Daniel Dhakidae tentang Humanisme dalam Karya-karya Karl May
Karl May dengan filosofinya yang tertuang dalam dongeng-dongengnya tetap menarik dan selalu relevan.
Hari ini Kompas memublikasikan kembali sejumlah artikel opini Daniel Dhakidae, salah satu intelektual Indonesia, yang juga pernah menjadi Kepala Litbang Kompas, untuk mengenang buah pemikirannya sekaligus mengantar kepergiannya menghadap Allah Sang Pencipta. Tulisan resensi buku berikut yang ditulis pada 27 November 2004 di Rubrik Pustakaloka, rubrik yang pernah ia kelola bersama para peneliti Litbang Kompas, salah satu wujud kecintaannya pada dunia pustaka dan kesungguhannya dalam gerakan literasi.***

Judul Buku: Winnetou Kepala Suku Apache (I), 2003: Winnetou, si Pencari Jejak (II), 2004; Winnetou Gugur (III), 2004.
Pengarang: Karl May
Penerjemah: Samuel Limahekin, Primardiana H Wijayanti, dkk
Penyunting: Pandu Ganesa
Penerbit: Pustaka Primartama (2003-2004)
Melihat usaha Paguyuban Karl May Indonesia yang menerbitkan kembali karya utama Karl May, Winnetou, dalam tiga jilid, tidak ada orang yang boleh memberikan reaksi lain daripada penghargaan setinggi- tingginya. Tiga jilid tersebut adalah masing-masing Winnetou Kepala Suku Apache (I), 2003: Winnetou, si Pencari Jejak (II), 2004; Winnetou Gugur (III), 2004.
Walhasil, terbit trilogi setebal 1.661 halaman! Fantastik! Berbeda dari yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1950-an dalam bentuk ringkas, untuk pertama kalinya bangsa ini menikmati karya lengkap Karl May dalam bahasanya sendiri, yang dikerjakan dalam tempo lebih kurang dua tahun.
Di Mana Tempat Winnetou?
Pertanyaan yang segera muncul adalah di mana letak relevansi serentetan buku semacam itu? Kalau mau ditinjau dari mana harus bertolak? Kesulitan meninjau buku semacam ini adalah karena sudah terlalu terkenal, terlalu memukau, dan sudah terlalu lama ditinggalkan publik pembaca. Namun, kehadiran tiga jilid lengkap menjadi kesempatan terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja.
Tinjauan ini bertolak dari asumsi bahwa kisah petualangan Karl May sudah dibaca dan akan dibaca lagi. Kalau ada yang belum pernah membaca, baik tua maupun muda, bacalah karya besar ini. Tiga jilid ini sama sekali bukan bacaan anak- anak, meski terbuka luas untuk membius anak-anak; bukan bacaan remaja, meski terbuka lebar untuk menyihir kaum remaja; bukan bacaan untuk orang tua, meski memukau orang-orang tua tanpa disadarinya.
Karya ini pernah memukau si jenius Albert Einstein dari Jerman, Mohammad Hatta dari Indonesia. Ketika penulis tinjauan ini berada di kelas I sekolah menengah pertama (SMP), bersama beberapa teman kami bersumpah untuk tidak membaca karya orang lain selain karya Karl May.
Kenyataan bahwa sumpah itu sudah 1.001 kali dilanggar lebih merupakan berkat, bukan kutukan, karena dasar-dasar yang diberikan Winnetou Gugur, Raja Minyak, Di Sudut-sudut Balkan, dan lain-lain versi Balai Pustaka, merangsang semangat baca sejak masa kanak-kanak tentang banyak hal. Karena itu, profesor siapa pun akan mengalami kesulitan besar bila bertanding dengan Karl May di bidang geografi, antropologi, dan psikologi.

Karl May (Sumber foto: wikipedia.com)
Singkat cerita beginilah kisahnya. Ada seorang petualang yang menamakan dirinya Der Forscher, peneliti dan penulis buku yang bernama Charlie dari Jerman, ahli dalam ilmu geodesi, ilmu mengukur tanah, dan memutuskan untuk bertualang ke Wild West, Amerika Serikat, yaitu wilayah barat Amerika Serikat, sedikit mencakup wilayah barat laut, yang tersebar di sekitar Texas, New Mexico, Arizona, dan California.
