Pendekatan manajemen risiko dapat diterapkan di perusahaan start-up untuk mengurangi dan mencegah berbagai risiko bisnis. Manajemen risiko menjadi penting bagi keberlanjutan perusahaan.
Oleh
INGGRA PARANDARU
·3 menit baca
Pesatnya perkembangan perusahaan rintisan digital di Indonesia atau start-up, juga diikuti dengan tingkat risiko kegagalan yang tinggi. Studi dari Center for Human Genetic Research (CHGR) memprediksi jumlah start-up di Indonesia pada 2020 menembus angka 13.000. Namun, Menurut Rudiantara, menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (2014-2019), sebanyak 95 persen start up berakhir dengan kegagalan.
Tingginya tingkat kegagalan start-up di Indonesia memerlukan pengelolaan risiko yang dilakukan sesuai standar. Pendekatan manajemen risiko harus dilakukan melalui strategi pencegahan di era pandemi Covid-19 yang serba tidak pasti.
Tanpa disadari manusia sebenarnya sudah melakukan manajemen risiko. Dalam skala kecil contohnya, seseorang yang telah mengikuti program asuransi kesehatan di era pandemi berarti telah melakukan langkah pencegahan risiko sakit di masa mendatang. Contoh lain, ketika seorang ibu meminta anak hati-hati pergi ke sekolah juga merupakan manajemen risiko.
Setidaknya ada dua konsep utama manajemen risiko, yakni manajemen dan risiko. Dalam mengatur kedua konsep ini intervensi manusia diperlukan. Manajemen risiko dapat didefinisikan sebagai proses yang terdiri dari kegiatan-kegiatan terkoordinasi untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi terkait risiko (Refsdal, Solhaug dan Stolen, 2015).
Langkah pertama dalam manajemen risiko adalah identifikasi risiko. Kaidah pertama ini diikuti dengan proses analisis dan evaluasi, yang berujung pada proses pengendalian. Manajemen risiko merupakan siklus berkesinambungan, berkelanjutan, dan dapat diputus.
Sejumlah standar manajemen risiko dipakai oleh perusahaan-perusahaan di dunia, seperti COSO Enterprise Risk Management (ERM), ISO 31000, Standard Australia/New Zealand AS/NZS 4360, Standard Canada, dan Standard Inggris. Dari berbagai standar yang ada, COSO ERM dan ISO 31000 menjadi standar yang paling sering digunakan.
Pada Januari 2016, ISO menerbitkan panduan praktis untuk perusahaan start-up menerapkan standar ISO. Sejumlah panduan juga diterapkan beberapa tahun terakhir antara lain Kode Tata Kelola Perusahaan Tidak Terdaftar di Bursa (OECD, 2006, 2015; ecoDa, 2010) dan ISO 31000: 2016 tentang penerapan manajemen risiko yang menjadi satu-satunya kerangka kerja formal untuk perusahaan kecil dan menengah.
Berdasar studi manajemen risiko, setidaknya ada 11 jenis risiko pada perusahaan start-up. Risiko ini mulai dari teknologi, supply-chain, permasalahan keuangan dan kebangkrutan, lingkungan, operasional perusahaan, kepatuhan perusahaan terhadap peraturan berlaku, keadaan sosial masyarakat dan komunitas, sistem informasi, manajemen dan karyawan, hingga pelaporan kegiatan operasional perusahaan.
Masalah paling signifikan dalam perusahaan start-up adalah kurangnya integrasi menyeluruh dari risiko yang teridentifikasi ke dalam perencanaan bisnis. Dari studi kasus start-up atau perusahaan rintisan seperti Gojek, Tokopedia, dan Traveloka, ditemukan adanya pemahaman dan penerapan manajemen risiko yang baik dalam perusahaan. Pengelolaan manajemen risiko ini berhasil membawa perusahaan-perusahaan tersebut mengantisipasi risiko sehingga mampu bertahan bahkan berkembang. (Litbang Kompas/IGP)