Belajar dari Sejarah Kelam Masa Lalu
Buku ini mengajak kita belajar dari sejarah kelam kekerasan kolektif masa lalu, sebagai bekal membangun hidup masa depan yang lebih toleran, manusiawi, damai, dan aman. Masyarakat yang menghidupi nilai-nilai Pancasila.
- Judul: Memori Genosida: Melihat Kekerasan Kolektif Masa Lalu dalam Perspektif Holocaust
- Penulis: Antarini Arna, A Sudiarja SJ, Yoseph Yapi Taum dkk
- Editor: Baskara T Wardaya SJ
- Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama dan Pusdema Universitas Sanata Dharma
- Cetakan: I, tahun 2021
- Tebal: xvii + 240 halaman
- ISBN: 978-602-06-4834-7 (cetak); 978-602-06-4835-4 (digital)
Holocaust yang sudah diadopsi sebagai kosakata Indonesia, arti harfiahnya bencana atau pembakaran. Kata itu bermakna mengerikan ketika di kemudian hari dikenakan untuk kasus pembasmian 6 juta warga ras Yahudi oleh Adolf Hitler dengan serdadunya atas nama Nazi. Terjadi di Jerman dan beberapa negara kekuasaan Jerman tahun 1939-1945. Mereka tanpa kecuali disiksa, dinista, dijadikan pekerja paksa, dibunuh dengan semburan gas dan dibakar.
Karena ditujukan untuk pembasmian ras, holocaust terkait genosida, bentukan dari genos bahasa Yunani yang berarti ras atau suku bangsa dan cide bahasa Latin artinya pembunuhan. Holocaust lantas dikenakan untuk pembasmian ras secara masif, serentak, dan sadistis; kosakata yang baru dikenal mulai abad ke-20 (hlm 141).
Membaca kisah-kisah holocaust dalam beberapa versi, termasuk pernah mengunjungi salah satu kamp konsentrasi di Jerman (dulu bagian Timur), saya selalu menitikkan air mata. Hati terasa pedih dan sesak. Rasa perasaan mendesakkan pertanyaan: apa yang mendorong manusia membantai sesamanya secara sadistis, serentak, dalam jumlah jutaan? Karena faktor kebencian seperti terjadi dalam holocaust tahun (1939-1945) terhadap ras Yahudi? Dengan me-liyan-kan mereka, atas nama pemurnian ras (Aria sebagai kasta tertinggi), pembasmian ras (genosida) dilakukan sebagai ”solusi final” di Jerman ataupun beberapa negara di bawah kekuasaan Jerman.
Narasi itu yang selama ini diketahui publik. Tetapi, menurut beberapa ahli genosida, holocaust dengan auktor intelektualisnya Adolf Hitler, argumentasi pemurnian ras dan ”pe-liyan-an” Yahudi diperdalam. Di antaranya oleh Zygmunt Bauman (sosiolog) yang pemikiran ringkasnya disarikan dalam artikel pertama buku ini (Bab 1: Antarini Arna).
Ada hubungan kait-mengait genosida dan holocaust dengan modernitas dan kemajuan teknologi. Berkat keduanya, ada pengelompokan ras dan cara-cara pembasmian luar biasa sadis atas sesama yang diawali dengan ”solusi awal” dalam bentuk pe-liyan-an ataupun ”solusi akhir” dengan ”semprotan asap knalpot” dan dibakar di kamar-kamar gas (Bab 7: Gunawan Wibisono). Pengembangan cara ”solusi final” bukan dimaksudkan untuk pengurangan rasa sakit, tetapi demi meminimalkan trauma psikologis para algojo.
Buku yang terdiri atas 10 artikel ini diberi bingkai pemahaman dalam Bab 1 dan artikel kedua (Bab 2: A Sudiarja SJ). Dua artikel itu dilengkapi dan diperkaya maknanya dengan kisah-kisah genosida dan holocaust lokal, termasuk kasus Indonesia pasca-G30S (Peristiwa 1965) dalam Lampiran.