Di sana kelak dia diberi nama baru, Old Shatterhand, tangan yang menghancurkan, jagoan bela diri yang dengan tangan telanjang menghancurkan musuh, dan apalagi dengan senapan. Dia jatuh hati dan bersahabat dengan seorang pemuda, yang sepeninggal bapaknya, ditembak salah satu kolega kerja Old Shatterhand, menjadi ketua suku Apache. Namanya Winnetou.
Keduanya bersahabat dalam susah dan senang, dan sang Indian lebih banyak membela si ”muka pucat”, nama yang diberikan kaum Indian kepada kaum kulit putih—mungkin tidak jauh-jauh dengan sebutan ”bule” di sini. Winnetou akhirnya meninggal dalam suatu operasi penyerbuan yang dia pimpin sendiri, yang tadinya ingin dipimpin Old Shatterhand. Namun, sebagai ketua suku tidak ada bahaya yang lebih besar dari keberanian, dan tidak ada risiko yang lebih tinggi dari tanggung jawab. Karena itu, tugas itu diambil dan dia akhirnya ditembak mati.
Dengan demikian Old Shatterhand selamat dari kematian di atas mayat Winnetou. Dalam sakratulmautnya Winnetou minta untuk dinyanyikan lagu ”Ave Maria” yang mengantarnya menuju alam baka. Lagu polifonik ”Ave Maria” tersebut, yang partiturnya disertakan sebagai lampiran di jilid tiga, sama sekali tidak kalah dengan ”Ave Maria Charles Gounod”, 1818-1893, dan ”Ave Maria Schubert”, 1797-1828. Tiga jilid itu tentu tidak mungkin diceritakan di sini karena kenikmatannya hanya dalam membacanya sendiri, karena sebagaimana makanan, the test is in the taste of it.
Kalaupun kita memahami ceritanya, Karl May masih berkata bahwa semua cerita itu lebih simbolik. Karena itu, carilah apa yang ada di baliknya, semua hanya penanda untuk suatu makna yang lain. Maka, tinjauan ini mencoba menangkap satu sisi dari Karl May, yaitu tentang ”apa yang mau dikejarnya dengan menulis”. Pertanyaan ini diajukan untuk menangkap puluhan judul, meskipun tinjauan ini memusatkan dirinya pada tiga jilid Winnetou tersebut di atas.

Sumber Foto: id.carousell.com
Dari episode ke episode, dari jilid ke jilid Karl May memperhadapkan setiap orang, setiap pembacanya dengan suatu persoalan abadi, yaitu humanisme, masalah manusia dan nasibnya-atau apa yang, di bawah nanti akan dibahas, oleh Karl May sendiri menyebutnya sebagai die Menschheitsfrage.
Dengan ini humanisme diambil dalam pengertian khas sebagai ide bahwa kehidupan manusia dianggap menjadi titik pusat dari pertanyaan-pertanyaan filosofis (die Idee des menschlichen Lebens als Brennpunkt aller philosophischen Fragen, Josef Hasenfu?, Soziologismus und Existentialismus als Religionsersatz). Atau suatu prinsip homo mensura, manusia dan idenya menjadi tolok ukur tentang apa pun.
Namun, untuk memahami Karl May dan karya-karyanya dia tidak bisa diangkat sendiri. Karena itu, di sini Karl May dibandingkan dengan Friedrich Nietzsche dan Karl Marx, meski karena keterbatasan ruang titik berat semata-mata diberikan kepada Nietzsche dan Karl May.
Karl May di tengah tokoh-tokoh Jerman lain
Tentu saja menggelikan dan juga menyesatkan bahwa dalam suatu pukul rata filosofi ketiga orang di atas dengan begitu saja dikatakan sebagai dirangsang oleh satu sumber soal yang sama. Akan tetapi, dengan satu putaran balik bisa dikatakan bahwa hampir mustahil mengatakan bahwa karya besar dari tiga-tiganya berasal dari suatu zaman kecil tak berharga. Untuk berterus terang saya memberanikan diri berkata bahwa ketiga raksasa Jerman di atas memberikan reaksi, dan dalam arti tertentu keras terhadap apa yang terjadi di Jerman, di Eropa, atau di Barat pada umumnya pada abad ke-19.
