Lukisan dan Praktik Komodifikasi
Sejatinya fungsi seni sebagai artefak budaya. Namun, para pelaku ekonomi mereduksinya menjadi komoditas. Akhirnya membincangkan lukisan tidak lagi hanya pada soal nilai estetik atau budaya, tetapi juga soal harga.
Judul Buku: Mengapa Sih Lukisan Mahal?: Wacana Penetapan Harga Karya Seni
Penulis: Mikke Susanto
Penerbit: Dictart Laboratory,dan mitra kerjasama
Tahun cetak: Cetakan I, 2021
Tebal: x + 136 halaman
ISBN: 978-623-7313-91-5
Membaca Mengapa Sih Lukisan Mahal? Wacana Penetapan Harga Karya Seni, karya Mike Susanto, Penerbit Dictri Art Laboratory Yogyakarta 2021, ingatan saya langsung terkunci pada pemikiran Marx. Betapa tidak, Marx berpandangan bahwa seni adalah bagian dunia yang perlu dibedakan dengan kerja manusia, tentu bukan sekadar ” tiruan” atau ” refleksi” dari realitas eksternal, melainkan lebih jauh merupakan upaya memasukan realitas tadi ke dalam tujuan-tujuan manusia.
Lebih jauh Marx melukiskan bahwa manusia secara alamiah menjadikan aktivitas hidupnya sebagai obyek kesadarannya. Dalam proses bekerja, manusia membangun kodrat dan kapasitas yang ia miliki. Di bawah kondisi-kondisi kapitalis, seni menjadi satu bentuk kerja yang teralienasi karena seni berubah status menjadi komoditas dan pasar.
Buku ini dilatari dari penulisan disertasi, tentu dengan orientasi yang berbeda. Buku ini lebih pada kajian teori, sedangkan disertasi lebih pada kritik terhadap kasus dan indikator penetapan harga.
Bahwa buku ini dilatari dari penulisan disertasi diperlihatkan penulisnya dengan amat banyak mengutip teori sebagai penanda kerja ilmiahannya. Buku yang hanya setebal 136 plus x halaman ini mengutip 66 pustaka plus beberapa hasil wawancara. Buku ini terdiri dari lima bab, yakni: 1. karya seni itu unik; 2. seni &ekonomi; 3. metode penetapan harga; 4. indikator harga lukisan; dan 5. penetapan harga dan wacana seni. Plus pengantar penulis, dan sebuah esai pendek Seno Gumira Adjidarma, ” mitos di balik harga”.
Buku ini dibuka dengan kisah Museum Puri Bhakti Retama yang terletak di Kompleks Istana Kepresidenan Republik Indonesia, Jalan Merdeka Jakarta Pusat. Museum yang menyimpan berbagai ragam benda koleksi yang pernah dikoleksi sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno itu, setelah selama lebih dari tiga dekade, museum ini mengalami senjakala.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Puri Bhakti dialihkan sebagai kantor administrasi hingga sekarang. Akibatnya, museum yang diinisiasi oleh Ibu Tien Soeharto itu membuat Kementerian Sekretariat Negara saat itu harus memutuskan untuk melakukan pengalihan koleksi dan pendirian ruang pamer baru di luar Jakarta. Tujuannya untuk menempatkan koleksi yang dibongkar dari Puri Bhakti Retama.
Pembongkaran dan pemindahan terjadi pada 2009-2010 (hlm 2). Pascapemindahan koleksi disusun kegiatan lainnya, penilaian aset benda seni koleksi istana presiden yang dilakukan oleh Direktortat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Tujuannya, untuk memperoleh informasi mengenai jumlah aset negara, salah satunya tentang benda seni yang ada di Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia yang menaungi sejumlah aset benda seni tersebut.
Upaya ini menghasikan sebuah pedoman ”Panduan Penilaian Koleksi Seni Istana Kepresidenan Republik Indonesia”. Isi panduan ini kumpulan indikator yang terkait dengan koleksi benda seni, khususnya berupa lukisan. Dengan adanya penetapan nilai benda seni, negara mendapat informasi yang jelas mengenai harga asetnya. Sebelum program ini dilakukan, semua lukisan koleksi itu hanya bernilai Rp 0. Kini semua itu telah miiliki harga yang sepadan (hlm 4).
Sampai sekarang, aset benda seni yang ada di Istana Kepresidenan itu telah mengalama re-evaluasi harga. Pascaperhitungan tahun 2012, misalnya, telah dilakukan perhitungan ulang menjelang pameran ”17/71: Goresan Juang Kemerdekaan” dengan tujuan penjaminan asuransi. Setelah itu, sejumlah karya yang terdapat di istana-istana di luar Jakarta turut dihitung pula. Begitulah kisah awal yang mendasari buku ini.
