Condoleezza Rice & Amy B Zegart: Antisipasi Risiko Politik terhadap Bisnis
Potensi kerugian, seperti risiko pasar, operasional, dan kredit, selalu diperhitungkan oleh pebisnis sejak awal. Namun, tidak demikian dengan risiko politik, yang justru semakin sering mengganggu.
Judul | Political Risk: Cara Bisnis dan Perusahaan Mengantisipasi Ketidakamanan Global |
Penulis | Condolezza Rice & Amy B. Zegart |
Penerbit | PT Gramedia Pustaka Utama |
Tahun terbit | 2021 |
ISBN | 978-602-06-5353-2 |
Condoleezza Rice dan Amy Zegart menjelaskan dan mengurainya dalam buku berjudul Political Risk: Cara Bisnis dan Perusahaan Mengantisipasi Ketidakamanan Global yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (2021). Buku ini merupakan terjemahan dari Political Risk: How Business and Organizations Can Anticipate Global Insecurity yang diterbitkan Fletcher & Company (2018).
Penulis membawa pembaca menyelami berbagai jenis risiko yang ada di bawah payung politik. Penulis tidak berhenti dengan hanya menjelaskan beragam jenis risiko politik, tetapi juga memberikan panduan yang harus dilakukan untuk mengurangi dampaknya terhadap bisnis atau usaha.
Condoleeza Rice dikenal sebagai mantan penasihat keamanan dan menteri luar negeri Amerika Serikat selama hampir satu dekade. Beliau juga merupakan akademisi di Universitas Stanford, sementara Zegart juga memiliki lencana Stanford, selain bekerja dengan McKinsey. Condolezza menggali lebih dalam risiko politik abad ke-21, mulai dari soal apa, dari mana, dan mengapa risiko tersebut demikian menantang.
Risiko politik pada abad ke-21 mengandung probabilitas bahwa suatu tindakan politis dapat memengaruhi bisnis perusahaan secara signifikan. Istilah tindakan politis terkait dengan peningkatan peran pemicu risiko di luar sumber-sumber biasanya.
Tindakan politis yang memengaruhi area bisnis terus bermunculan di berbagai tempat. Perusahaan yang ingin memiliki keunggulan kompetitif perlu mengelola risiko yang dimunculkan oleh aktor politik global yang semakin beragam.
Aktor politik
Perusahaan yang menginginkan keunggulan kompetitif perlu menyikapi risiko politik dari para aktor politik. Pemerintah bukan lagi satu-satunya aktor paling penting dalam bisnis. Aktor politik apabila disederhanakan memiliki lima level, yakni individu, pemerintah nasional, aktor transnasional, institusi supranasional/internasional.
Kategori individu misalnya pengguna Twitter, penggarap film dokumenter, aktivis, pembela hak konsumen, selebriti, rakyat biasa, dan penonton. Organisasi lokal mencakup kelompok politik yang dapat menimbulkan masalah bagi bisnis dengan pembatasan mereka, misalnya asosiasi lingkungan, kelompok politik, ataupun pemerintah daerah.
Adapun aktor pemerintah nasional dan institusinya, seperti presiden, badan eksekutif, legislatif, dan pengadilan. Setiap perubahan kebijakan, misalnya, alokasi sumber daya alam dapat mengacaukan rencana perusahaan yang telah merencanakan strategi mereka berdasarkan dispensasi tertentu yang ada. Kategori supranasional atau internasional misalnya Uni Eropa dan PBB, bahkan teroris ataupun hacker yang dapat mengacaukan rencana perusahaan.
Risiko yang muncul dari lima level aktor utama semakin bervariasi. Penulis setidaknya menyebutkan ada 10 risiko politik saat ini, yakni geopolitik, konflik internal, perubahan kebijakan, pelanggaran kontrak, korupsi, wilayah ektrateritorial, manipulasi SDM, aktivitasme sosial, terorisme, dan ancaman siber.
Salah satu contoh nyata risiko dari aktor utama berupa perubahan kebijakan radikal oleh pemerintahan Janata pasca-1977 yang meminta perusahaan multinasional seperti IBM dan Coke untuk meninggalkan India. Kondisi ini mengguncang kondisi perusahaan yang menggunakan produk kedua perusahaan tersebut.
Tak terkecuali saat kasus pelanggaran kontrak yang terjadi di beberapa negara Afrika. Suap harus diberikan agar kontrak tetap berjalan, terutama ketika rezim mengalami perubahan.
