Pertarungan Propaganda Politik di Jagat Digital
Kehadiran buku ”Tarung Digital” patut diapresiasi. Buku yang disusun dengan kajian pustaka amat luas ini perlu dibaca oleh para pembelajar Ilmu Komunikasi, Ilmu Politik, Kriminologi dan masyarakat luas.
Judul Buku: Tarung Digital: Propaganda Komputasional di Berbagai Negara
Penulis: Agus Sudibyo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun cetak : Cetakan I, 2021
Tebal : xxiv + 368 halaman
ISBN : 978-602-481-552-3
Masih sulit dilupakan peristiwa penyerbuan gedung Capitol di Washington DC tanggal 6 Januari 2021 lalu yang ikut digerakkan oleh Presiden Donald Trump dari Gedung Putih. Para pendukung Trump mengamuk karena tak dapat menerima kekalahan presiden idola mereka dalam pemilihan presiden Amerika Serikat bulan November 2020 lalu. Mereka termakan oleh hasutan dan propaganda semburan kebohongan (firehose of falsehood) Trump yang rajin bercuit di akun Twitter-nya menebarkan emosi dan demagoginya dengan mantra ”Make America Great Again”. Akibatnya, akun Twitter Trump yang punya 88,7 juta pengikut dibekukan permanen.
Dengan taktik propaganda semburan kebohongannya,Trump berhasil menjadikan dirinya sebagai pemenang Pilpres AS November 2016, mengalahkan Hillary Clinton. Persentase suara golput lebih besar dari persentase suara yang diperoleh masing-masing kedua capres karena banyak pemilih tradisional Partai Demokrat memilih untuk tidak memilih Hillary.
Kemenangan Trump tentu bukan melulu berkat kicauannya di Twitter, tetapi ia juga diuntungkan oleh operasi pengaruh (influence operation) oleh Rusia yang gencar menebar disinformasi dan propaganda komputasional yang merugikan Hillary. Kremlin lebih suka Trump yang menjadi Presiden AS.
Sungguh absurd, bangsa dan negara Amerika Serikat, kampiun demokrasi dunia, dapat diperdaya oleh seorang Donald Trump yang mengaku ia terpilih menjadi Presiden AS di antaranya berkat cuitan di Twitter-nya, yang rata-rata setiap hari menebar sepuluh kebohongan.
Pilpres AS tahun 2016 yang dimenangi Donald Trump ini belakangan memang diketahui memanfaatkan microtargetting pesan-pesan kepada jutaan calon pemilihnya yang sudah dipetakan psikografinya oleh Cambridge Analytica.
Perusahaan konsultan politik Inggris ini memang menyedot data dan menganalisis pola psikologi pribadi/massa para pemilik puluhan juta akun Facebook di AS. Cambridge Analytica kemudian ditutup akibat skandal ini dan Mark Zuckerberg sebagai boss Facebook diinterogasi oleh Kongres AS yang berujung pada permintaan maafnya.
Karut-marut pilpres AS tahun 2016 ini ini dibahas cukup panjang lebar dalam buku Tarung Digital-Propaganda Komputasional di Berbagai Negara yang ditulis Agus Sudibyo. Buku yang baru terbit akhir Maret 2021 lalu ini—memang sesuai judulnya—lebih menekankan pada ihwal pertarungan propaganda politik di jagat digital atau propaganda komputasional, termasuk yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir (utamanya Pemilihan Presiden RI tahun 2019).
Buku ini merupakan buku seri kedua atau kelanjutan bukunya, Jagat Digital-Pembebasan dan Penguasaan, yang terbit pada September 2019 dan kini sudah mengalami cetak ulang.
