Persidangan Virtual di Masa Pandemi, Sebuah Kajian Ilmiah
Kajian ilmiah, yang disusun Masyhudi yang berprofesi sebagai jaksa, dan Sigid Suseno, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, ini membahas berbagai aspek terkait persidangan virtual di Indonesia.
Oleh
RENDRA SANJAYA
·2 menit baca
Seiring mewabahnya Covid-19, daerah-daerah dan instansi marak memberlakukan pembatasan sosial, seperti aktivitas pertemuan tatap muka. Tak terkecuali pada kegiatan peradilan.
Persidangan fisik yang cenderung menghadirkan banyak orang berpotensi menimbulkan kerawanan. Menyikapi kondisi tersebut, Kejaksaan melalui Instruksi Jaksa Agung Nomor 5 Tahun 2020 melakukan terobosan penyenggaraan persidangan secara virtual.
Dalam dunia hukum, praktik peradilan menggunakan sarana digital bukan hal baru. Sejumlah negara sudah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam penegakan hukum, termasuk persidangan di pengadilan.
Buku Sidang Virtual: Idealisme, Peluang, Tantangan, dan Implementasinya (Penerbit Buku Kompas, 2021) menyebutkan, Amerika Serikat sejak 1998 menerapkan persidangan yang dikenal dengan nama virtual civil court.
Tercakup dalam definisi ini adalah persidangan melalui media video conference, menggunakan electronic filing, dan case management software.
Di Indonesia, persidangan virtual diberlakukan sejak Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik.
Aturan ini mengizinkan persidangan secara elektronik untuk jenis perkara perdata, perdata agama, tata usaha militer, dan tata usaha negara. Untuk jenis perkara pidana, ketentuan diatur dalam Perma Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara Elektronik.
Hingga akhir Oktober 2020, sidang daring (online) untuk perkara umum dan pidana khusus telah dilakukan 388.075 kali, dengan total perkara yang diputus mencapai 73.284 perkara. Sidang itu, antara lain, dilakukan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, PN Solok, Sumatera Barat, PN Palembang, Sumatera Selatan, dan PN Bandung, Jawa Barat.
Dalam pelaksanaannya, persidangan virtual masih menghadapi berbagai persoalan. Mulai dari lemahnya landasan hukum yang digunakan, keterbatasan sumber daya manusia di bidang teknologi informasi dan infrastruktur, hingga kurangnya sosialisasi terkait pelaksanaan sidang virtual.
Salah satu kelemahan sidang virtual terletak pada pelaksanaan sidang perkara pidana yang diikuti terdakwa secara telekonferensi. Kondisi ini bertentangan dengan sejumlah pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Aturan dalam KUHAP menghendaki terdakwa dalam perkara pidana harus hadir dalam persidangan alias tidak bisa in absentia.
Kajian ilmiah, yang disusun Masyhudi yang berprofesi sebagai jaksa, dan Sigid Suseno, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, ini membahas berbagai aspek terkait persidangan virtual di Indonesia. Dasar hukum keabsahan, tata cara, dan kendala yang dihadapi menjadi bagian buku yang tersusun dalam tujuh bab, yang dibahas secara komprehensif.
Sejumlah rekomendasi terkait praktik sidang virtual juga disampaikan pada bab terakhir sebagai sumbangan penanganan penegakan hukum di era pandemi.