Mengenal Maria Ulfah, Pejuang Hak Perempuan Indonesia
Upaya memperjuangkan persamaan hak antara kaum perempuan dan laki-laki tidaklah mudah. Namun, kegelisahan Maria Ulfah sejak kecil dalam melihat ketidakadilan yang dialami perempuan mendorongnya berjuang.
Oleh
Desi Permatasari
·3 menit baca
Maria Ulfah merupakan anak kedua dari kalangan keluarga priyayi, yakni R.A.A Mohammad Ahmad dan R.A Hadidjah Djajadiningrat. Sehingga, tak mengherankan jika ayahnya menjabat Bupati Kuningan pada masa pendudukan Belanda.
Maria Ulfah yang akrab disapa Itje awalnya diharapkan menjadi seorang dokter atau apoteker oleh sang ayah. Sayangnya, Itje merasa kurang cocok dengan dua bidang ilmu pilihan ayahnya.
Dalam buku Maria Ulfah: Menteri Perempuan Pertama di Indonesia\' yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2021, menceritakan panggilan Maria Ulfah untuk membela perempuan dari ketidakadilan. Hasrat untuk membela kaum perempuan dari tekanan adat dan laki-laki sangat kuat terlebih setelah melihat kehidupan tragis yang harus dialami bibinya. Sang bibi diceraikan karena dinilai tidak mampu memberikan keturunan.
Panggilan ini mendorongnya untuk melanjutkan studi bidang hukum di Universitas Leiden. Jurusan yang dipilih, dia nilai cocok dengan kepribadiannya yang pandai berbicara dan mengungkapkan pendapat.
Perkenalannya dengan Sjahrir di Belanda membawanya terlibat dalam organisasi. Kala itu Sjahrir juga sedang menempuh pendidikan hukum di Amsterdam. Organisasi pertama yang diikuti Maria Ulfah atau yang akrab disapa Itje adalah Perhimpunan Mahasiswi Leiden atau Vereeniging van Vrouwelijke Studenten Leiden (VVSL). Namun, Itje tidak terlalu aktif dalam organisasi tersebut karena tidak ingin menyulitkan posisi ayahnya sebagai pejabat pemerintah kolonial Belanda.
Buku yang hadir dengan 256 halaman ini menceritakan bahwa tahun 1933 Itje kembali ke tanah Air. Itje mendapatkan pekerjaan pertama sebagai penyusun naskah peraturan lalu lintas di kantor Kabupaten Cirebon. Sayangnya, Itje tidak tertarik dengan pekerjaan tersebut karena tidak berhubungan langsung dengan rakyat. September 1934, Itje beralih menjadi guru Bahasa Jerman, sejarah, dan Tata Negara di Sekolah Menengah Muhammadiyah.
Minatnya terhadap persamaan hak perempuan menuntunnya ikut dalam organisasi Perempuan. Perempuan kelahiran Serang ini bergabung dalam Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1935 atas ajakan Sri Mangunsarkoro.
Itje pun mengubah haluan hidup menjadi aktivis perempuan. Itje bahkan terpilih menjadi anggota Komisi Rancangan Peraturan Perkawinan sebagai cikal bakal UU perkawinan pada Kongres Perempuan Indonesia III tahun 1938. Maria Ulfah menjadi pencetus talik talak sebagai salah satu cara melindungi perempuan dari kasus-kasus kesewenangan laki-laki.
Penyandang Bintang Mahaputera Utama ini kemudian terjun ke dunia organisasi secara total pada badan fusi bernama "istri Indonesia" pada tahun 1935. Itje menduduki jabatan sebagai ketua Istri Indonesia pada tahun 1940-1942 yang fokus utamanya adalah pemberantasan buta huruf dan bantuan sosial kepada anak-anak. Tak hanya itu Itje juga berjuang menyuarakan penolakan praktek poligami yang tidak diiringi dengan keadilan.
Tahun 1946, Itje menerima tugas sebagai Menteri sosial di Kabinet Sjahrir, dengan tugas utama menjalankan proyek repatriasi tawanan perang Jepang yang masih tinggal di Indonesia. Pertimbangan Sjahrir memilih Maria Ulfah karena peran Maria Ulfah dalam perjuangan perempuan yang dinilai cocok mewakili perempuan di pemerintahan. Kala itu menyertakan perempuan dalam kabinet merupakan penghargaan terhadap perempuan yang dinilai memiliki peran besar dalam perjuangan bangsa.
Itje diminta kembali untuk menjadi Menteri Sosial oleh Amir Sjarifuddin namun ia menolaknya, hal itu dilakukan karena Itje ingin solider dengan Sjahrir. Meskipun pada akhirnya Itje menerima tawaran Amir untuk menjadi Sekretaris Perdana Menteri.
Selama berkecimpung di organisasi perempuan, Itje pernah merasa mengalami penyesalan yakni saat pemberlakuan PP No.19 tahun 1952 yang berisi diperbolehkannya istri pertama, kedua, dan seterusnya mendapatkan pensiun dari suami yang bekerja sebagai pegawai negeri. Itje merasa kecolongan saat pemberlakuan UU tersebut.
Itje sempat mendirikan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI). Namun, jabatan Itje di pemerintahan di ujung karirnya adalah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1973.
Maria ulfah wafat di usia 76 tahun dengan meninggalkan berbagai penghargaan seperti Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan tahun 1961, Satyalancana Karya Satya Kelas II, Perintis Kemerdekaan, dan Anugerah Hak Asasi Manusia. Sejarah mencatat peran penting Maria Ulfah yang telah bekerja bagi Indonesia terlebih hak perempuan Indonesia.