Oleh karena itu, berbicara tentang Karl May berarti kita masuk ke dalam dunia Jerman abad ke-19, yaitu abad pembangunan Jerman, abad industrialisasi Jerman sebagai salah satu dari yang disebut sebagai late capitalist nation di Eropa setelah Inggris, dan Perancis, bahkan Belanda.
Dalam hubungan itu, apa yang dikatakan sebagai latar belakang historis Friedrich Nietzsche boleh pula dikatakan sebagai latar belakang Karl May sebagaimana ditulis sebagai berikut: ”Pada saat yang sama, angkatan bersenjata Prussia membangun supremasi politik Jerman di benua tersebut; ilmu dan teknologi memperoleh kemajuan spektakuler; dan optimisme adalah makanan sehari-hari.” (Walter Kaufmann, Nietzsche, Philosopher, Psychologist, Antichrist).
Abad ini juga terkenal sebagai abad ekspansi modal Barat besar-besaran ke pelbagai penjuru dunia. Peningkatan penjajahan dikerjakan secara modern, dan bukan sekadar untuk mengambil harta, seperti pada masa merkantilisme. Akan tetapi, penjajahan dikerjakan sebagai suatu sistem penguasaan dan kekuasaan, a system of domination and power, dengan negara-negara penjajah sebagai metropole dan negeri jajahan sebagai koloni, dalam suatu sistem kolonialisme yang canggih dengan kapital sebagai titik pusat sambil mengubah masyarakat metropole dan tanah jajahan secara ekonomis, politis, sosial, dan budaya.

Karl May sebagai Old Shatterhand, Sumber Foto: commons.wikimedia.org
Bila Karl May diambil sebagai titik pusat dengan mengambil momen Karl May untuk pertama kalinya mengumumkan Winnetou pada tahun 1875 sebagai serial dalam majalah beberapa fakta berikut ini muncul. Ketika tulisan itu diumumkan Karl May berumur 33 tahun, dan Karl Marx sudah berumur 57 tahun, masih kuat membaca dan menulis, dan baru meninggal delapan tahun berselang.
Friedrich Nietzsche baru berumur 31 tahun, hanya dua tahun berselisih umur dengan May. Sangat sulit menduga bahwa ketiganya saling membaca karya satu dari yang lain. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan ”kelahapannya membaca” mungkin Karl May membaca Marx dan Nietzsche, meski kedua orang lain itu bisa diduga terlalu ”sombong” untuk membaca Karl May.
Dalam hubungan itu, Karl Marx sudah mengumumkan Manifesto Komunis 27 tahun sebelumnya (1848) dalam umur 30 tahun bersama Engels, yang berumur 28 tahun, untuk menghapus hak milik dan menjadi awal revolusi dunia.
Sementara Nietzsche lima tahun sebelumnya (1870) menerbitkan Die Geburt der Trag÷die (Lahirnya Tragedi) dalam umur 26 tahun untuk menggantikan moral tradisional Kristen sambil memindahkan manusia budak menjadi manusia tuan. Dengan Winnetou, May mengumumkan bahwa bukan kekerasan, tetapi persahabatan akan membawa perdamaian.
Kalau diperhatikan, maka kita lihat bahwa Karl May agak ”terlambat”, kalau patokan umur 30 sebagai umur ”muda” secara akademik/intelektual. Beberapa alasan bisa diberikan. Pertama, dia lahir buta sampai umur lima tahun baru melek. Kedua, dia mengidap schizophrenia, kepribadian terbelah, dan melakukan tindak kriminal. Penyakit ini menyiksa May sejak umur 15 sampai umur 32 tahun. Cukup lama waktu dihabiskan dalam penjara karena mencuri arloji, kuda, dan lain-lain, meski kelak kita tahu bahwa penjara adalah sekolah terbaik bagi May (Pandu Ganesa, Menjelajah Negeri Karl May, 2004)
Humanisme Karl May
Nietzsche mengatakan bahwa sumber dekadensi dan tragedi adalah moral agama (Kristen). Moral Kristen begitu absolut sehingga membekukan kesenian, setiap kesenian dianggap tidak lain dari kebohongan atau dalam kata-kata keras Nietzsche ”setiap kesenian dibuang ke dalam kerajaan kebohongan” (jede Kunst in\'s Reich der L³ge verweist, baca Friedrich Nietzsche, die Geburt der Trag÷die). Moralitas mengajar orang menjadi pembenci hidup (das Lebensfeindliche), penuh dendam terhadap kehidupan (der rachschtige Widerwillen gegen das Leben selbst).
