Dia, Jacko, dan Gayatri
Bre Redana, penulis novel ini, sudah memberikan peringatan pada bagian awal buku dengan kalimat pendek, ”Semua dalam cerita ini benar adanya, kecuali yang dianggap nyata.”
Judul: Dia Gayatri
Penulis: Bre Redana
Penerbit: Penerbit Tanda Baca, Yogyakarta
Cetakan: I, Oktober 2020
Tebal: xi + 210 halaman
ISBN: 978-623-93977-3-9
Imajinasi tentang Majapahit tak pernah dan bahkan seolah tak boleh mati bagi kita orang Indonesia ini. Betapa tidak, mulai dari warna bendera kebangsaan sampai gagasan dasar Wawasan Nusantara kita ambil dari riwayat kebesaran imperium Majapahit yang telah runtuh tujuh abad lampau itu.
Oleh sebab itu, wajar saja jika imajinasi soal Majapahit ini juga senantiasa hidup di hati dan pikiran para penulis di negeri ini. Bisa dikatakan tak terhitung banyaknya karya tulisan, baik yang fiksi, nonfiksi, maupun setengah fiksi, yang mengambil latar belakang seputar masa kejayaan Majapahit.
Menjadi aneh dan luar biasa saat Bre Redana, salah satu penulis/esais/novelis yang lebih dikenal dengan tulisan-tulisan urban kontemporer, ikut-ikutan menulis tentang Majapahit. Bahkan, sudah dua novel yang dia terbitkan yang membawa latar sejarah Majapahit, yakni Majapahit Milenia (2019) dan yang terbaru, Dia Gayatri (2020).
Tentang novel terbaru inilah saya penasaran untuk sekadar menuliskan ulasan mengenainya. Rasa penasaran saya bertambah karena nama saya disebut-sebut dalam novel Dia Gayatri terkait kehadiran sebuah mobil yang bernama Jacko milik sang ”tukang cerita”. Ya, mobil dalam cerita ini punya nama dan dikisahkan bisa berdialog dengan sang empunya, mirip seperti mobil KITT dalam film jadul Knight Rider yang dibintangi David Hasselhoff.
Kebetulan, ”ngawur yang membangun” ini juga menjadi salah satu ciri khas tulisan-tulisan Bre Redana, terutama dalam novel-novelnya, di mana ia bisa berekspresi sebebas-bebasnya.
Tetapi, tak apalah saya ”ngawur” sedikit, selama itu adalah ngawur yang membangun. Kebetulan, ”ngawur yang membangun” ini juga menjadi salah satu ciri khas tulisan-tulisan Bre Redana, terutama dalam novel-novelnya, di mana ia bisa berekspresi sebebas-bebasnya. Bahkan, menurut saya, semua karya fiksi membutuhkan bumbu ”kengawuran” itu untuk memunculkan efek ketidakterdugaan yang segar.
Lagi pula sejarah membuktikan, belokan-belokan penting dalam sejarah dunia ini kadang ditentukan dari tindakan-tindakan ”ngawur”.
Baiklah, kita kembali ke novel Dia Gayatri, yang dari judulnya saja kita tahu akan diajak mengenal lebih jauh akan sosok Dyah Gayatri, putri bungsu raja terakhir Singasari, Kertanegara, dan permaisuri raja pertama Majapahit, Kertarajasa Jayawardana, atau lebih kita kenal dengan panggilan Raden Wijaya.
Namun, meminjam istilah penulis novel ini, yakni yang sedang kalenggahan untuk menulis tentang Majapahit adalah seorang penulis urban, tak heran jika novel ini dibuka bukan di pedalaman Trowulan atau di pelosok-pelosok Kediri atau Singasari. Melainkan, jalinan kisah dibuka di pusat kota London, Inggris, tepatnya di King’s Street, tempat sebuah rumah lelang papan atas berada.
Di situ sedang terjadi persaingan dalam pelelangan sebuah patung kuno yang berjudul ”Gayatri as Pradnya Paramitha, the Goddess of Knowledge”. Di sana kita dikenalkan pada satu tokoh bernama Karani Natya Gitataya Candra, cucu pengusaha properti sukses di Indonesia, Gitaya. Tentu saja ini tokoh fiktif, walau jika dibaca runutan latar belakang dan tujuannya, bisa ditebak siapa pengusaha sukses yang menjadi inspirasi sosok ini. Karani merasa ada kekuatan magis pada patung Gayatri as Pradnya Paramitha itu sehingga nekat mengikuti lelang walau akhirnya harus kalah dengan seorang pengusaha besar asal Indonesia lainnya.