Agus Sudibyo lewat buku ”Jagat Digital” mencoba melakukan ”demitologi” tentang media-sosial, mesin-pencari atau situs ecommerce. Media sosial tidak hanya sarana interaksi sosial, tetapi juga sarana komodifikasi, komersialisasi, bahkan sarana surveillance. Semua layanan digital yang selama ini dinikmati pengguna internet: media sosial, percakapan sosial/jejaring sosial, surat elektronik, dan mesin ternyata bukanlah layanan gratis, melainkan musti dibarter dengan data pribadi atau privasi pemakai Internet.
Bahwa media-sosial tidak hanya telah meningkatkan kualitas kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi, tetapi juga telah menghadapkan sejumlah negara pada kejahatan elektoral berbasis pemanfaatan media sosial yang merusak kualitas demokrasi dan memecah-belah masyarakat. Topik terakhir inilah yang kemudian ia eksplorasi lebih mendalam dalam buku ”Tarung Digital”.
Agus Sudibyo cukup jujur mengakui bahwa buku Tarung Digital-Propaganda Komputasional di Berbagai Negara sedikit banyak terinspirasi oleh buku Computational Proganda-Political Paties, Politicians, and Political Manipulation on Social Media yang terbit tahun 2019.
Buku ”Computational Proganda” yang disunting Samuel C Woolley dan Philip N Howard diterbitkan oleh Oxford University Press berisi kumpulan penelitian yang menjelaskan cara kerja propaganda komputasional di negara demokratis atau otoriter.
Salah satu pertanyaan yang mengemuka di buku tersebut, apakah operasi bot politik dan pasukan troll melanggar undang-undang pemilu? Di buku tersebut kita dapat menjumpai istilah cyber armies, cyberattacks, cyberbullying, dan cyber defense. Sementara di buku ”Tarung Digital”, kita tidak menjumpai keempat kata ini dalam indeks buku.
Ismail Fahmi dalam diskusi bedah buku ”Tarung Digital” (8 April 2021) selain menyebut soal propaganda komputasional, justru juga mengangkat isu cyber troops, hoax, dan influence operations. Agus Sudibyo dalam bukunya memakai data algoritma dan grafik serta SNA (social network analysis) pertarungan propaganda digital Pemilihan Presiden RI tahun 2019 dari PoliticaWave dan Drone Emprit. Sayangnya, teks di grafik dan SNA ini terlalu kecil-kecil. Ini mungkin perlu diperbaiki jika buku ini nanti dicetak ulang.
Saya sependapat dengan Ismail Fahmi bahwa propaganda komputasional yang menjadi tren di dunia sejak 2012 kini menjadi makin penting dalam komunikasi politik dan pertarungan politik di berbagai dunia.
Memang model propaganda politik, seperti firehose of falsehood tak selalu berhasil di semua negara. Akan berhasil jika jumlah golput di negara tersebut tinggi akibat apatisme dan sinisme calon pemilih. Ini terjadi dengan gamblang di Amerika Serikat pada pilpres 2016 dan di Inggris pada referendum Brexit tahun 2016 juga.
Melewatkan post-truth
Kata ”post-truth” menjadi kata paling populer di Kamus Oxford sepanjang tahun 2016, utamanya karena faktor pilpres AS dan referendum Brexit tahun itu. Post-truth yang merupakan ibu kandung hoaks dan disinformasi menjangkiti sebagian rakyat AS yang sudah telanjur terpapar kebohongan repetitif sehingga merasuk ke ruang gaung (echo chamber) mereka. Mereka termakan agitasi Trump yang mengeksploitasi emosi dan mengerosi akal sehat.
Orang yang terjangkit post-truth hanya akan memercayai keyakinannya sebagai suatu kebenaran, dan bukan akal sehat mereka. Fenomena post-truth dan eksploitasi media konvensional, media daring, serta media sosial (lazim disebut sebagai ”mediatisasi politik”) ini ternyata juga menjangkiti masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir.