Di luar prolog, epilog, dan dua lampiran, buku ini memberi kedalaman, nuansa, dan perluasan pemahaman tentang holocaust-holocaust yang pernah terjadi, tidak termasuk genosida sebelumnya terhadap suku Indian di AS ataupun suku Aborigin di Australia. Tujuan akhirnya, memetik pelajaran untuk mencegah terulangnya kembali di masa depan. Dalam hal ini, apresiasi perlu disampaikan kepada editor, Baskara T Wardaya, yang dengan teliti selalu membuat rujukan dan mengaitkan kedelapan artikel itu satu sama lain.
Dengan buku ini, narasi dan pemahaman tentang holocaust-genosida ditempatkan sebagai bagian dari mengedukasi masyarakat. Bahwa holocaust tidak hanya digerakkan kebencian pada ”liyan”, tetapi ada nuansa dan faktor lain, di antaranya pembenaran kekuasaan itu koruptif (Lord Acton), penataan sosial (gardening) mewujudkan mimpi tentang masyarakat yang lebih tertata, tidak seluruh pelakunya adalah ”monster” dan kekerasan massal sebagai banalitas kejahatan seperti pernah disampaikan Hannah Arendt (Bab 4: Eden South).
Holocaust sebagai genosida tidak hanya terjadi di Eropa semasa Hitler berkuasa, tetapi di sejumlah negara lain juga (genosida dalam perspektif lokal) sehingga tercatat selama abad ke-20 ini terjadi sekitar 100 juta manusia dibasmi secara massal, sadistis, dan serentak (Bab 8: Yoseph Yapi Taum). Abad ke-20 adalah abad pembasmian manusia, dan abad pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang luar biasa.
Holocaust selalu terkait dengan kejadian di Eropa dengan pelaku Hitler, dan di beberapa negara lain. Sudah lama lewat, sebagian pelakunya sudah diadili dan menjalani hukuman. Sementara itu, kejadian serupa terus terjadi, taruhlah contoh yang aktual di Myanmar, yang digerakkan oleh ketamakan kekuasaan dan bukan pemurnian ras.
Peristiwa Myanmar belum terjadi ketika serangkaian seminar dan workshop diselenggarakan (tahun 2018)—awal kehadiran buku ini—tetapi analisisnya bisa dipakai sebagai pegangan memahami kompleksitas permasalahan. Bahwa abad ke-20 adalah abad genosida, di antaranya dalam abad ini terjadi pembantaian massal terbanyak sekaligus abad paling memalukan dalam hal pelanggaran HAM.
Perbandingan-perbandingan
Dalam konteks pembunuhan massal dan serentak pasca-1 Oktober 1965, ada perbedaan dengan genosida global. Holocaust oleh Hitler dan Nazi disebut genosida (pembasmian ras), sedangkan dalam peristiwa 1965 korbannya berasal dari bermacam-macam ras.
Kemiripan keduanya terletak pada pembersihan manusia secara terencana dan masif. Keduanya dikelompokkan sebagai pelanggaran HAM yang luar biasa, tetapi beberapa ahli genosida memasukkan kejahatan terhadap kelompok politik atau kelompok lain sebagai kejahatan yang berkaitan related atrocities atau politicides (hlm 141).
PBB tahun 1948 merumuskan genosida sebagai ”sejumlah tindakan yang bertujuan menghancurkan, sebagian atau seluruhnya, sebuah bangsa, etnik, ras atau kelompok agama, dan sebagainya” (ibidem).
Mengacu pada rumusan di atas, menarik membuat perbandingan ”solusi awal” holocaust tahun 1939-1945 dan pasca-1 Oktober 1965. Keduanya diawali dengan berbagai bentuk ”pe-liyan-an” dan pembohongan menuju ”solusi final”. Dalam holocaust, pembohongan dilakukan dengan menyebarkan kejahatan-kejahatan yang dilakukan ras Yahudi dan membohongi korban dengan harapan-harapan palsu sebelum masuk kamp kerja paksa, kamp konsentrasi, atau kamar gas (Bab 9: Martinus Danang Pratama Wicaksana).