Ancaman
Inovasi dan kemajuan teknologi memampukan bisnis melakukan ekspansi ke berbagai wilayah dan negara. Pada saat bersamaan, kondisi tersebut membuat dunia usaha juga kian diperhadapkan pada risiko politik yang lebih besar.
Inovasi mampu mengurangi biaya, rantai pasokan semakin ramping, panjang, dan menjangkau tempat-tempat terjauh. Namun, keinginan mengejar margin yang besar mendorong perusahan sering kali memilih pemasok di area-area beresiko lebih tinggi.
Kondisi serupa terjadi akibat meluasnya penggunaan telepon seluler dan internet. Menjamurnya penggunaan telepon seluler, internet dan media sosial memberdayakan kelompok-kelompok kecil secara masif. Teknologi tersebut otomatis mengurangi biaya yang dikeluarkan secara kolektif. Namun, dalam dunia yang serba terhubung, orang yang hanya menonton pun dapat mengunggah video yang direkam dari telepon seluler dan berpartisipasi secara spontan dalam gerakan di Twitter. Akibatnya, pemerintah dan perusahaan sering kali berhadapan dengan peristiwa yang mendadak viral nyaris tanpa peringatan.
Perubahan dalam politik tidak hanya mengakibatkan perbatasan juga semakin mudah ditembus. Isu ekonomi berkelindan dengan isu keamanan internasional.
Seperti yang terjadi pascaserangan 9/11. Serangan 9/11 terhadap menara kembar di New York, Amerika Serikat, yang menyadarkan dunia bahwa serangan dahsyat yang menyebabkan ekonomi dunia terganggu tidak lagi hanya bisa dilakukan negara kuat. Di sisi lain, upaya membasmi terorisme turut menguat.
Peristiwa yang terjadi di dunia bahkan menyebabkan guncangan serta menyadarkan negara-negara di dunia. Seperti saat Perang dingin berakhir menjadi penanda dimulainya periode globalisasi. Namun, kondisi tersebut sempat membawa guncangan yang memengaruhi dunia politik dan bisnis.
Manajemen risiko politik
Survei menunjukkan bahwa para eksekutif menganggap manajemen risiko politik sulit dihargai, dipahami, diukur, diperbarui, dan dikomunikasikan. Namun, perusahaan harus siap dengan risiko politik dan perlu mengenalinya lebih awal.
Sering kali perusahaan hidup dalam penyangkalan dan selalu mengatakan manajemen risiko politik tidak penting karena bisnis tidak rentan, terutama jika tidak ada operasi global dan bisnis murni domestik. Namun, perubahan kebijakan merupakan risiko besar yang dapat menekan perusahaan secara luas.
Mengelola risiko politik tidak selalu soal tebak menebak. Pemilik usaha perlu mengetahui letak risiko politik diprediksi akan muncul. Upaya menelaah semua area, memprioritaskan risiko politik, dan mengembangkan perencanaan serta proses berpikir dalam organisasi menjadi sangat penting. Langkah memahami, menganalisis, memitigasi, dan merespons risiko merupakan elemen kunci. Pertanyaan panduan terkait hal-hal tersebut akan membantu mengasah kepekaan risiko politik yang dihadapi.
Dengan demikian, cara terbaik menghadapi risiko politik adalah dengan tidak membiarkannya terjadi. Kejadian nyaris celaka harus dimanfaatan untuk merencanakan kegagalan, mencari sinyal-sinyal kelemahan, dan menghargai tindakan yang bernyali.
Namun, jika risiko politik terjadi harus disikapi dengan langkah menilai situasi, mengaktivasi tim, memimpin dengan nilai-nilai, menceritakan kisah bisnis, serta tidak mengipasi nyala api. Selain itu, mekanisme untuk pembelajaran berkelanjutan yang menyeimbangkan antara pencarian ide baru secara kreatif dan implementasi secara sistematis (eksploitasi) harus dikembangkan.
Pada akhirnya, organisasi yang efektif menurut penulis memiliki tiga kesamaan dalam berhadapan dengan risiko politik, yakni menanggapi secara serius, menyikapi secara sistematis, dan memiliki pemimpin senior yang bergerak mengelola risiko politik. Jika organisasi memiliki tiga hal tersebut, penulis menilai organisasi akan lebih siap, bahkan lebih mudah pulih. (LITBANG KOMPAS)