Cambridge Analytica yang masuk ke Indonesia tahun 2017 dan 2018 sempat juga memetakan psikografi warganet Indonesia dari ratusan ribu akun Twitter. Hasilnya: ada tiga kluster: A) calon golput 25 persen, B) pemberang 42 persen, dan C) altruistik yang gampang iba sebanyak 33 persen. Nah, pada kluster C inilah sempat diciptakan disinformasi bahwa ada seorang tokoh aktivis perempuan yang mukanya babak belur karena ia mengaku telah dianiaya beberapa pria di Bandung pada awal Oktober 2018.
Ternyata cerita bohongnya ini terbongkar: ia bukan dipukuli, melainkan menjalani operasi bedah plastik di wajahnya. Dapat dibayangkan jika kebohongan itu tidak terkuak, maka jumlah potensial calon golput bakal meningkat signifikan dari cuma sekitar 25 persen menjadi sekitar 50 persen, Kita dapat menduga, siapa yang bakal menjadi presiden RI tahun 2019 lalu.
Hoaks sebagai ’anak kandung’ post-truth ini sayangnya tidak dibahas oleh Agus Sudibyo. Padahal, ia memiliki kelebihan sebagai magister dan doktor filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Hoaks dan disinformasi serta kampanye hitam hingga pembunuhan karakter menggunakan isu SARA dan PKI akan bermuara pada pembenaran ruang gaung serta post-truth. Topik hoaks sebagai ”anak kandung” post-truth ini sayangnya tidak dibahas oleh Agus Sudibyo. Padahal, ia memiliki kelebihan sebagai magister dan doktor filfasat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Juga kritik Budiman Sudjatmiko layak dicatat bahwa propaganda komputasional yang menggunakan big data dan algoritma sudah mulai ketinggalan zaman. Karena sekarang yang justru mulai dikembangkan adalah politik komputasional saraf (neuro computational politics) yang berbaur dengan artificial intelligence.
Hal lain yang layak dicatat oleh Agus Sudibyo adalah media sosial sebagai sarana propaganda komputasional bukanlah segalanya. Ada himpunan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan media sosial, yaitu dark social yang dirumuskan Alexis C Madrigal.
Jadi, setelah lingkaran pers (mencakup media konvensional, seperti media cetak dan media elektronik hingga media online) dan lingkaran media sosial (dengan berbagai aplikasinya mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube) yang jumlahnya berpuluh juta akun di Indonesia, masih ada lingkaran yang jauh lebih besar, yaitu dark social yang tak lain adalah jejaring sosial (social network) berupa aplikasi percakapan sosial, seperti Whatsapp dan WA Group, Line, dan Telegram. Aktivitas sharing di dark social ini justru jauh melebihi dibandingkan dengan Facebook Group dan lain-lain, mencapai hampir 90 persen.
Di tengah masih terbatasnya literasi digital masyarakat, seperti di Indonesia, aktivitas sharing informasi sesat bertebaran. Ini amat berpotensi merugikan kontestasi politik yang beradab dan jauh dari praktik Machiavelian yang menghalalkan segala cara, seperti esklpoitasi SARA yang terjadi pada Pilkada Jakarta tahun 2017.
Bahkan, masyarakat Amerika Serikat, yang literasi digital warganya seharusnya lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia, masih menyajikan teater ketololan, seperti penyerbuan gedung Capitol sebagai lambang perwakilan rakyat pada awal tahun ini.
Betapa pun, kehadiran buku ”Tarung Digital” patut diapresiasi. Buku yang disusun dengan kajian pustaka amat luas ini perlu dibaca oleh para pembelajar Ilmu Komunikasi, Ilmu Politik, Kriminologi, dan studi Ketahanan Negara.
Masyarakat Indonesia, jika ingin menjadi warga digital (digital nitizen) perlu banyak memahami cara kerja media digital dengan segala kelebihan dan kelemahannya, dilema etisnya, serta kritis terhadap eksploitasi media baru ini bagi kepentingan elektoral yang memecah belah bangsa.
Irwan Julianto
Wartawan dan Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN)