logo Kompas.id
BukuMencari Identitas Bangsa lewat...
Iklan

Mencari Identitas Bangsa lewat Kuliner

Industri kuliner Indonesia hingga kini masih populer dengan kehadiran berbagai macam rumah makan dan inovasi makanan yang ditawarkan. Namun, sebagian dari mereka belum mengetahui kisah di balik ragam kuliner Indonesia.

Oleh
Martinus Danang Pratama Wicaksana
· 6 menit baca

Judul bukuJejak Kuliner: Dari Dapur hingga Meja Makan Indonesia
PenulisAndreas Maryoto
PenerbitPenerbit Buku Kompas
Tahun terbit2021
Jumlah halamanxlii + 198 halaman

https://cdn-assetd.kompas.id/uk69oEBM2xkcFy0EBHh0je_aqi0=/1024x768/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2FP_20210809_131753_vHDR_On-01_1_1629107289.jpg
Kompas

Cover buku \'Jejak Kuliner: Dari Dapur hingga Meja Makan Indonesia\' oleh Andreas Marwoto

Ketika seseorang menikmati suatu hidangan makanan atau minuman yang dia sukai, tanpa sadar sajian tersebut memiliki cerita yang menarik terkait dengan asal-usulnya. Kuliner Indonesia sendiri merupakan persilangan dari berbagai macam kebudayaan yang berasal dari India, Arab, Tionghoa, Eropa, dan lain sebagainya. Keberagaman kebudayaan dalam kuliner ini menjadi salah satu contoh dari bentuk toleransi di Indonesia.

Misi inilah yang diemban oleh Andreas Maryoto sebagai penulis dari buku Jejak Kuliner: Dari Dapur hingga Meja Makan Indonesia (PBK, 2021). Buku ini merupakan kumpulan tulisan Maryoto tentang dunia kuliner Indonesia. Tulisan-tulisan tersebut merupakan beberapa karyanya sewaktu  masih menjadi wartawan Kompas di daerah sehingga Maryoto dapat mengulik sejarah makanan di tempat dia berkarya secara leluasa.

Maryoto tidak hanya berbicara mengenai makanan, tetapi ia juga meluaskan cakupannya yakni tentang dapur, ruang makan, warung makan, minuman, kemasan makanan, buku resep, dan lain sebagainya. Meskipun ditulis dengan gaya jurnalistik dan tidak terpaku pada kaidah penelitian sejarah, Maryoto dapat dengan bebas melakukan lompatan-lompatan waktu di setiap tulisannya.

Mencari identitas

Makanan tidak hanya soal pemenuhan kebutuhan primer, namun juga menjadi sebuah identitas dari suatu bangsa. Salah satu hidangan makanan dapat memberikan simbol mengenai kehadiran dari bangsa tertentu. Contohya pasta yang merupakan makanan berbentuk mi yang menjadi salah satu identitas makanan Eropa, khususnya Italia. Namun, beberapa kajian menyebutkan makanan mi juga menjadi identitas negara-negara di Asia.

Para pengkaji sejarah kuliner berpendapat pasta  diduga dibawa oleh Marco Polo setelah kunjungannya di Asia pada abad ke-13. Kemudian Marco Polo membawa makanan mi dari Asia ke daratan Eropa dan muncullah pasta. Namun, ada juga peneliti sejarah kuliner yang menyatakan bahwa pasta berasal dari Kota Mezzogiorno, Italia. Di kota tersebut mi telah dikenal jauh sebelum penjelajahan Marco Polo di Asia.

Kisah pencarian identitas melalui kuliner juga pernah dialami oleh Jose Rizal, seorang pahlawan nasional Filipina. Pada 1898, Rizal mengadakan perjalanan dari Manila, Filipina, ke Paris, Perancis, untuk menghadiri L’Exposition Universelle atau Pameran Dunia di Paris. Dalam buku The Foods of Jose Rizal (2011) yang ditulis oleh Felice Prudente Sta Maria disebutkan bahwa pameran tersebut memperlihatkan perkampungan 400 warga asli di seluruh dunia.

Ketika dalam pameran, Rizal tertarik dengan salah satu perkampungan, yakni kampung Jawa, yang didatangkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dalam suratnya yang dikirim kepada sahabatnya, Rizal bercerita bahwa orang-orang Jawa memiliki ras yang sama dengan bangsanya.  Rizal menilai makanan Jawa dan Filipina  tidak identik, tetapi memiliki keterkaitan karena berasal dari lingkungan yang sama.

Orang Filipina dan Jawa sama-sama makan nasi dan gemar mengunyah sirih atau pinang. Minuman beralkohol dari fermentasi beras bagi orang Filipina disebut tapuy sedangkan bagi orang Jawa dikenal tape.

Felice meyakini lewat pengalaman Rizal di Paris dengan mencoba makanan-makanan dari Jawa membuat Rizal meyakini identitasnya darimana dia berasal dan siapa nenek moyangnya. Rizal menyadari bahwa rasnya berbeda dengan orang-orang Spanyol yang menduduki wilayahnya. Karena itu, tidak mengherankan apabila Leon Ma. Guerrero menjuluki Jose Rizal sebagai The First Filipino, orang pertama Filipina.

