Apresiasi untuk Para Pekerja Seni
Seni adalah jalan hidup, begitu pula dengan menjadi pekerja seni merupakan pilihan hidup bagi yang menjalaninya. Bagi pekerja seni mendapatkan penghargaan merupakan bonus, sebab pesan dalam karya yang lebih utama.
Judul | Jiwa-jiwa yang Mencipta: Rudolf Puspa, Sitras Anjilin, Ni Luh Menek |
Penulis | Purnawan Andra, Doddy Obenk, Hendramasto Prasetyo |
Penerbit | Penerbit Buku Kompas |
Tahun Terbit | 2021 |
Jumlah halaman | x+174 halaman |
ISBN | 978-623-346-30702 |
Bentara Budaya mengadakan acara Bentara Budaya Award yang memberikan apresiasi bagi para pekerja seni. Tokoh seni yang mendapatkan penghargaan tersebut tertuang dalam buku Jiwa-Jiwa yang Mencipta (Penerbit Buku Kompas, 2021).
Tokoh seni yang kisahnya ditulis adalah Sitras Anjilin, Rudolf Puspa, dan Ni Luh Menek. Persamaan dari tiga tokoh tersebut menganggap bahwa kesenian adalah cita rasa yang reflektif dan representatif usaha dalam memahami kehidupan. Buku setebal 174 halaman juga mengungkap semangat dalam berkesenian dari tiga tokoh tersebut.
Sitras Anjilin adalah sosok yang membawa kesenian Jawa (gunung) menjadi lebih terbuka. Sitras, seorang pemimpin padepokan Tjipta Boedaja di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Padepokan tersebut berdiri sejak 1937 dengan mengembangkan kesenian tradisional tari, bela diri, dan macapat.
Latihan menari menjadi hal rutin bagi anak-anak di padepokannya. Seluruh aktivitas kesenian dilakukan dengan sukacita, meski anak-anak di padepokannya dilarang membawa telepon selular. Latihan jaran kepang menjadi latihan yang tidak boleh ditinggalkan.
Sitras mengumpamakan tradisi ibarat busur panah, semakin jauh busur direntangkan ke belakang, semakin anak panah melesat ke depan. Maksud dari perumpamaan tersebut, semakin dalam pemahaman tentang pakem tari tradisional, berarti semakin kuat pijakan untuk tumbuh menjadi seniman tari.
Rudolf Puspa merupakan tokoh pemimpin Teater Keliling generasi kedua. Teater menjadi pilihan sejak awal kehidupannya, karena ia beranggapan teater merupakan tempat untuk mendapatkan kematangan batin.
Teater Keliling yang dipimpin Rudolf sudah berusia 45 tahun. Kehadirannya telah menjadi salah satu jalan agar generasi penerus lebih mencintai Tanah Air dengan caranya masing-masing. Teater Keliling menyebarluaskan berbagai kisah Nusantara, sehingga mendidik para pemain dan penonton tentang nilai-nilai luhur bangsa yang positif dan mengembangkan karakter.
Meski sulit menemukan pemain yang benar-benar menyerahkan hidupnya di dunia teater, namun sekitar 1666 pementasan telah dilalui oleh Teater Keliling. Rudolf ingin terus mengobarkan api semangat berteater ke seluruh penjuru negeri. Baginya, dunia teater tidak sekadar panggung, melainkan upaya penempaan diri untuk memperkuat batin. Ia percaya bahwa teater dapat melahirkan manusia-manusia yang berbudi dan menjunjung martabat kemanusiaan.
Ni Luh Menek, sang tokoh yang mengabadikan tari Teruna Jaya. Tumbuh besar di Desa Jagaraga, Bali, Ni Luh Menek sejak kecil harus bisa menari. Ia pun terpilih untuk menjadi penari oleh pemimpin desa. Apabila menolak, maka ia akan dikenakan denda dengan nominal yang cukup besar. Luh Menek dianggap memiliki karakter yang kuat dan bentuk tubuh yang baik dan sehat oleh para pemimpin desa.
Saat berumur 15 tahun pertama kalinya Ni Luh Menek menari Tarian Teruna Jaya dihadapan publik. Kini usia Luh Menek hampir 80 tahun, ia tetap memiliki energi positif, lincah, dan totalitas dalam menari. Dalam mengembangkan dan melestarikan seni tradisi tari klasik bali, beliau terus mengajarkan seni tari ini kepada generasi muda, serta menari di banyak tempat bersama para muridnya.
Selain mengajarkan seni tari tradisi klasik bali ini kepada generasi muda bali, beliau juga mengajarkan kepada orang-orang asing. Ni Luh Menek memang seorang guru, bahkan anak-anaknya mengikuti jejaknya menjadi penari. Mengutip kata-kata tokoh Sitras Anjilin, rumus agar kesenian tradisional langgeng adalah rutin dimainkan dan dipentaskan memang tepat adanya.(Litbang Kompas)