Dari London, cerita meloncat ke perjalanan tokoh bernama ”tukang cerita” (memakai huruf kecil semua). Tukang cerita ini sebenarnya adalah ”Sang Aku” yang kemudian mengendalikan jalan cerita selanjutnya. Dalam bab ini dijelaskan si tukang cerita tengah melakukan perjalanan ke Jawa Timur dengan menggunakan Jacko, mobil jipnya yang baru didapat dari undian berhadiah hasil membeli kolor di sebuah mal.
Walau tidak disebutkan secara jelas, saya bisa memastikan Jacko adalah sebuah Suzuki Jimny berwarna hijau lumut yang dimiliki penulis novel ini sejak tahun 2020. Latar belakang si tukang cerita sebagai mantan wartawan yang sudah pensiun dari sebuah koran nasional juga mirip dengan latar belakang Bre Redana dalam kehidupan nyata.
Saya juga tahu Bre melakukan perjalanan (entah dengan Jacko atau tidak), menjelajahi candi-candi peninggalan Majapahit di sekitar Malang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Inspirasi cerita ini sebagian diambil dari pengalamannya itu.
Ada alur cerita yang memang berbasis sejarah, tetapi ada juga detail-detail cerita lainnya yang murni imajinasi.
Namun, apa kemudian novel Dia Gayatri ini sebenarnya bukan kisah fiksi tapi berdasarkan kejadian-kejadian yang sesungguhnya? Nanti dulu. Dia Gayatri jelas-jelas dinyatakan sebagai novel.
Sesuai kodrat dan konsep Suzuki Jimny yang berpenggerak empat roda dan bisa menjejalah segala medan, Bre pun bermain-main dengan Jacko menjelajah segala medan cerita. Ada alur cerita yang memang berbasis sejarah, tetapi ada juga detail-detail cerita lainnya yang murni imajinasi.
Selanjutnya, kisah mulai memasuki riwayat Dyah Gayatri, sejak dari kehidupannya sebagai putri bungsu Raja Kertanegara hingga peristiwa pemberontakan Jayakatwang dari Gelang-gelang dan hubungan asmaranya dengan Raden Wijaya yang kelak kemudian menurunkan raja dan ratu terbesar Majapahit di puncak kejayaannya. Garis besar alur cerita ini sama dengan paparan sejarah yang selama ini dipaparkan di sekolah-sekolah.
Namun, berbagai kembangan dan detail di dalamnya, seperti surat-menyurat asmara antara Gayatri yang berada di pengasingan di Kediri hingga adegan memadu cinta Gayatri dan Raden Wijaya, sudah bisa ditebak sebagai hasil imajinasi penulisnya sendiri.
Kisah ini kemudian menjadi semacam pemujaan kepada Gayatri, yang menjadi Permaisuri Rajapatni bagi Raja Kertarajasa Jayawardana, dan sekaligus Ibu Bangsa bagi Majapahit. Kisah pun berlanjut hingga era sepeninggal Raden Wijaya, era Raja Jayanegara, hingga bertakhtanya Ratu Tribuana Tunggadewi dengan peranan Mahapatih Gajahmada, sampai ke zaman pemerintahan raja terbesar Majapahit, Hayam Wuruk.
Sebenarnya kisah yang menyorot sosok Dyah Gayatri ini bukan yang pertama kalinya dibuat novel. Almarhum Arswendo Atmowiloto juga berhasil membuat kisah silat yang indah tentang Gayatri ini dalam serial Senopati Pamungkas. Arswendo bahkan lebih berani lagi dalam berngawur ria dengan mengisahkan Gayatri sebenarnya memendam cinta mendalam dengan tokoh fiktif utama serial ini, yakni Upasara Wulung.
Namun, dari segi alur cerita, Arswendo lebih taat dan serius mengikuti detail sejarah Majapahit itu dibandingkan dengan Bre Redana, yang masih suka bermain-main walau mengikuti alur sejarah yang serupa.
Kisah Karani dan terpesonanya dengan patung Gayatri as Pradnya Paramita juga terasa masih menggantung. Hal itu bisa menjadi indikasi akan hadir sekuel novel ini ke depannya.
Baca juga: Perempuan dalam Lingkar Aib dan Nasib
Pada akhirnya, perjalanan tukang cerita dengan Jacko merambah di segala medan imajinasi ini bisa membuat pembaca kadang bingung, mana bagian yang nyata dan mana yang imajinasi. Penulis melalui perantaraan tukang cerita juga menyebutkan, tidak ada yang lebih penting daripada dongeng. Yang jelas, penulis novel ini sudah memberikan peringatan pada bagian awal buku dengan kalimat pendek, ”Semua dalam cerita ini benar adanya, kecuali yang dianggap nyata.”
Jadi, silakan menikmati penjelajahan imajinasi segala medan dalam dongeng Dia Gayatri! (DAHONO FITRIANTO/REDAKSI)