Praktik jual-beli suara merupakan salah-satu bentuk manipulasi elektoral yang lazim dijumpai di negara-negara demokrasi baru. Akibatnya, fase transisi rezim otoriter ke demokrasi justru mendorong maraknya politik uang.
Oleh
RENDRA SANJAYA
·3 menit baca
RENDRA SANJAYA
Halaman muka buku berjudul 'Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemily Pasca-Orde Baru'
Judul : Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru
Penulis : Burhanuddin Muhtadi
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun terbit: 2021
Jumlah halaman: xvi+391 halaman
ISBN: 978-602-481-414-4
Dalam demokrasi di Indonesia, perubahan desain kelembagaan politik sejak 1998 diyakini telah menciptakan lebih banyak ruang bagi strategi klientelistik. Klientelisme merupakan relasi kuasa antara aktor politik yang memberikan sesuatu (patron) dan pihak yang menerima atau pemilih (klien) didasari pemberian loyalitas. Perubahan sistem politik dan sistem pemilihan umum (pemilu) kenyataannya justru membuka kanal-kanal distribusi dan perluasan klientelisme.
Burhanuddin Muhtadi dalam Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru (KPG, 2021) menggenapi literatur politik patronase dan klientelisme di Indonesia, khususnya politik uang. Diadopsi dari desertasinya di Australia National University (ANU),Burhanuddin Muhtadi seakan meneguhkan kenyataan politik Indonesia yang dibangun atas praktik politik uang dan patronase.
Jual-beli suara
Teori-teori politik uang yang ada mengasumsikan bahwa partai yang menentukan cara dan proses uang didistribusikan. Namun, yang terjadi di Indonesia kandidat perorangan yang melakukan operasi jual beli-suara.
Dalam sistem pemilu proporsional terbuka seperti di Indonesia, persaingan intrapartai sangat ketat. Para kandidat melihat rekan separtai sebagai ancaman utama. Para kandidat dipaksa bergantung pada jejaring pribadi ketimbang mesin partai.
Survei pemilih yang dilakukan penulis menunjukkan, meskipun pemilih partisan cenderung menjadi sasaran politik uang daripada pemilih nonpartisan, kenyataannya sebagian besar pembelian suara—secara absolut—terjadi di kalangan pemilih yang belum memutuskan (undecided voters). Hal ini terjadi karena agregat kedekatan pemilih terhadap partai di Indonesia relatif kecil.
Burhanuddin menunjukkan bahwa meskipun politisi cenderung menargetkan konstituen yang dinilai loyal, kebanyakan tim sukses akhirnya mendistribusikan insentif materil kepada pemilih yang menerima uang, tetapi tidak membalas dengan memberikan suara. Akibatnya, efektivitas praktik jual-beli suara hanya 10,2 persen. Uniknya, meski hanya memiliki efektivitas 10,2 persen, praktik jual-beli suara tetap banyak dilakukan.
Akar masalah dan implikasi
Sistem pemilihan umum di Indonesia disinyalir kuat menyuburkan praktik ini. Dalam sistem pemilihan umum proporsional terbuka, pemilih dihadapkan langsung kepada kandidat (candidate oriented) sehingga kandidat dalam satu partai akan mencari pembeda dengan kandidat lain di internal partai. Apalagi, yang menjadi pembeda kalau ideologi dan program sudah sama (asumsinya dalam satu partai ideologi dan program sama) kalau bukan hal-hal yang konkret. Dan hal konkret itu adalah materi, uang, dan beragam strategi patronase lain, seperti pork barrel, club goods, individual gifts.
Kondisi semakin parah ketika partai politik tidak memiliki kekuatan mengakar di akar rumput. Temuan Burhanuddin menunjukkan, tingkat party ID pasca-Pemilu 2014 hanya 15 persen dari jumlah pemilih. Partai politik di Indonesia tidak memiliki akses kepada sumber daya negara sehingga tidak bisa mengendalikan distribusi sumber daya negara kepada warga negara.
Burhanuddin juga melihat, ulama atau tokoh masyarakat cenderung permisif terhadap praktik jual-beli suara. Salah satu ulama petinggi partai yang diwawancarai oleh Burhanuddin menyebut praktik politik uang ”boleh” digunakan asalkan untuk keadilan dengan dalih politisi lain juga melakukan hal serupa. (Litbang Kompas/DRA)