literasi klasik dan modern menawarkan cakrawala yang luas dan inklusif. Bolehlah buku ini ditempatkan sebagai ”senjata” melawan kedangkalan pemahaman agama. Setidak-tidaknya menjadi nutrisi untuk menghindari jebakan politisasi agama yang bukan mustahil kembali muncul secara liar menjelang pemilihan presiden 2024. Wallahualam bissawab.
Raden Muhammad Mihradi, Ketua Pusat Studi Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor
Judul Buku: Islam Agama Perdamaian: Merawat Kemajemukan dan Kerukunan Indonesia