Seluruh kampanye moral agama Kristen tidak lain dari nafsu meniadakan kehidupan-ein Wille zur Verneinung des Lebens. Moralitas melahirkan manusia-manusia kerdil; moralitas menindas naluri paling utama dalam diri manusia, yaitu der Wille zur Macht, keinginan berkuasa, yang, pada gilirannya, secara naluri membadan dalam nafsu seksual.
Kalau hidup yang utuh dan sejati untuk menjadi ubermensch, maka moral budak menjadi penghalang. Dengan demikian, hidup tidak lain dari suatu pertandingan tak putus-putusnya antara nafsu untuk menjadi ubermensch versus moralitas budak.

Friedrich Nietzsche Sumber Foto: twitter.com
Oleh karena itu, setiap orang harus berpikir ulang tentang kehidupannya masing-masing sebagaimana dikatakannya sebagai berikut: Untuk apa manusia hidup, peduli amat: akan tetapi untuk apa kau hidup, tanyakanlah dirimu sendiri. Kalau tidak berhasil kau dapatkan, nah tetapkan tujuan bagi dirimu sendiri, tujuan yang tinggi dan mulia dan kejarlah itu sampai mampus! Saya tidak mengenal tujuan hidup yang lebih baik daripada mengejar yang besar dan yang tidak mungkin sampai mampus (Ich weiss keinen besseren Lebenszweck als am Grossen und Unmoglichkeit zu Grunde gehen).
Sangat menarik bahwa ”tantangan” Nietzsche untuk ”mengejar yang besar dan yang mustahil sampai mampus” seolah-olah dijawab Karl May—meski tidak pernah tertuang secara eksplisit dalam seluruh serial Winnetou, tetapi diucapkan pada umur tuanya ketika dia harus mempertanggungjawabkan diri dan karyanya di depan Akademia Wina, Akademische Verband fur Literatur und Musik, pada tahun 1912. May seolah-olah berkata bahwa seluruh karyanya terutama Winnetou seperti laut berisikan duka-derita manusia, das Menschheitsweh, yang juga membadan dalam diri Karl May yang berusaha untuk membuka persoalan manusia dan kemanusiaan, die Menschheitsfrage-seperti dikatakannya sebagai berikut ini:
Kenalkah kau laut yang dalam tak terkira
Di atas gelombang pasangnya kuempaskan kayuhku
Sejak purbakala ia dikenal sebagai das Menschheits-Weh
Dan aku, hai kawan, adalah die Menschheits-Frage.
(Kennst du den unergr³ndlich tiefen See,
auf desen Fluth ich meine Ruder schlage?
Er hei?t seit Anbeginn das Menschheits-Weh
Und ich, mein Freund, ich bin die Menschheits-Frage)
Ada tiga jalan untuk memahami soal manusia dan menyelesaikan duka-derita umat manusia yang disebutnya sebagai die drei Wege, yaitu ilmu pengetahuan (wissenschaft), kesenian (kunst), dan agama (religion) di mana tiga-tiganya menjalankan fungsinya. Ilmu memberi pemahaman, kesenian membawa pencerahan, dan agama membawa pembebasan dan penebusan. Karl May memilih jalan tengah, yaitu kesenian terutama karena the redemptive power of art. (baca, ”Empor ins Reich der Edelmenschen” [Terbang Tinggi ke Kerajaan Manusia Murni], ceramah di depan Akademia Wina, 1912)
Bila dibandingkan dengan Nietzsche dan Karl Marx, Karl May menjadi anak manis, dan jinak. Namun, saya pikir inilah pernyataan yang paling dalam yang pernah dikeluarkan Karl May tentang ”keliaran” imajinasinya dalam kisah-kisah petualangan di tempat yang tepat pula, yaitu Akademia Wina, yang boleh dibilang pada saat itu menjadi salah satu pusat terbesar kehidupan intelektual Eropa.
Kalau sekiranya inilah tiga jalan untuk menyelesaikan duka-derita manusia dan soal umat manusia kita lihat bahwa jalan yang dipilih oleh Karl May adalah jalan kesenian, dan pilihan itu bukan karena tidak menghargai ilmu, jauh dari itu, karena sebagaimana ditunjuk di dalam berbagai Reiseerzõhlungen bahwa dia pencinta ilmu yang sangat serius.
