Hoegeng, Kesederhanaan Tanpa Pamrih
Hoegeng adalah sosok langka yang nyata di Indonesia. Sikap Hoegeng Iman Santoso terlihat dalam kesehariannya yang sederhana, terbuka, jujur, dan tak mau kompromi cerminan sikapnya yang antikorupsi.
Judul | Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan |
Penulis | Suhartono |
Penerbit | Penerbit Buku Kompas |
Tahun terbit | 2021 (Edisi Revisi) |
Jumlah halaman | xvii+182 halaman |
ISBN | 978-979-709-769-1 |
Hal-hal sederhana yang dilakukan Hoegeng setiap hari di kantornya menunjukkan komitmennya menolak apa pun yang bisa mengarah pada tindakan dan perbuatan korupsi. Lika-liku perjalanan hidup Hoegeng serta sikapnya yang teguh disajikan secara kronologis dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan (Penerbit Buku Kompas, 2021).
Buku setebal 182 halaman ini ditulis berdasarkan cerita yang diungkapkan Soedharto Martopoespito. Beberapa cerita Dharto dirujuk pada kisah dari sumber-sumber lain yang dikonfirmasikan kembali kepada keluarga Hoegeng.
Meskipun menjadi pejabat negara, Hoegeng tidak aji mumpung memanfaatkan segala jabatannya. Meski menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng bahkan menolak mobil dan rumah dinas untuk keluarganya, membuat rekomendasi untuk anaknya yang mau masuk sekolah dan Tentara Nasional Indonesia, serta semua pemberian dari berbagai pihak.
Karier Hoegeng di luar kepolisian juga mengesankan. Secara resmi, ia diangkat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi pada 19 Januari 1961 di jajaran Kabinet 100 Menteri. Setelah ia mengundurkan diri dari jabatan Kepala Jawatan Imigrasi, Bung Karno memercayakannya kembali sebagai Menteri Iuran Negara (1964-1966) saat Kabinet Dwikora I dan II. Pada saat Kabinet Dwikora III, yang hanya berumur sekitar tiga bulan, Hoegeng ditunjuk kembali menjabat Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet (1966). Saat itu, Ketua Presidium Kabinet adalah Jenderal Soeharto.
Hoegeng kemudian ditarik kembali ke jajaran Kepolisian dengan diangkat sebagai Wakil Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Wakil Menpangak) atau kini dikenal sebagai Wakil Kepala Kepolisian Negara RI (1968). Tak lama, Hoegeng diangkat menjadi Menteri/Pangak atau Kepala Polri pada 1968.
Sederhana hingga akhir hayatnya
Sebagai pejabat, Hoegeng memiliki pendirian yang kuat. Ia menolak memanfaatkan jabatannya demi mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Salah satunya terjadi ketika pemilik rumah yang disewa Hoegeng tak mau lagi rumahnya dibayar, ia kemudian berupaya membayarnya dengan menggunakan wesel. Ia juga meminta Meri, sang istri, untuk menutup toko kembang yang baru dirintisnya. Hal ini dinilai perlu dilakukan supaya saat bertugas Hoegeng tidak menghadapi masalah seperti conflict of interest dari relasinya.
Hoegeng juga lebih senang dipanggil dengan Hoegeng saja walaupun nama lengkapnya Hoegeng Iman Santoso. Menurutnya, nama itu cukup ”berat”. Kecuali saat akhir hayat, Hoegeng tetap menjaga iman yang sentosa.
Kesederhanaan Hoegeng tak hanya nyata dalam kehidupan sehari-hari keluarganya. Hingga meninggal, Hoegeng tidak memiliki tabungan, apalagi rekening untuk menyimpan kekayaannya dalam bentuk deposito maupun bunga bank dengan saldo ratusan juta atau hingga miliaran rupiah jumlahnya. Ia hanya memiliki uang pensiunan yang tiap bulannya harus diambil istrinya dengan jumlah tak seberapa.
Karakter Hoegeng yang teguh memegang prinsip hidup, berintegritas, sederhana, tidak memanfaatkan jabatan, apalagi meminta-minta fasilitas, dan menerima suap maupun sogok, tentu tidak mudah diterapkan pada kondisi saat ini. Namun, sikap dan nilai-nilai hidup Hoegeng seharusnya diteladani pejabat publik saat ini. (Litbang Kompas)