Silang budaya Indonesia

Identitas kuliner Indonesia memiliki keunikan tersendiri karena tercampur dari beragam kebudayaan di dunia. Bagi peneliti asal Perancis, Dennys Lombard, istilah silang budaya digunakan untuk menjelaskan keberagaman kebudayaan Indonesia di dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya. Lombard menjelaskan bahwa kebudayaan Indonesia dipengaruhi oleh kebudayaan dari India, Tionghoa, Arab, dan Eropa. Bahkan, persilangan budaya ini sudah terpengaruh sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha hingga datangnya kolonialisme.

https://cdn-assetd.kompas.id/E5mk9w7jxqjNhMeaQN9pLIijyf0=/1024x759/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_11173041_49_0.jpeg
Kompas

Sejumlah buku resep masakan di Tanah Air dari berbagai zaman. Setidaknya buku resep masakan ini yang tertua terlacak sejak akhir abad 19. Buku-buku ini menjadi bukti sejarah kuliner Indonesia.

Persilangan kebudayaan dalam kuliner Indonesia tidak hanya dapat dilihat dari hidangan makanan dan minuman saja. Namun, kita bisa melihat berbagai macam aspek kuliner lain, seperti dari dapur, ruang makan, tata cara makan, penulisan buku resep, dan lain sebagainya.

Dapur bagi kebanyakan orang Indonesia tidaklah istimewa karena letaknya di belakang rumah, terlihat kotor dan gelap sehingga mengindikasikan ketidaksehatan dalam menyajikan makanan. Namun, pada 1869 setelah dibukanya Terusan Suez di Mesir, perempuan-perempuan Eropa bermigrasi ke Hindia Belanda. Kedatangan mereka kemudian mengubah wajah dapur masyarakat bumiputera menjadi lebih sehat. Mereka memberi penyuluhan lewat dokter-dokter bumiputera bahwa rumah yang sehat haruslah memiliki dapur yang sehat dan bersih.

Pembangunan dapur yang sehat juga diikuti dengan ditambahkannya ruang makan di setiap rumah. Sebelumnya bagi orang Jawa, ruang makan tidak ada dalam kebudayaannya. Dalam History of Java (1817) karangan Thomas Stanford Raffles menyebutkan ketika siang orang Jawa makan di sawah sambil menjaga padinya, pada waktu malam mereka bisa makan di mana saja. Kebiasaan ini membuat orang Jawa tidak memerlukan ruang makan secara khusus.

https://cdn-assetd.kompas.id/m8n79z2Dug5ZzjaYY9GcAYRQurM=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_1861518_70_0.jpeg
Kompas

Leti memasak masakan untuk warung Nasi Kapau miliknya di rumahnya di Nagari Kapau, Agam, Sumatera Barat, Selasa (9/7). Masakan khas Nasi Kapau, antara lain, Rendang Itik, Rendang Ayam, dan Kalio Tamusu (usus sapi isi telur).

Namun, hal ini berubah ketika pendidikan Eropa mulai diperkenalkan kepada masyarakat bumiputera. Pada awalnya hanya orang-orang priyayi yang memiliki ruang makan karena keinginannya untuk meniru kebudayaan barat. Lambat laun orang-orang bumiputera tidak lupa menambahkan ruangan khusus yang hanya didedikasikan untuk makan saja saat membangun rumah sehingga terbentuk kebudayaan makan ala Eropa di ruang makan bagi orang-orang Indonesia.

Makanan Indonesia dan tata cara makannya pun juga ikut terpengaruh kebudayaan luar. Pada perayaan pernikahan di Jawa Tengah, misalnya, kita akan menemukan istilah usdek yang merupakan singkatan dari unjukan (minuman), snack (makanan pembuka), daharan (nasi), es krim (penutup), dan kondur (saat para tamu pulang). Urut-urutan ini terpengaruh kebudayaan Eropa yang dikenal table manner. Bahkan, tata cara makan ini juga merujuk pada sajian rijsttafel yang telah menjadi kebiasaan orang Belanda di Hindia.

Berlimpahnya makanan Indonesia kemudian disadari oleh beberapa kalangan untuk dicatat dalam sebuah buku. Penerbitan buku resep masakan dapat memberikan edukasi untuk mengenal berbagai macam kuliner Indonesia yang berasal dari berbagai pulau-pulau. Buku resep tertua di Indonesia berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masak Masakan India jang Bahroe dan Sempoerna karya Nonna Cornelia yang terbit tahun 1858.

Setelah itu muncul berbagai macam buku resep yang dikeluarkan, baik dari orang Belanda maupun bumiputera. Sebut saja JMJ Catenius van Der Meijden yang menulis buku Nieuw Volledig Oost Indisch Koekboek (1902) dan RA Kardinah adik RA Kartini yang menulis buku berjudul Lajang Panoentoen Bab Olah-Olah (1918). Begitu pun pada 1960-an, Presiden Soekarno dalam proyek pemerintahannya juga menerbitkan buku resep masakan yang berjudul Mustika Rasa, Buku Masakan Indonesia.

Kajian kuliner Indonesia

Perkembangan kuliner Indonesia hingga kini masih belum didukung oleh riset-riset mengenai sejarah makanan Indonesia. Hal ini terlihat dari masih minimnya sejarawan kuliner Indonesia dan belum masuknya kajian kuliner dalam kurikulum pendidikan. Apalagi, catatan-catatan informasi mengenai suatu kuliner di Indonesia jumlahnya tidak banyak dan sulit untuk dicari.

Kajian mengenai kuliner Indonesia sangatlah penting dalam menemukan identitas Indonesia lewat kuliner. Begitu beragamnya kuliner Indonesia sering kali membuat bangsa ini bingung makanan yang layak mewakili identitas Indonesia di dunia. Sejarah kuliner menjadi salah satu opsi untuk mencari jejak-jejak kuliner Indonesia. (Litbang Kompas)

Editor:
santisimanjuntak
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000