Hal yang sama memang dipilih Nietzsche, yaitu kesenian, dan bukan karena kesenian adalah jalan tengah. Akan tetapi, kesenian, sebagai tugas tertinggi hidup ini-der hochste Aufgabe dieses Lebens. Mengapa? Karena manusia bukan lagi seniman, ia sendiri menjadi karya kesenian-der Mensch ist nicht mehr Kunstler, er ist Kunstwerk geworden, dalam kesenian yang menjadi perpaduan antara kesenian Apollinian, yang murni, kaya pengalaman, dan mimpi-mimpi, dan kesenian Dionisian, yang primitif, cabul, mabuk, namun menyatukan manusia dengan alam dan membersihkannya.
May tidak menolak agama Kristen dan Islam, dalam suatu serial lain, sebagaimana Nietzsche yang menolak moral agama Kristen, karena dia juga percaya bahwa agama membawa pembebasan (Erlosung). Kesenian dipilih bukan semata-mata itulah jalan tengah, akan tetapi sebagaimana dikatakan tentang kesenian ”Kesenian mengebor masuk ke dalam inti-inti materi dunia, untuk mencungkil keluar isinya yang terdalam dan dengan itu menjelaskan yang luar”. Namun, yang paling utama, ”kesenian mendamaikan ilmu pengetahuan dan agama”.

Buku-buku karya Karl May dalam berbagai versi masih banyak diperjualbelikan secara daring melalui internet. Sumber Foto : Googgle.com
Mengapa cerita petualangan?
Teknik yang dipakai Karl May adalah puisi, dan bentuk puisi tertinggi dan paling kaya isinya adalah das Mõrchen, dongeng, dan dengan itu dia memberikan gelar bagi dirinya, ”Hakawati”, dengan memakai istilah Arab yang berarti juru dongeng. Dengan begitu kisah-kisah petualangannya, die Reiseerzõhlungen, adalah dongeng-dongeng dalam pengertian khusus.
Kalau sekiranya Nietzsche memakai teknik ”aphorisme” sebagai teknik dekadens untuk menghancurkan dekadensi, maka kita lihat di sini Karl May memakai ”dongeng” untuk mengungkapkan duka-derita manusia dan kemanusiaan, dan juga dalam upaya menyelesaikan soal manusia dan kemanusiaan.
Sebagaimana Nietzsche memberikan arti yang sangat serius terhadap ”aphorisme”, demikian pun Karl May memberikan arti yang sangat serius terhadap dongeng yang disebutnya sebagai ”kebenaran bumi dan surgawi” (irdische-und himmlische Wahrheiten).
Sebagai kebenaran bumi ia dibawakan kepada kita oleh ilmu pengetahuan dan sebagai kebenaran surgawi ia turun kepada kita melalui sinar-sinar bintang-gemintang. Inti dongeng adalah terbang, baik secara fisik maupun secara kejiwaan. Semuanya ini tidak lain dari menyatakan bahwa tidak ada yang mustahil dalam dongeng.
Kalau Nietzsche mengatakan tujuan hidup adalah mengejar yang besar dan mustahil sampai mampus, maka Karl May mengatakan yang hampir sama. Dalam mengejar tujuan hidup, Edelmensch, jangan berjalan, tetapi ”terbanglah”—nicht geht, sondern fliegt!
Dalam urusan terbang itulah, kata May, Jerman memiliki dua balon besar, yaitu Goethe dan Schiller, yang terbang mengangkat dirinya dan Jerman. Dengan demikian, kita lihat antara Nietzsche dan May seolah-olah terjadi permainan bolak-balik antara bunyi dan gema, bunyi Nietzsche yang menghasilkan gema May, dan gema May berubah lagi jadi bunyi Nietzsche, so to speak.
Namun, terbang yang dimaksudkan Karl May adalah suatu proses di mana seorang berangkat dan bertolak dari satu stadium perkembangan kepada stadium yang lain, yaitu dari yang disebutnya sebagai ”Ardistan”, dunia bawah, rendah menuju dunia ”Dschinnistan”, dunia atas, dunia tinggi. Hanya di sana akan ada yang disebut sebagai Edelmensch, manusia yang sudah mencapai kesempurnaan, tanpa kekerasan.