Lalu, untuk apa penetapan harga secara empiris semacam ini? Penulis buku ini memberikan jawaban, pertama adalah untuk memberikan laporan kepada masyarakat tentang harga karya seni, seperti yang dilakukan mekanisme lelang. Kedua, sifat unik karya seni membutuhkan apresiasi. Informasi tentang penetapan harga menjadi jalan utama yang menerangkan bahwa karya seni tersebut bernilai dan harus dirawat dan dilestarikan.
Bab dua buku ini membincangkan seni dan ekonomi, distribusi seni, nilai seni, nilai dan harga lukisan, serta kriteria dan indikator penilaian. Poin penting dalam bab dua ini adalah pembincangan perkara seni dan ekonomi. Bahwa seniman, menurut penulis buku ini, Mikke Susanto, merupakan profesi penting dan telah memberikan kontribusi dan perkembangan peradaban di masyarakat.
Seniman itu menghasikan karya seni. Karya seni digolongkan sebagai barang tidak berwujud atau intangible goods. Ini adalah sumber keuntungan masa depan yang berbentuk nonfisik. Keberadaannya berbeda dengan aset bendawi di mana dalam aset intangible terdapat semangat, nostalgia, inspirasi, kreativitas, spiritualitas, dan emosi.
Seni, dengan demikian, bukan merupakan aset ekonomi, melainkan lebih berfungsi sebagai aset atau artefak budaya. Di sisi lain, seniman memerlukan strategi agar karya seninya dapat diteruskan pada yang mengapresiasinya.
Pada posisi ini, seniman mengelola kegiatan artistik dan kesuksesan menjadi hal penting untuk mengukur keberadaan seniman dan karyanya. Kemudian ini menjadi lahan ekonomi yang sangat baik. Posisi inilah yang kemudian melahirkan sikap mengomodifikasi pada karya seni. Tak terhindar, itulah nilai lain.
Kemudian, karya seni tidak lagi terbatas hanya memiliki nilai estetik, tetapi harus diperhitungkan pula nilai-nilai lainnya, seperti nilai kritis, nilai simbolik, dan nilai ekonomi. Karena itu, munculah indikator harga lukisan.
Perihal ini, pada bab kempat buku ini, Mikke Susanto membincangkan reputasi perupa, publikasi, ide dan tema, riwayat karya, riwayat akusisi, kondisi karya, ukuran, media/bahan, dan gaya/aliran. Pembincangan perihal indikator dan harga lukisan pada buku ini memang kelihatannya ruwet dan njelimet (rumit), misalnya pada bagian kategori seniman yang menyangkut superstars, mature/emerging and successful, dan seterusnya.
Namun, penyajian dalam format tabel menjadikan pembahasan ini mudah dipahami. Hal yang sama terjadi pada pembahasan portofolio seniman, publikasi, hingga penelusuran ide dan tema setiap pelukis seta pembobotannya.
Bagian akhir buku ini membincangkan keterkaitan antara nilai, koleksi seni dan nilai budaya, sejarah seni dan konteks penetapan harga, serta asumsi baru dan implikasi atas teori penilaian seni.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa buku hasil penelitian ini menunjang wacana ekonomi yang selama ini sering dipisahkan dari wacana seni secara umum. Jelas buku ini telah menunjukan hadirnya kesatuan persoalan nilai ekonomi dengan nilai fundamental, nilai kritis, nilai simbolis, dan nilai estetis.
Meski demikian, tetap harus disadari bahwa seni bukan merupakan perkara ekonomi, melainkan lebih berfungsi sebagai aset atau artefak budaya. Karenanya, lukisan oleh para pelaku ekonomi direduksi menjadi komoditas, dari persoalan nilai-nilai ke perkara harga.
Praktik komodifikasi yang prosesnya diasosiasikan dengan kapitalisme, di mana obyek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya adalah terjual di pasar tidak terhindar terjadi pula pada dunia seni, terutama seni lukis.
Bahwa booming seni lukis di Indonesia yang melahirkan carut-marut harga lukisan, misalnya, adalah peristiwa yang menyita perhatian medan sosial seni.
Bahwa booming seni lukis di Indonesia yang melahirkan carut-marut harga lukisan, misalnya, adalah peristiwa yang menyita perhatian medan sosial seni. Bersamaan dengan kecarut-marutan harga ini, lahir pula nilai, kualitas, atau selera artistik yang sempit.
Peristiwa ini mestinya ditelisik juga perkara bagaimana para pemain pasar ini melakukan praktik komodifikasi lukisan dengan strateginya yang tersembunyi. Bagaimana praktik goreng-menggoreng dilakukan dengan senyap dan dengan hasil yang meledak itulah hal yang tersisa dari buku ini. Mungkin ke depan Mikke Susanto atau ada peneliti atau penulis lain berminat mengangkat pasar gorengan yang fenomenal ini, yang luput dibahas mendalam dalam buku ini.
Hardiman
Penulis Seni Rupa, Tinggal di Singaraja, Bali