Dalam Peristiwa 1965, pembohongan dilakukan dengan penayangan film tentang pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia sebagai film yang wajib ditonton, dan harapan-harapan palsu ketika mereka menuju ”solusi akhir” atau tempat pembuangan di Pulau Buru. Holocaust oleh Hitler dan Nazi murni genosida (pembasmian ras), sedangkan korban Peristiwa 1965 berasal dari macam-macam ras sehingga ada yang menyebut policide (hlm 49).
Kekejian dan pembunuhan dilakukan oleh sesama manusia terhadap sesamanya. Kebaikan berdampingan dengan kejahatan. Terus berlangsung dari abad ke abad, mulai dari cara-cara yang sederhana sampai dengan pemanfaatan kemajuan teknologi yang memuncak pada abad ke-20. Sebuah banalitas kejahatan, kata Hannah Arendt, tetapi juga representasi kekuasaan itu koruptif.
Ada dua kelompok dalam menyikapi. Pertama, melupakannya supaya tidak memecah ketenangan yang menganggapnya kejadian kelam masa lalu adalah bagian dari perjuangan. Mengampuni, tetapi tidak bisa melupakan. Kedua, terus membukanya sebagai kejahatan pelanggaran HAM berat agar tidak berulang kembali di masa depan (Bab 10: Laili Windyastika).
Menjadi sarana belajar
Pilihan kedua itu rupanya yang diambil oleh para pejuang pelanggaran HAM. Tidak didasarkan atas semangat balas dendam, tetapi demi penegakan hukum yang adil baik dalam prosedur maupun putusan yang dilakukan. Oleh karena itu, membuka dan mengingatkan kekejaman dan kebengisan kolektif masa lalu perlu terus dibuka ke publik. Dengan itulah, kejahatan masa lalu menjadi sarana belajar agar membuat manusia semakin beradab; usaha terus-menerus penuh perjuangan, apalagi sisa-sisa hasil pembohongan masa lalu itu belum hilang, ataupun sikap mengubur kekelaman masa lalu sebagai pilihan.
Belajar dari pemahaman dan memori genosida masa lalu merupakan bagian dari bagian mencari dan menemukan alternatif cara hidup bersama yang lebih baik di masa-masa selanjutnya (Epilog: Baskara T Wardaya SJ).
Dalam konteks itu, berbagai kasus pelanggaran HAM berat—di Indonesia yang diberi mandat undang-undang adalah Komnas HAM—taruhlah dalam kasus Mei 1998, penjernihan dan penyelesaian terus dipertanyakan dan dilakukan, bukan sebagai balas dendam, tetapi perlakuan adil yang sebenar-benarnya sekaligus silih yang diberikan pada korban. Dengan demikian, pengenalan masa lalu dan terkuaknya keluar tidak hanya menyasar sebagai bagian dari proses belajar, melainkan juga secara langsung pada kebijakan dan tindakan yang konkret.
Buku ini adalah bagian dari upaya menempatkan kekerasan kolektif sebagai bagian dari membangkitkan memoria banalitas kejahatan massal, melengkapi cara pemahaman tentang kekelaman yang pernah terjadi lewat berbagai kajian. Ditujukan terutama sebagai ajakan bersama untuk peduli, dan karena itu terutama sebagai bahan pelengkap dalam proses mengedukasi masyarakat (Bab 5: Aryasatya Anindita).
Konsep ”Triangulasi TIM” Francis Fukuyama (2018) yang disarikan dalam Bab 7: J Sumardianta menjadi caveat yang aktual dan relevan (hlm 119). Teori triangulasi, yakni tymos (dorongan kejiwaan), isothymia (keinginan memeroleh perlakuan adil), dan megalothymia (keinginan diakui sebagai superior) merupakan kombinasi eksplosif politik identitas.
Dalam konteks itu, sejalan dengan maksud buku ini—salah satu hasil Pusdema (Pusat Kajian Demokrasi dan HAM) Universitas Sanata Dharma, sejalan dengan upaya membangun hidup masa depan yang lebih toleran, manusiawi, damai, dan aman. Membangun masyarakat yang memegang teguh dan mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bersama.
St Sularto, Wartawan Senior; Peminat Masalah Perbukuan