Kalau dilihat dengan teliti, maka sekali lagi di sini persinggungan antara keduanya menjadi semakin jelas, yaitu paham Edelmensch May dan Ubermensch Nietzsche. Hanya dengan mengatasi kekerasan seorang bisa mencapai Edelmensch, tanpa penindasan, dan dominasi. Hanya dengan menguasai dirinya, uberwindung, seorang bisa menjadi ubermensch—menjadi komandan atas dirinya sendiri, yaitu manusia yang sudah menjadi pencipta dan bukan semata-mata ciptaan. Kalau hanya menjadi ciptaan, maka tidak lebih dari binatang. Manusia harus disublimasikan menjadi pencipta.
Tahun depan (2005) dunia akan merayakan 130 tahun terbitnya karya-karya Karl May, dengan Winnetou sebagai motornya.
Konsep sublimasi ini ditunjukkan oleh Karl May di dalam ”dongeng- dongengnya” ketika seorang harus terbang menuju Edelmensch meski harus melalui pembunuhan, dibunuh atau membunuh, dengan personifikasi dalam diri para ahli membunuh seperti Old Shatterhand dan Winnetou. Ardistan dan Dschinnistan seolah berdialektik seperti antara padang gurun, prairie, dan gunung, tempat di mana dongeng-dongeng Karl May mengambil tempat.
Penutup
Tahun depan (2005) dunia akan merayakan 130 tahun terbitnya karya-karya Karl May, dengan Winnetou sebagai motornya. Karya tersebut tidak selalu membuat pengarangnya hidup enak. Dia dibawa ke pengadilan, dan dituduh merusak moral kaum muda, menipu, memanipulasikan data, dan lain-lain. Bahkan, ketika diundang berbicara di depan Akademia Wina tuduhan itu diungkit-ungkit pers Wina, dan diangkat kembali dengan bahasa yang keras dan kasar seperti ”penulis pembohong, membahayakan akhlak, tak bernilai, dan, banyak celoteh (lugenhafter, die Sittlichkeit gefõhrender, wertloser, geschwõtziger Schreiber)”.
Namun, dengan 130 tahun berlalu, Karl May tetap menggugah. Persoalan yang dikemukakannya tetap aktual, yaitu bagaimana menaklukkan Gewaltmensch, manusia kekerasan. Kalau Nietzsche menantang semua orang ”kejarlah yang besar dan mustahil sampai mampus”, May menerima tantangan itu dan mengerjakannya dengan seluruh dirinya dengan menerbitkan puluhan judul buku dengan tema yang sama: persahabatan. Untuk memakai istilahnya dia ”terbang melambung dari Ardistan ke Dschinnistan”. Karena itu, bukan hanya Goethe dan Schiller menjadi ”balon”, Karl May adalah salah satu ”balon” Jerman, merekalah ubermenschen itu.
Dia memang tidak mampu mengejar yang mustahil, yaitu perdamaian, karena darah tetap bertumpahan di mana-mana di dunia ini.
Dia memang tidak mampu mengejar yang mustahil, yaitu perdamaian, karena darah tetap bertumpahan di mana-mana di dunia ini. Karl May meninggal hanya dua tahun sebelum pecah perang besar, Perang Dunia I. May meninggal 27 tahun sebelum Perang Dunia II yang lebih menghancurkan, di mana Jerman bukan saja terlibat, tetapi juga menjadi pusaran air dari kekalutan dunia di mana die deutsche Frage menjadi die Menschheitsfrage, persoalan Jerman menjadi masalah umat manusia.
Meskipun demikian, Karl May dengan filosofinya yang tertuang dalam dongeng-dongengnya tetap menarik dan selalu relevan. Dia, tentu saja, tidak berilusi karena sebagaimana dikatakannya sendiri di Wina, 22 Maret 1912, di depan 2.000 pendengar, dari pemenang Nobel Perdamaian 1905, Baroness Bertha Felicie Sophie von Suttner, sampai pemuda miskin Adolf Hitler (23 tahun) yang harus meminjam sepatu temannya untuk bisa menghadiri ceramah Karl May-ketika dia membela dirinya, hanya satu minggu sebelum dia mengembuskan napas terakhir, ”die Geschichteà in Blut geschrieben. Sejarah ditulis dalam darah”.
Ich habe gesprochen! Howgh!
Daniel Dhakidae Kepala Litbang Kompas